Chapter 4 - Saskara di Balik Mendung
Tepat seusai bel pulang sekolah berbunyi, buku-buku dimasukkan ke dalam tasnya. Diiringi oleh tatapan kebingungan dari Mitsuri. Yang ditatap hanya tetap sibuk merapikan buku-bukunya tanpa memikirkan hal lain. Alhasil, perilaku (Y/n) itu pun mengundang berbagai pertanyaan di dalam benak Mitsuri.
"(Y/n)-chan. Mengapa kau tampak terburu-buru sekali?" tanya Mitsuri setelah memperhatikan (Y/n) yang sejak tadi tampak sibuk seorang diri. Sampai-sampai tidak menyadari jika sejak tadi Mitsuri menatap ke arahnya.
"Aku ingin pergi menemui seseorang." (Y/n) pun menjawab setelah ia selesai memasukkan semua buku-bukunya ke dalam tasnya. Bersamaan dengan bunyi ritsleting yang ditarik hingga tertutup rapat.
Tidak dapat menahan rasa penasarannya, Mitsuri pun sontak bertanya, "Siapa yang ingin kau temui?"
(Y/n) seketika menoleh pada temannya itu. Raut wajahnya menyiratkan rasa penasaran. "Seseorang yang sudah lama kucari."
Manik hijau milik Mitsuri membulat. Matanya masih mengikuti ke mana (Y/n) pergi. Hingga pada akhirnya gadis itu menghilang di balik pintu kelas, tatapan Mitsuri masih tertuju ke arah sana.
Jangan-jangan...
***
Sesekali (Y/n) melirik arloji berwarna putih yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Arloji itu menunjukkan pukul tiga sore kurang beberapa menit. Pandangannya tidak henti-henti menatap ke arah gerbang sekolah yang masih tampak sepi. Yang sesekali diselingi dengan melihat ke arah arlojinya lagi.
Begitu terus hingga pada akhirnya (Y/n) berhenti melakukannya kala ia melihat seseorang berjalan ke luar area sekolah. Sejenak (Y/n) terpaku di tempatnya berdiri. Ia mulai merasa ragu apakah dirinya harus menyapanya atau tidak. Apakah ia harus pergi dari sana dan melupakannya atau tidak.
Namun, gadis itu kembali bertanya pada dirinya sendiri: mengapa saat ini ia berdiri di sana? Di bawah sinar matahari yang tidak terlalu terik. Dengan cepat, pertanyaan itu pun terjawab.
Bertekad untuk tidak mundur lagi, (Y/n) pun berlari kecil mendekati orang yang sudah berjalan cukup jauh darinya itu. Ia sontak mencengkeram pergelangan tangan lelaki itu dan secara paksa menghentikan tubuhnya yang tengah berjalan.
Lelaki itu hendak mengumpat siapapun orang yang menahan tubuhnya itu. Namun, kala matanya bersitatap dengan manik (e/c) milik (Y/n), sontak ia membelalak. Menatap tidak percaya akan apa yang ia lihat. Ketika mendengar gadis itu berbicara, ia pun tahu apa yang ada di depan matanya saat ini adalah kenyataan.
"Hei, kita berjumpa lagi, Nemi-chan."
***
Diam.
Itulah yang terjadi sejak beberapa saat yang lalu. Baik (Y/n) maupun lelaki yang duduk di hadapannya itu sama-sama belum berbicara sejak tadi. Rasa terkejut dan tidak percaya karena bisa bertemu saat ini masih menyelimuti diri mereka.
"Bagaimana kabarmu?"
Oh, ayolah. Setelah sembilan tahun tidak bertemu, hanya pertanyaan formal seperti itu yang bisa dirinya tanyakan? (Y/n) seketika merutuki dirinya sendiri. Mengapa ia tidak bisa memikirkan pertanyaan lain yang setidaknya bisa memancing sebuah percakapan?
"Aku baik-baik saja. Kau sendiri?"
"Aku juga baik, Nemi-chan." Merasa senang karena lelaki di hadapannya menjawab pertanyaannya, (Y/n) sontak tersenyum.
Sanemi menghela napas panjang seraya memalingkan wajahnya ke arah lain. Tidak disangka ada rona merah yang tampak samar pada pipinya. "Panggilan itu sudah tidak cocok bagiku, (Y/n)."
"Menurutku itu masih terdengar cocok di telingaku," balas (Y/n) sambil mengaduk minumannya beberapa kali sebelum meminum isinya melalui sedotan kertas.
Mereka kembali diam seperti beberapa saat yang lalu. (Y/n) pun tidak tahu harus mengatakan apa. Padahal ada banyak pertanyaan di dalam benaknya yang bisa ia tanyakan. Namun, gadis itu pun merasa bingung harus memulai dari mana terlebih dahulu.
"Kau ke mana saja selama ini?"
Satu pertanyaan. Satu pertanyaan yang sudah lama ingin (Y/n) tanyakan jika mereka bertemu lagi setelah bertahun-tahun lamanya. Berharap gadis itu bisa menemukan jawabannya meskipun sudah terlambat.
"Bibiku membawaku pergi saat itu. Aku tidak sempat mengatakannya kepadamu karena kejadian itu terjadi sangat tiba-tiba. Bahkan aku sendiri tidak tahu jika Bibi akan membawaku pergi," jelas Sanemi singkat.
Tidak ada sahutan apapun yang (Y/n) katakan. Membuat Sanemi memutuskan untuk menatapnya. Namun, sedetik setelahnya ia mengalihkan pandangannya ke arah lain. Bibirnya pun kembali berucap, "M-Maaf karena aku tidak sempat menjelaskannya kepadamu."
Mendengar perkataan maaf yang Sanemi ucapkan, (Y/n) sontak tertegun. Permintaan maaf? Keluar dari bibir lelaki itu? Hal itu sangat mustahil terjadi. Namun, lihatlah sekarang. Sanemi bahkan mengatakannya dengan mudah meskipun ia tidak memandang ke arah (Y/n). Entah apa yang tengah ia pikirkan.
Kepalanya ditundukkan. Menatap ke arah rok seragam yang ia kenakan. Tanpa disadari olehnya, sebuah kurva melengkung yang terbuka ke atas terbentuk pada bibirnya. Namun, senyuman itu lantas menghilang kala (Y/n) teringat dengan seorang gadis yang saat itu ia lihat.
Hati kembali diliputi rasa gundah. Ragu apakah ia harus menanyakannya atau tidak. Kembali lagi ke titik awal. Ia tidak ingin diselimuti oleh rasa penasaran lagi.
"Gadis yang bersamamu saat itu, siapa... ia?"
Netra lelaki itu tampak membulat. Tersirat rasa terkejut dan tidak menyangka jika (Y/n) akan bertanya demikian. Namun, dengan cepat Sanemi mengendalikan rasa terkejutnya itu. Wajahnya pun kembali normal.
Jantungnya berdetak kencang kala (Y/n) menunggu jawaban yang akan Sanemi katakan. Namun, ketika bibir lelaki itu mengucapkan jawabannya, ia tidak menyangka jika kata di akhir kalimat yang ia ucapkan bisa membuat dirinya membeku seketika.
"Ia adalah Kochou Kanae, kekasihku."
***
Suara sepatu yang beradu dengan lantai koridor rumah sakit terdengar mengisi keheningan. Langkah kaki itu berjalan terseok-seok di tengah koridor rumah sakit. Percakapan itu kembali terulang di dalam kepala (Y/n) bak kaset yang telah rusak dan tidak bisa dimatikan.
Semuanya masih terasa jelas di dalam pikirannya. Juga relung hatinya. Bagaimana wajah lelaki itu ketika mengatakan gadis yang (Y/n) lihat saat itu merupakan kekasihnya. Rona merah yang meskipun tampak samar itu tidak dapat disembunyikan.
Seharusnya (Y/n) tidak perlu merasa terkejut. Wajar saja, sembilan tahun sudah berlalu semenjak terakhir kali mereka berbincang. Tidak ada yang tahu pasti apa yang akan terjadi di masa depan. Toh tidak aneh jika Sanemi justru memiliki seorang kekasih. Meskipun wajah lelaki tampak menyeramkan, namun ia masih bisa dikategorikan sebagai lelaki dengan paras tampan dan enak dilihat.
Helaan napas terdengar dari bibirnya. Tidak disangka sejak tadi (Y/n) melamun hingga ia tiba di ruangan yang ia tuju. Hari ini ia memiliki sebuah janji temu dengan seorang dokter yang sudah menjadikan gadis itu sebagai salah satu pasiennya.
Sebenarnya, hari ini pun (Y/n) terpaksa mengikuti perkataan Mitsuri untuk check up. Sebelumnya Mitsuri hendak menemani (Y/n). Namun, gadis itu menolaknya dan mengatakan bahwa ia sedang ingin sendiri. Dengan enggan temannya itu menuruti perkataan (Y/n).
"Hei! Kau tidak boleh berlari!"
Sesaat seruan itu terdengar dari kejauhan. Namun, sesuatu yang menabrak tubuh (Y/n) hingga ia jatuh tersungkur ke atas permukaan lantai yang dingin. Seseorang yang menimpa tubuhnya sontak langsung bangkit berdiri dan meminta maaf. (Y/n) pun bahkan dibantu untuk bangun.
Kala manik (e/c) itu melihat wajah si penabrak sekaligus penolongnya, seketika ia membulatkan matanya. Menatap sangsi akan apa yang ia lihat saat ini. Yang (Y/n) lihat bukanlah halusinasinya semata dikarenakan seorang lelaki yang mendekati mereka dengan langkah pelannya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top