Chapter 2 - A Dusty Violin
Author's POV
Debu yang berterbangan di udara sudah membuat (Y/n) bersin berkali-kali. Tak terhitung berapa kali. Sejak pagi tadi, gadis itu sudah berkutat di gudang sebelah rumahnya. Waktu sudah berlalu cukup lama semenjak terakhir kali ia membersihkan gudang itu. Ditambah, baru beberapa hari setelah kepindahannya ke Tokyo demi mengikuti perintah kakaknya. Alhasil, debu di dalam sana semakin bertambah seiring berjalannya waktu.
"Hatsyii!"
Tangan (Y/n) mengibas-ngibas di udara. Mencegah debu untuk mendekati hidungnya agar ia tidak bersin lagi. Sudah cukup ia bersin hari ini. Kemungkinan orang lain akan berpikir jika dirinya tengah dibicarakan oleh orang lain. Mengingat mitos yang dikatakan oleh kakaknya. Ya, mitos tentang jika dirinya bersin maka itu artinya seseorang tengah membicarakannya.
Mata bulatnya tertuju sebuah kardus di sudut gudang. Warna kardus itu yang berbeda dengan kardus yang lain menarik perhatiannya. Ia mendekatinya sambil menggeser beberapa kardus yang menghalangi langkahnya. Debu yang cukup tebal melapisi permukaan kardus itu. Namun, (Y/n) hanya mengabaikannya dan membuka bagian atas kardus tersebut.
Perasaan lelahnya telah terbayarkan ketika ia melihat apa isi kardus itu. Gadis itu langsung tersenyum lebar dan menghela napas lega.
Sebuah tas biola lengkap dengan biola dan bow di dalamnya.
(Y/n) langsung mengeluarkannya dari gudang dan menaruhnya di teras rumahnya. Kemudian, ia kembali ke dalam gudang untuk membereskan kekacauan yang telah ia perbuat.
Beberapa menit setelah merapikan gudang, (Y/n) kembali ke dalam rumahnya. Tak lupa ia membawa tas biolanya tadi.
Tangannya bergerak membuka tas biola itu dengan perlahan. Manik (e/c)nya langsung berbinar-binar ketika ia melihat isinya. Bibirnya membentuk senyuman yang lebar.
"Aku tidak akan membiarkanmu tertutupi oleh debu lagi, Vio."
Begitulah ia memanggil biolanya. Bahkan sejak pertama kali ia mendapatkan biola itu dari orang tuanya, gadis itu langsung memberikan nama untuk sang biola. Meskipun biola itu hanyalah benda mati, namun ia cukup senang ketika ia memiliki teman walaupun tidak nyata dan tidak bisa diajak berbicara.
Tetapi, itu hanya sementara. Sebelum apa yang dikatakan oleh orang tuanya membuatnya tak ingin menyentuh biola itu lagi. Bahkan, melihatnya.
(Y/n) menggelengkan kepalanya. Ia sudah tidak boleh memikirkan atau bahkan mengingat-ingat hal menyakitkan itu lagi. Sudah cukup ia tersakiti di masa lalu. Kini, ia hanya perlu fokus ke masa depannya.
Tentunya, dengan kenangan yang baru bersama biola di depannya itu.
***
Hari ini berbeda dengan kemarin. (Y/n) membawa biola yang ia cari dan akhirnya ia temukan. Biola itu kini ikut menemaninya ke sekolah. Tentunya setelah berkutat dengan dirinya sendiri selama beberapa saat hingga akhirnya ia bisa membuat keputusan untuk membawa biola itu bersamanya.
Gadis itu tidak langsung berjalan menuju kelasnya, melainkan ke sebuah ruangan kosong di ujung koridor lantai tiga.
Suara biola yang dimainkan dari dalam sana terdengar sangat apik. Menandakan jika sang pemain sangatlah mahir dan sudah bermain selama bertahun-tahun lamanya.
Sebuah senyum mengembang di wajah (Y/n). Gadis itu mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam ruangan itu. Ia masih ingin mendengar alunan musik yang dimainkan oleh Inumaki. Karena ia yakin, jika ia masuk ke dalam, lelaki itu pasti akan berhenti bermain dan justru bertanya mengapa (Y/n) berdiri di sana.
Tepat di saat suara biola itu mulai terdengar pelan, (Y/n) menggeser pintu itu. Ketika ia berdiri di daun pintu, Inumaki pun menurunkan biola dari bahunya. Sebagai tanda lagu yang ia mainkan telah usai.
"Sejak kapan kau berdiri di sana?"
Lelaki itu bertanya, masih belum beranjak dari tempatnya berdiri.
(Y/n) tersenyum membalas pertanyaannya. "Belum terlalu lama. Aku hanya menikmati lagu yang kau mainkan."
Inumaki diam tak merespon apa-apa. Lalu, manik ungunya melirik ke arah benda yang (Y/n) bawa sejak ia tiba di sana. Ia tak berkata apapun, hanya menatap lurus ke arah tas biola itu hingga (Y/n) pun sadar dengan apa yang Inumaki perhatikan sejak tadi.
"Ah, biola ini milikku. Kemarin aku mengambilnya dari dalam gudang di rumahku," jelas gadis itu tanpa diminta lalu ia terkekeh setelahnya.
Inumaki menatap tas biola itu sekali lagi, lalu ia pun membalikkan tubuhnya. Ternyata ia berniat untuk memasukkan biolanya sendiri ke dalam tempatnya semula. Tas biola itu pun diangkat olehnya sebelum kakinya melangkah pergi.
Tepat di saat Inumaki hendak keluar dari ruangan itu, (Y/n) menarik ujung seragam lelaki itu.
Inumaki hanya berhenti. Ia tidak menoleh pada gadis yang membuatnya menghalangi dirinya untuk kembali ke kelas.
"Ano... Inumaki-kun. Aku ingin mengatakan sesuatu padamu."
Diam adalah hal yang Inumaki lakukan. Lelaki itu tak mengatakan apapun. Dan, reaksi yang diberikan oleh Inumaki dianggap oleh (Y/n) jika lelaki itu menunggunya mengatakan kalimat selanjutnya.
"Apakah... aku boleh memintamu untuk mengajarkanku cara bermain biola?"
Satu detik, dua detik, tiga detik, empat detik, lima detik. Inumaki masih diam saja. Hal itu pun membuat (Y/n) gelisah dan mulai khawatir.
"A-Aku ingin bermain biola sepertimu!" Gadis itu menambahkan, berharap agar lelaki itu merespon sesuai apa yang ia harapkan.
Lelaki itu pun meninggalkan (Y/n) yang masih berdiri di sana. Namun, ia tidak merasa sedih ataupun kecewa, melainkan rasa bahagia yang membuncah ketika mendengar apa yang Inumaki katakan setelah menunggu seabad lamanya. Ah, mungkin gadis itu hanya melebih-lebihkannya saja.
"Temui aku di ruangan ini saat jam istirahat."
"Aye, Captain!"
***
Suara biola yang digesek itu seharusnya terdengar indah. Ya, seharusnya demikian jika Inumaki yang memainkannya. Namun, hal itu tidak berlaku pada (Y/n).
Bunyi yang dihasilkan oleh biola yang digeseknya terdengar merdu. Ya, merdu dalam arti merusak dunia.
"Berhenti, (F/n)."
Sontak (Y/n) berhenti memainkan biolanya. Ah, apakah hal yang ia lakukan tadi bisa disebut sebagai "memainkan biola"? Ia pun merasa ragu.
"Y-Ya? Ada apa?"
Gadis itu mulai gugup dan gelisah. Ia merasa takut jika Inumaki akan berhenti mengajarinya dalam waktu lima menit setelah mereka mulai berlatih. Atau lebih tepatnya mendengar (Y/n) membuat suara seekor tikus yang terjepit oleh pintu. Oh, mungkin kalimat ini terdengar kasar. Namun, itulah kenyataannya.
"Apakah kau sudah pernah memainkan biola sebelumnya?" Inumaki menatap pada (Y/n). Nada suara lelaki itu terdengar biasa saja. Tidak ada nada mengintimidasi ataupun mengancam.
(Y/n) mengangguk. "Sudah, beberapa tahun yang lalu."
"Berapa lama kau berlatih saat itu?" tanyanya lagi.
(Y/n) memasang gestur berpikir. Ia pun kemudian menjawab, "Satu bulan? Ah, bukan." Ia menggeleng. "Kurasa satu minggu. Ya, satu minggu."
Inumaki terdiam. Entah apa yang dirasakan oleh lelaki itu. Dilihat dari wajahnya yang masih sama saat mereka berlatih sejak tadi, (Y/n) tak bisa menebaknya.
"Seharusnya kau bisa memainkan lebih baik dari yang tadi." Inumaki berkomentar. Tidak ada nada yang menusuk ataupun melengking di suaranya saat ia mengatakan hal itu. Namun, entah mengapa di telinga (Y/n) terasa lebih menohok.
"Apakah itu artinya aku bisa bermain lebih baik dari yang tadi? Aku bisa bermain sepertimu kan?" (Y/n) menatap serius pada Inumaki yang berdiri dua meter di depannya.
Lelaki itu mengangguk. Hanya sekedar anggukan, namun sudah membuat (Y/n) menjadi lebih bersemangat.
"Kalau begitu, kau harus lebih giat melatihku!" Secara spontan, (Y/n) tersenyum lebar.
Sementara, pikiran Inumaki dipenuhi tentang hal apa yang membuat gadis di depannya itu terus memintanya untuk diajar olehnya. Itulah isi pikirannya selama jam istirahat di saat mereka mulai berlatih di ruangan yang sama.
***
Yo minna!
Kirain PAT-nya beres hari ini. Ternyata, masih ada 1 hari lagi☺💔 /mengkesal
Hanya karena salah lihat jadwal🚮
Oke, abaikan.
Mungkin kalian bosen lihat kalimat ini. Tapi, tetap akan kuketik di sini.
Terima kasih kuucapkan kepada kalian yang sudah baca dan vomment. Makasih yaa(*˘︶˘*)❤✨
I luv ya!
Wina🌻
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top