Chapter 3 - Guidebook? What For?

Author's POV

(Y/n) menatap kedua telapak tangannya. Ada goresan-goresan kecil berwarna merah di sana. Tidak terasa perih namun cukup terlihat jelas. Tak hanya berada di sekitar telapak tangannya, tetapi goresan-goresan itu juga berada pada punggung tangannya.

Ia sama sekali tidak tahu kapan dirinya melukai tangannya sendiri. Bahkan dengan luka goresan yang cukup banyak itu seharusnya ia sadar saat melakukannya.

Helaan napas keluar dari bibir (Y/n). Ia tidak memiliki waktu untuk memikirkan hal itu. Hari sudah semakin siang dan sebentar lagi ia harus sudah masuk ke dalam kelasnya.

Semenjak ia bertemu dan mendengarkan permainan biola yang dimainkan oleh Inumaki, setiap pagi (Y/n) pasti pergi ke ruangan yang sama. Ya, hanya untuk mendengarkan alunan musik yang berbeda-beda di setiap saat lelaki itu memainkan biolanya.

Oh, juga untuk melihat lelaki itu yang tampak mempesona di bawah pantulan sinar matahari dari jendela.

(Y/n) menggelengkan kepalanya. Wajahnya tampak memerah samar. Lagi-lagi ia hanya menghela napas sambil menutup matanya. Berusaha mengabaikan detak jantungnya yang mulai menggila.

***

"Gerakan tanganmu masih terlihat kaku, (F/n)."

Fokus (Y/n) sontak teralihkan dari biola di tangannya. Ia menatap pada Inumaki yang tampak masih diam.

"Eh, benarkah? Padahal aku sudah berkali-kali merilekskan tanganku sendiri," ujar (Y/n). Ia menurunkan biola dari bahunya lalu mengepalkan tangannya dan membukanya kembali.

"Mainkan sekali lagi."

(Y/n) mengangguk. Lalu, ia menaruh biolanya di atas bahu kirinya. Matanya ia pejamkan sekali. Tangannya kanannya ia letakkan di atas biola bersama dengan bow di tangannya.

Suara yang dihasilkan dari biola itu mengisi keheningan di ruangan itu. (Y/n) yang tengah menghayati permainannya sendiri dan Inumaki yang sedang memikirkan sesuatu serta melihat bagaimana permainan (Y/n).

Setelah waktu berlalu sebanyak seratus lima puluh delapan detik, (Y/n) berhenti bermain. Lagu yang ia mainkan telah usai. Kini tatapannya tertuju pada Inumaki yang belum berkata apa-apa.

"Um, bagaimana? Apakah sudah lebih baik?" (Y/n) menyatukan kedua jarinya yang salah satunya menggenggam biola dan satunya lagi menggenggam bow-nya.

Inumaki masih belum mengatakan apa-apa. Lalu, kemudian ia mendekat pada (Y/n) yang membuat gadis itu tiba-tiba berdiri tegap. Manik (e/c)nya menatap lurus pada Inumaki.

"Tanganmu."

"Ada apa dengan tanganku?" (Y/n) menunduk menatap tangannya sendiri lalu ia menengadahkan kepalanya lagi dan menatap Inumaki.

"Luka goresan itu. Apa penyebabnya?" tanyanya.

"Oh, ini." (Y/n) menatap luka di telapak tangannya itu. "Karena aku sering berlatih belakangan ini, jadi sepertinya tanganku terluka. Ya, kurasa begitu," dustanya.

Perkataannya tadi tidak hanya membohongi Inumaki, namun juga membohongi dirinya sendiri. Fakta yang ada ialah dirinya tidak tahu dari mana luka itu berasal dan apakah penyebabnya.

"Ah, bagaimana permainanku yang sebelumnya? Apakah sudah sesuai dengan keinginanmu?" (Y/n) mengalihkan topik pembicaraan.

"Ya. Sudah lebih baik. Namun, kau masih harus lebih sering berlatih. Hanya itu yang bisa kau lakukan."

Tiba-tiba saja (Y/n) menatap Inumaki dengan kagum. "Kau mengatakan lebih dari lima kata dalam satu kali bicara."

"Oh."

"Are? Kau kembali irit bicara." (Y/n) tampak kecewa.

Ia hanya diam dan tak merespon. Inumaki mengambil tas biolanya yang terletak di sudut ruangan. Kemudian, ia berbalik dan berjalan menuju pintu. Namun, sebelum keluar ia sempat mengatakan satu kalimat pada (Y/n).

"Kau pasti bisa, (F/n)."

Tentu saja, gadis itu tertegun. Menatap kepergian Inumaki di depannya. Sebelum pada akhirnya ia melompat-lompat kecil seorang diri di sana.

Bahagia? Ya, itulah perasaannya saat ini. Hanya karena tiga kata yang entah bagaimana bisa diucapkan oleh lelaki itu.

***

"Inumaki-kun! Ayo pulang bersama!"

Seruan itu cukup mengejutkan Inumaki yang tengah mengangkat tas biolanya dari atas lantai. (Y/n), gadis yang mengajaknya pulang tadi, berdiri di ambang pintu kelasnya. Kedua tangannya menggenggam erat tali tas ransel yang menggantung di punggungnya.

Tak mengatakan apapun, Inumaki berlalu begitu saja. Melewati (Y/n) yang dihadiahi tatapan kebingungan dari murid-murid di kelas lelaki itu.

Masih belum menyerah, (Y/n) pun menyusul Inumaki. Mendekati lelaki itu sambil berkata, "Jawabanmu 'iya' kan?"

"Hm," sahutnya dan entah apa artinya.

"Kuanggap itu sebagai 'ya'." (Y/n) tersenyum lebar.

Inumaki masih berjalan di depan (Y/n). Dan, gadis itu pun selalu berusaha menyamai langkahnya dengan lelaki itu. Ia tidak ingin ditinggal meskipun ia tidak yakin jika Inumaki benar-benar ingin pulang bersamanya.

"Apakah kau ingin mampir ke toko buku bersamaku?" Tentu saja, (Y/n) menanyakan itu dengan harapan Inumaki akan ikut bersamanya. Lagi pula, tujuannya memang tidak hanya pulang bersama saja.

"Um, baiklah."

Diselimuti oleh perasaan bahagia, (Y/n) sontak menarik tangan Inumaki. Menggenggam erat tangan lelaki itu. Rekasi yang diberikan oleh Inumaki hanya biasa saja. Toh ia memang tidak merasakan keganjilan saat tangan gadis itu menggenggam tangan miliknya.

"Buku apa yang ingin kau beli?" Pertanyaan itu ia lemparkan ketika mereka masuk ke dalam toko buku yang (Y/n) maksud. Yang ditanya hanya menatap berbinar ke sekitarnya. Ke arah rak-rak buku yang tampak tersusun rapi.

"Aku ingin membeli buku novel. Ayo!" Lagi-lagi, (Y/n) menarik tangan Inumaki. Yang secara tidak langsung ia disuruh mengikuti ke manapun gadis itu pergi.

"Mengapa kau tidak membeli buku panduan?" tanya Inumaki setelah tiga menit dua puluh satu detik (Y/n) menatap ke arah novel yang berjajar rapi.

Gadis itu menoleh. "Buku panduan? Maksudmu, buku panduan untuk bermain biola?" Ia memastikan.

Inumaki mengangguk. Menurutnya, buku panduan adalah buku yang paling tepat untuk (Y/n) beli saat ini. Apalagi, gadis itu sedang sangat bersemangat dalam memainkan biola. Jadi, tak heran jika Inumaki menyarankan untuk membeli sebuah buku panduan. Namun, justru sebaliknya. Gadis itu hanya terkekeh dan menatap Inumaki dengan santai.

"Buku panduan? Untuk apa?" Ia tersenyum lebar dan menepuk bahu Inumaki dengan kedua tangannya. "Aku tidak perlu itu karena aku sudah memiliki mentor yang paling hebat di sekolah!"

Inumaki terbelalak. Lalu, wajahnya kembali normal. "Aku bukan seseorang yang bisa kau andalkan, (F/n)."

"Eh? Mengapa? Kau sudah berkali-kali ikut kompetisi kan?" (Y/n) menyusul Inumaki yang berjalan lebih dulu.

"Ya, begitulah."

Mereka berhenti tepat di depan meja kasir. (Y/n) membayar buku novel yang diinginkannya. Sementara itu, Inumaki masih memperhatikan keadaan di sekitarnya. Ia masih tidak mengerti mengapa (Y/n) sangat berharap padanya untuk membantunya berlatih. Padahal ia sendiri tidak terlalu hebat dalam bermain biola. Apa yang membuat gadis itu ingin diajarkan oleh dirinya?

"Inumaki-kun?"

(Y/n) menatap ke arah Inumaki yang sejak tadi tampak melamun. Lalu, gadis itu terkekeh. Membuat Inumaki menatapnya bingung.

"Ayo kita pulang! Aku sudah selesai."

Ia mengangguk. Kali ini, Inumaki tidak berjalan lebih dulu daripada (Y/n). Ia justru menahan pintu agar (Y/n) bisa keluar dengan leluasa.

"Rumahmu di mana?"

"Di sana." Inumaki menunjuk ke arah yang berlawanan dengan arah sekolah.

"Ah, di sana ya." Raut wajah (Y/n) berubah kecewa. "Sepertinya kita harus berpisah di ini." Ya, itulah yang (Y/n) katakan. Terpaksa, sebenarnya. Ia sudah terlalu bersemangat untuk pulang bersama. Namun, harapan itu lenyap ketika ia tahu rumah Inumaki berlawanan arah dengan rumah miliknya.

"Rumah kita tidak berada di arah yang sama?" Inumaki kembali diam.

"Ya. Kalau begitu, aku pulang dulu. Sampai jumpa besok di sekolah, Inumaki-kun!" (Y/n) melambaikan tangannya ke arah Inumaki sambil berjalan mundur. Lambaian tangannya itu dibalas dengan singkat oleh Inumaki.

(Y/n) menghela napas. Setidaknya ia mencoba untuk dekat dengan Inumaki. Tidak hanya di sekolah saja.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top