Chapter 9 - A Melody That Covered In Blood

Author's POV

"Apa ini?"

Pertanyaan itu keluar dari bibir (Y/n) ketika ia melihat piyama yang dikenakannya terlihat lusuh dan dipenuhi oleh bercak merah. Gadis itu menyalakan lampu di atas meja nakas agar ia bisa mendapatkan penerangan yang lebih baik.

Namun, ketika cahaya itu menerangi kamarnya, matanya terbelalak. Keterkejutan melandanya seketika.

"Ini... darah?" gumamnya tak percaya.

(Y/n) sontak bangkit dari duduknya. Ia berjalan menuju meja rias yang berada tak jauh dari sana. Keterkejutan kembali menyelimutinya ketika ia melihat luka-luka goresan yang tampak lebih jelas daripada sebelum-sebelumnya.

Kebingungan pun ikut serta melandanya. Berbagai pemikiran dan pertanyaan yang disertai perasaan heran serta terkejut muncul di dalam kepalanya. Apa yang sebenarnya terjadi? Gadis itu sama sekali tidak paham. Meskipun ia telah mencoba untuk paham, namun hasilnya tetap sama saja. Tidak ada jawaban pasti tentang apa yang tengah ia alami saat ini.

Helaan napas keluar dari bibirnya. Tangannya bergerak memijat pelipisnya yang berdenyut. Rasa pening menghampirinya.

Jika saja (Y/n) tidak terbangun tadi malam, mungkin gadis itu tidak akan melihat apa yang tidak ingin ia lihat saat ini. Jika saja ia tahu apa penyebabnya, mungkin saat ini juga tidak akan terjadi hal yang sama seperti sebelumnya. Terlalu banyak kata jika yang bisa terjadi. Jika, jika, dan jika. Hanya berupa perandaian yang tidak pernah terlaksana.

Tentang permasalahan ini tidak (Y/n) katakan pada kakaknya. Memang ada kemungkinan kakak laki-lakinya itu bisa mengetahui apa penyebab ini semua terjadi. Namun, dengan dalih tidak ingin membuat kakaknya itu khawatir dan semakin repot karena masalahnya, (Y/n) pun mengurungkan niatnya. Baginya sudah cukup ia memikirkan masalah ini seorang diri. Toh ia juga tidak ingin menimbulkan masalah baru dengan masuknya orang baru yang mengetahui hal rumit ini.

(Y/n) pun beranjak menuju lemari berisi pakaiannya. Ia mengganti piyama yang dipenuhi oleh bercak darah yang telah kering itu dengan piyama yang masih baru. Setelah itu, gadis itu kembali untuk tidur. Lebih tepatnya mencoba untuk tidur. Karena ia yakin dirinya tidak akan bisa tidur nyenyak malam ini.

***

Seperti dugaannya, (Y/n) tidak bisa tidur. Ia bahkan tidak tidur sama sekali. Alhasil, muncullah lingkaran hitam di bagian bawah matanya. Gadis itu sama sekali tidak berusaha untuk menutupinya. Lagi pula, apa yang bisa ia gunakan untuk menyamarkan lingkaran hitam itu? Tidak ada apapun di atas meja riasnya yang bisa ia pakai. Kini gadis itu mulai menyesali dirinya yang tidak suka mengoleksi make up ataupun skincare.

Seraya berjalan menuju sekolahnya, (Y/n) menyapu pandangannya ke sekelilingnya. Pepohonan yang diselimuti oleh daun-daun berwarna merah kekuningan tampak terlihat cantik dan memikat. Seperti setangkai bunga di tengah padang rumput.

Gerbang sekolah telah dilaluinya. Kini tujuan (Y/n) satu-satunya ialah menuju kelas kosong di ujung koridor lantai tiga sekolahnya. Tempat biasa di mana Inumaki memainkan biolanya. Oh, gadis itu juga ingin menagih jawaban Inumaki tentang persetujuannya untuk kompetisi biola yang (Y/n) beritahu padanya.

Namun, tidak seperti biasanya, kali ini tidak ada melodi apapun yang terdengar di sana. Bahkan ketika (Y/n) membuka pintu kelas itu, hanya keheningan tak berujung yang menyambutnya.

Ia pun kembali merasa heran. Aneh, Inumaki tiba-tiba menghilang tanpa kabar. Lelaki itu juga jarang sekali tidak masuk ke sekolah tanpa alasan yang jelas. Lantas, apa penyebab Inumaki tidak masuk sekolah hari ini? Padahal jawaban yang akan lelaki itu berikan telah (Y/n) tunggu sejak kemarin.

Tidak hanya berdiam saja, (Y/n) mengetik pesan singkat pada Inumaki setelah ia meletakkan tas biolanya ke atas lantai. Ia tidak tahu apakah pesan itu terkirim pasa Inumaki atau tidak. Namun, yang pasti ia tahu lelaki itu akan membaca dan kemudian membalasnya.

Kau pasti sudah memikirkannya baik-baik, kan?

(Y/n) mengirimkan pesan itu dua puluh tiga detik setelah ia mengumpulkan niat untuk menghubungi Inumaki. Namun, tidak ada jawaban apapun yang ia terima. (Y/n) menghela napas. Kini bukan keheranan lagi yang menyelimutinya melainkan perasaan khawatir dan cemas.

"Kau pasti baik-baik saja kan, Inumaki-kun?"

***

Bel pulang sekolah tepat berbunyi sedetik sebelum sensei yang selesai mengajar keluar dari kelas. Bahkan hingga pulang sekolah, Inumaki tidak menampakkan batang hidungnya. Kini perasaan risau yang muncul lebih besar daripada sebelumnya.

Manik (e/c) itu melirik kursi kosong di sebelah kirinya. Ia masih bertanya-tanya tentang Inumaki yang tidak diketahui kabarnya saat ini. Semua pesan yang ia kirimkan tidak ada yang terbalas. Ponselnya pun tidak bisa dihubungi. Hanya suara sang operator yang terdengar dari seberang.

Terbesit di dalam kepalanya tentang tugas presentasi Biologi untuk minggu depan. Karena (Y/n) seringkali tertidur di saat pelajaran itu berlangsung, maka dari itu ia memutuskan untuk pergi ke toko buku terlebih dahulu sebelum pulang ke rumahnya. Ditambah tidak ada toko buku yang lengkap di sekitar daerah dekat rumahnya.

(Y/n) menggantung tasnya di bahu lalu berjalan menyusuri koridor. Ia menaikkan sedikit lengan hoodie tangan kirinya. Luka goresan yang tadi malam ia lihat masih berada di sana. Sekaligus membuktikan jika apa yang ia lihat bukanlah sebuah mimpi belaka.

Langkah kaki (Y/n) berhenti ketika ia melihat kerumunan orang-orang yang tidak terlalu ramai di depan toko buku tujuannya. Ya, toko buku yang sama dengan yang saat itu telah (Y/n) dan Inumaki kunjungi.

Gadis itu menerobos masuk ke dalam kerumunan itu untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi. Bukan karena ia penasaran dan ingin tahu melainkan karena firasatnya menyuruh dirinya untuk menerobos dan melihat apa yang berada di sana.

Wajah lelaki itu diselimuti oleh bercak darah. Matanya terpejam. Kulitnya telah berubah pucat. Tas biola yang selalu ia bawa terkena cipratan darah miliknya.

Itulah pemandangan mengejutkan yang (Y/n) lihat sebelum tubuh lelaki itu dimasukkan ke dalam sebuah kantung mayat. Gadis itu menekap mulutnya tak percaya. Manik (e/c)nya mulai kabur tertutupi oleh genangan air mata. Ia ingin lari dari sana. Melupakan apa yang terjadi dan berharap jika itu semua hanyalah mimpi buruk yang tak sengaja menjadi bunga tidurnya malam ini. Namun, ia tidak melakukannya. Lebih tepatnya gadis itu tidak bisa melakukannya karena apa yang ia lihat saat ini merupakan sebuah kenyataan.

Mobil ambulance telah pergi seiring dengan bunyi sirinenya yang mulai terdengar menjauh. Orang-orang yang sejak tadi mengeremuni tempat itu kini perlahan mulai pergi meninggalkan tempat itu. Satu per satu.

Hingga menyisakan (Y/n) seorang diri di sana dengan beberapa polisi yang masih sibuk menyelidiki apa yang sebenarnya telah terjadi. Gadis itu berjongkok. Bahunya bergetar hebat. Pikirannya menolak percaya pasal apa yang ia lihat tadi.

Kini ia tidak tahu bagaimana caranya untuk melanjutkan kehidupannya. Padahal selama ini ia baik-baik saja, bahkan tanpa Inumaki di sana. Namun, sekarang semuanya telah berubah. Inumaki adalah alasannya tidak pernah mengakhiri hidupnya meskipun (Y/n) masih memiliki seorang kakak. Lelaki itu diibaratkan sebagai oksigennya. Sesuatu yang membuatnya bernapas hingga detik ini. Tetapi, saat ini Inumaki telah tiada. Lalu, dengan apa ia akan bernapas dan meneruskan kehidupannya?

Secara perlahan, (Y/n) membuka matanya. Penglihatannya masih terasa kabur karena air mata. Namun, secara sekilas ia melihat sesuatu di atas tanah. Sesuatu yang telah Inumaki janjikan akan terus ia simpan dengan baik selamanya.

Ya, sebuah gantungan kunci berbentuk kepala koala yang kini telah diselimuti oleh darah.

***

Hampa.

Adalah perasannya saat ini. Sudah tepat lima jam setelah (Y/n) kembali dari sekolahnya. Pihak polisi sempat bertanya-tanya pada dirinya. Namun, ia menolak untuk menjawab. Gadis itu sama sekali tidak peduli jika ia akan dianggap sebagai tersangka pembunuhan Inumaki tersebut. Toh ia bukanlah pelaku yang sebenarnya.

Ya, awalnya ia berpikir seperti itu.

Justru kenyataan berbalik menyerangnya. Kini (Y/n) tahu mengapa polisi belum bisa menemukan siapa pelaku pembunuhan yang selalu menusuk korbannya sebanyak dua belas kali. Ia juga tahu siapa pembunuh berantai yang selalu melakukan aksinya ketika matahari telah tenggelam. Dan kini (Y/n) juga sudah tahu siapa orang yang telah membunuh Inumaki yang merupakan oksigennya.

Ya, gadis itu adalah sang pembunuhnya. Lebih tepatnya, dirinya sendiri.

***

Kaget gak?🗿

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top