Chapter 7 - Grahita yang Mulai Redup

Musim semi, sebelas tahun yang lalu...

Angin musim semi berhembus tidak terlalu kencang. Membuat suasana terasa sejuk. Mengingatkan orang-orang jika sebelum musim di mana bunga-bunga bermekaran itu merupakan musim dingin. Musim yang mengakibatkan banyak orang memilih untuk bergelung di balik selimut yang hangat.

Sejak tadi, tatapan anak lelaki itu hanya tertuju ke arah anak-anak seusia dirinya yang tengah bermain beberapa meter di depannya. Ia ingin bergabung dan bermain dengan mereka. Namun, dikarenakan ada sebuah fakta yang tidak terelakkan, pada akhirnya anak lelaki itu pun mengurungkan niatnya. Ditambah dengan harga dirinya yang sangat tinggi membuatnya tidak ingin menghampiri mereka lebih dulu.

Di kala diri tengah larut dalam sunyi serta kesendirian, bahunya yang tiba-tiba ditepuk dari belakang membuatnya sontak berjengit kaget. Anak lelaki itu pun menoleh ke belakang untuk melihat siapa pelakunya. Namun, kala matanya menatap mata yang terlihat berbinar-binar itu seketika ia terdiam.

"Mengapa kau tidak ikut bermain?"

Gadis yang seusia dengan dirinya itu pun bertanya. Tatapannya tertuju ke arah beberapa anak lelaki sepantaran dengan mereka yang tengah bermain di depan sana.

Yang ditanya hanya diam. Toh bukan urusan gadis itu jika ia tidak ikut bermain dan hanya duduk di ayunan yang sudah mulai berkarat.

"Kalau begitu, bagaimana jika kau bermain denganku?" Gadis itu tersenyum lebar. Memamerkan deretan giginya yang tersusun rapi.

"Tidak mau."

Gadis itu tampak terkejut karena mendapatkan penolakan yang tidak ia sangka. Namun, setelahnya ia justru terkekeh dan kembali menanyakan kalimat yang sama.

"Kau tidak ingin bermain denganku? Aku baru saja pindah ke daerah ini dua hari yang lalu sehingga aku tidak memiliki teman. Apakah kau ingin menjadi teman pertamaku?" cerocosnya panjang lebar.

"Diamlah. Kau itu berisik."

Penolakan yang kedua kalinya terasa cukup membuat gadis itu tersentak. Ia hendak menanyakan kalimat yang sama lagi. Namun, gadis itu mengurungkan niatnya di kala anak lelaki yang menjadi lawan bicaranya sejak tadi memutuskan untuk pergi.

"Setidaknya beritahu namamu terlebih dahulu padaku," gerutunya.

***

Sudah dua hari berlalu semenjak ajakan pertemanan yang pertama kalinya itu. Kalimat penolakan yang kerap kali anak lelaki itu lontarkan untuknya sudah menjadi makanan sehari-hari bagi (Y/n). Bagai memakan nasi tanpa sayur apabila gadis itu belum mendengar kalimat penolakan darinya.

Di kala (Y/n) menanyakan pasal luka di wajah anak lelaki itu, gadis itu bahkan dibentak dengan lebih parah. Namun, pada akhirnya ia hanya memilih diam dan memendam rasa sedihnya seorang diri.

Setidaknya (Y/n) mengharapkan sebuah perubahan dari sikap anak lelaki itu terhadapnya. Tetapi, apa yang ia harapkan benar-benar hanya harapannya belaka. Hari ini pun masih sama saja.

Anak lelaki itu berdecak. "Urusai! Mengapa kau selalu memaksaku untuk menjadi temanmu?! Apakah kau tidak memiliki orang lain untuk dijadikan teman, hah?!"

Mendengar apa yang dikatakan olehnya, sesuatu di dalam diri (Y/n) terasa sakit. Rasa sakit yang tidak dapat ia jelaskan itu membuatnya hanya diam kala anak lelaki tadi berlalu pergi dari hadapannya.

Gadis itu meremas pakaiannya di bagian dada sebelah kiri. Tepat di jantungnya. Karena pasalnya rasa nyeri serta sesak itu berasal dari sana.

Perasaan apakah ini?

***

Hari ini berbeda.

(Y/n) tidak lagi membuntuti anak lelaki yang belum ia ketahui namanya itu. Ia baru saja tersadar jika hal yang ia lakukan selama dua hari belakangan ini telah membuat dirinya sendiri menjadi penghambat bagi anak lelaki itu. Mengapa ia bisa telat menyadarinya?

Netra (e/c) milik (Y/n) menatap lurus ke arah sebuah rumah di depannya. Tatapannya itu bergulir ke arah jendela di lantai dua rumah tersebut. Yang ia dapati hanyalah tirai yang menutup jendela itu. Tanpa ada tanda-tanda jika anak lelaki yang selama ini ia ajak menjadi temannya berada di sana.

"Mengapa kau terus memandangi rumahku sejak tadi?"

Suara yang tiba-tiba muncul di sebelah (Y/n) membuat gadis itu tersentak. Ia menoleh dan mendapati si pemilik rumah berada di sebelahnya dengan kernyitan pada keningnya.

"Aku, aku hanya—"

"Aku ingin berteman denganmu."

Perkataan (Y/n) disela oleh ucapan anak lelaki itu. Kata-kata yang diucapkannya terlalu cepat hingga membuat (Y/n) tidak dapat mendengarnya dengan jelas.

"A-Apa yang kau katakan tadi?" tanyanya pelan.

Anak lelaki itu menghela napasnya. Ia menatap ke arah lain. Sebisa mungkin menghindari tatapan (Y/n). Rona merah yang samar muncul pada kedua pipinya.

"Aku, aku ingin berteman denganmu!" serunya mengulang apa yang ia katakan.

Perasaan yang tidak (Y/n) ketahui namanya itu kini telah menghilang dan diganti dengan rasa bahagia yang membuncah. Ia senang bukan main. Bahkan benar-benar senang hingga rasanya ia ingin berguling-guling di atas aspal saat ini.

"K-Kalau begitu, beritahu padaku siapa namamu."

Anak lelaki itu berdecih. Ia tidak suka memberitahu siapa namanya. Karena marga yang melekat pada dirinya itu membuat orang-orang menjauhi dirinya. Namun, pada akhirnya ia tetap memberitahukannya kepada (Y/n).

"Shinazugawa Sanemi. Itu namaku."

***

Rupanya hari-hari yang membahagiakan itu hanya berlangsung selama satu bulan. Hari ini, (Y/n) mendapatkan kabar bahwa neneknya yang tinggal bersama kakeknya telah meninggal dunia. Gadis yang baru saja berusia enam tahun itu sontak menangis di kala ia mengetahui nenek yang paling ia sayang kini telah tiada.

Bersama dengan keluarganya, (Y/n) pergi ke pemakaman neneknya. Ia mengenakan pakaian serba hitam. Menunjukkan bahwa dirinya tengah larut di jurang kesedihan yang mendalam.

Gadis itu meletakkan sebuket bunga lily putih ke atas makam sang nenek. Peristirahatan terakhir neneknya itu kini tampak indah karena dihiasi oleh berbagai macam bunga.

Hujan pun turun dengan tiba-tiba. Seolah-olah ikut menangis atas apa yang terjadi saat ini. Dengan payung di tangannya, (Y/n) termangu di tempat ia berdiri.

"(Y/n), ayo kita pulang, Nak."

Suara ibunya membuat (Y/n) menoleh ke arah wanita itu. Ia kembali menatap makam neneknya. Lalu, mendekati ibunya sebelum tangannya digenggam erat oleh sang ibu.

Tatapan (Y/n) yang menyapu pandangan di sekitarnya kini berhenti pada seseorang yang tengah berjongkok di bawah derasnya hujan. (Y/n) tidak dapat melihat siapa anak itu.

Hujan yang sebelumnya membasahi tubuhnya mendadak berhenti. Membuat anak lelaki itu terdiam dan sontak menoleh ke atasnya. Di mana (Y/n) berdiri di sana dengan payung menaungi mereka berdua.

(Y/n) bahkan hampir lupa dengan keberadaan anak lelaki yang kini tampak sudah basah kuyup. Namun, wajahnya menyiratkan kesedihan yang mendalam walau tidak terlalu ia tunjukkan.

"Mengapa kau ada di sini, Nemi-chan?"

***

"Makam itu merupakan makam milik ibu dan adik laki-lakiku."

Kepala (Y/n) langsung menoleh ketika Sanemi membuka mulutnya. (Y/n) yang sebelumnya sedang berusaha memperbaiki benang kusut di tangannya pun tersentak.

"Mereka berdua meninggal karena dibunuh oleh ayahku sendiri. Aku pun merupakan salah satu korbannya. Namun, aku berhasil kabur dari pria itu. Luka di wajahku inilah yang menjadi pengingat tentang kejadian itu. Kini pria itu telah dipenjara dan aku pun tinggal dengan nenekku saat ini," jelasnya lagi.

Ia pun menoleh pada (Y/n). "Maaf karena saat itu aku membentakmu ketika kau bertanya tentang luka di wajahku ini," tambahnya pelan. Susah payah ia mengatakan kalimat maaf itu.

(Y/n) mengibaskan tangannya. "Tidak, tidak apa-apa! Bukan salahmu karena kau membentakku. Justru aku yang salah karena menanyakan hal seperti itu padamu," ujarnya.

Mereka kembali terdiam. (Y/n) diam karena ia masih terlalu terkejut akan fakta di balik sikap ketus temannya itu. Nyatanya, fakta itu jauh lebih menyakitkan dan sulit dipercaya dari apa yang gadis itu bayangkan.

"Apakah itu juga yang menjadi alasan mengapa anak-anak yang lain... menjauhimu?" (Y/n) bertanya dengan ragu.

"Ya. Kurasa itulah salah satu penyebabnya."

Lagi-lagi hening kembali menyapa. (Y/n) hanya diam sambil berusaha membuat benang kusut di tangannya itu kembali terurai.

"(Y/n)."

Ia pun menoleh kala namanya dipanggil. "Hm?"

Sanemi tampak gelisah. Ia membuka mulutnya, lalu kembali menutupnya. Hendak mengatakan sesuatu namun tersangkut pada kerongkongannya.

"Terima kasih... karena kau telah menjadi temanku."

Seraya mengatakan kalimat itu, Sanemi melemparkan pandangannya ke arah lain. Kedua pipinya terasa memanas disertai dengan rona merah di sana.

Reaksi yang (Y/n) berikan hanya mengerjapkan matanya beberapa kali. Namun, setelahnya ia tersenyum lebar. Merupakan senyum terbaik yang gadis itu berikan pada Sanemi.

"Terima kasih juga karena sudah menemani hari-hariku!" serunya.

***

Itulah perkataan yang masih melekat di dalam kepala Sanemi hingga saat ini. Kata-kata yang membuat lelaki itu terus dihantui oleh wajah (Y/n) di dalam kepalanya. Dua tahun setelah kejadian itu, ia pun mengucapkan janji tersebut. Janji yang kini telah dilupakan oleh (Y/n).

Namun, kembali lagi ke titik asalnya, dikarenakan harga dirinya yang tinggi membuat dirinya tidak pergi menemui gadis itu selama sembilan tahun lamanya. Seusai mengucapkan janji yang tidak didasari oleh apapun itu. Hilang, lenyap, bersamaan dengan (Y/n) yang melupakannya.

"Sanemi-kun?"

Lamunan Sanemi pun buyar kala ia mendengar suara bernada lembut di telinganya. Lelaki itu menoleh dan mendapati Kanae tengah berbaring di atas tempat tidur. Pada bagian lengan kirinya sebuah infus menancap di punggung tangan.

"Kau terlihat melamun sejak tadi. Apakah ada hal yang mengganggu pikiranmu?" tanya gadis itu disertai rasa khawatir. Padahal menurut Sanemi seharusnya Kanae khawatir kepada dirinya sendiri yang tengah berbaring tanpa daya saat ini.

"Tidak. Aku baik-baik saja," jawab Sanemi. "Cukup pedulikan dirimu sendiri, Kanae."

Kanae hanya terkekeh mendengar sahutan Sanemi. "Kondisiku sudah jauh lebih baik kata Sensei. Jadi kurasa baik aku maupun dirimu bisa jauh lebih tenang." Ia tersenyum.

"Um, kuharap benar demikian."

Sekali lagi, pikiran milik Shinazugawa Sanemi bukan diisi oleh gadis yang berstatus sebagai kekasihnya saat ini. Melainkan seorang gadis dari masa lalunya yang entah mengapa sangat ia rindukan sekarang.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top