Chapter 9: Pamyat'
Hannes menjulurkan tangan untuk berjabat, tetapi ditolaknya oleh Viktor. Keduanya hanya saling berbalas senyum canggung. Harum parfum dari lelaki yang kini berdiri di hadapan Viktor cukup menyengat. Viktor menganggap jika itu wangi dari parfum murahan yang mustinya tidak masuk ke dalam gedung ini. Namun, tidak ingin mencari masalah di pertemuan pertamanya, Viktor membiarkan saja.
Mata Viktor berpaling ke arah Vigge yang masih duduk dan kini sedang mengunyah keju incarannya sedari tadi. "Heh," panggilnya.
Vigge menoleh kemudian menyadari bahwa sudah ada seorang tamu di dekatnya. Ia langsung beranjak dari duduknya dan meraih jabatan tangan Hannes yang sejak tadi tidak dibalas oleh Viktor. "Eh, silakan duduk, Tuan Hannes?"
Sifat ramah dari Vigge membuat Hannes takjub. Ia sudah mengetahui jika Vigge adalah hewan kontrak Viktor, jadi tidak ada yang perlu ditanyakan lagi terkait mengapa keduanya berwujud sama.
Viktor, Hannes, dan diikuti Vigge pun akhirnya duduk. Kecanggungan jelas terasa di sana. Viktor melihat jika aura lelaki berusia dua puluh delapan tahun itu sebenarnya baik-baik saja. Terlihat dari warna auranya berwarna biru tenang. Namun, kecanggungan ini jelas tidak akan bertahan lama berkat Vigge.
"Bagaimana perjalananmu dari Greecia?" tanya Vigge antusias seraya melanjutkan memakan keju. "Silakan dimakan, jangan sungkan. Anggap saja Viktor tidak ada di sini. Dia memang antara ada dan tiada," sindirnya.
Hannes hanya tersenyum. "Hmmm, tidak terlalu lama, sebenarnya. Sekitar 3.690 mil dengan jarak tempuh empat jam menggunakan pesawat."
"Oh, aku kira kau berlari ke sini. Bukankah kau si pelari cepat?" Keduanya tertawa kecuali Viktor mendengar lelucon yang dilontarkan Vigge.
"Ya, begitulah. Limit ini membuatku tidak bisa seenaknya menggunakan kemampuanku." Meski mengetahui jika itu hanya lelucon, Hannes justru membalas dengan serius setelah dirinya tertawa. "Apa kabar kalian, Viktor, Vigge?" tanyanya kemudian.
"Kami? Ah, aku sempurna. Makan enak hari ini, lihat?" Kedua telapak tangan Vigge terbuka seolah mempersembahkan hidangan yang ada di hadapan mereka. "Viktor, yah, begitu. Dia sebenarnya malu-malu jika ada orang baru," cibirnya.
"Hey, aku dengar itu." Tiba-tiba suara tegas Viktor terdengar yang membuat Vigge dan Hannes terdiam. "Hannes, kau makan dulu saja, pasti lelah. Sebelum seluruh makanan ini habis oleh kucing bodoh itu." Tidak di sangka-sangka, Viktor mampu membuat lelucon juga.
"Haha, tidak apa, aku tidak lapar sebenarnya." Sesaat setelah Hannes berkata demikian, terdengar dengan jelas suara perut keroncongan Hannes.
Vigge tertawa terbahak-bahak. Kesopanan sudah tidak ada lagi di antara mereka bertiga. "Sudahlah, makan saja," ujar Vigge.
Mereka bertiga pun memulai pembicaraan ringan sambil menyantap hidangan restoran Black Rabbit itu. Viktor merasa senang ternyata Hannes cocok dengan makanannya dan lelaki itu juga mampu beradaptasi dengan cepat. Vigge adalah yang paling aktif di sana. Ia benar-benar bersusah payah menyatukan Viktor dan Hannes hingga akhirnya sampai di titik keduanya bisa berbicara dengan santai. Meski perlu waktu yang cukup lama.
Viktor tidak langsung menembak ke pembahasan inti. Mereka melakukan pendekatan terlebih dahulu. Mau bagaimana pun Viktor tahu jika berbicara dengan Hannes beda halnya dengan berbicara kepada operator lab-nya. Viktor mencoba sekeras mungkin untuk natural ketika berbincang dengan Hannes, seperti dia berbicara dengan Sir Feliks.
Hidangan pokok terakhir akhirnya habis disantap oleh ketiganya. Kini waktunya mereka berbincang dengan cukup serius sambil menunggu hidangan penutup. Hari mulai gelap, lampu mewah dari Katedral dan Mesjid Agung pun menyala dengan koordinasi yang kompak. Pemandangan itu semakin bertambah bagus saat di langit Ruzia bertebar bintang yang tak terhingga jumlahnya.
"Jadi, bagaimana? Apa yang harus aku lakukan untukmu?" tanya Hannes kemudian seraya menyeruput whiskey sedikit demi sedikit.
"Aku mendengar jika kau pernah terlibat dengan kasus pemalsuan dokumen, benar?" Viktor kembali bertanya pada Hannes.
"Oh, itu kasus lama ... ya, benar. Kemampuanku yang lain adalah duplikasi sidik jari, itu yang membuatku selamat dari kasus ini." Hannes menjelaskan secara ringan. Selain sama-sama anggota Regodnity, keduanya sudah saling percaya sehingga tidak perlu ada yang ditutupi lagi.
"Aku membutuhkan itu, ada satu berangkas di Liezta yang perlu kubuka menggunakan sidik jari. Itu merupakan berangkas rahasia pemerintah Ruzia. Beradasarkan informasi yang aku dapat di dalamnya terdapat satu formula rahasia persenjataan mutakhir Ruzia." Satu tegukan whiskey ikut masuk lewat mulut Viktor.
"Untuk apa kau membutuhkannya?" tanya Hannes.
Viktor menatap mata Hannes serius. "Aku ingin menghancurkan Regodnity."
Pernyataan itu jelas membuat Hannes dan Vigge terkejut. Vigge yang tadinya sudah mengantuk akibat terlalu banyak makan pun kini memelotot ke arah Viktor. Ia tidak percaya akan keluar kalimat tersebut dari mulut majikannya.
"Hey, apa kau bilang?" Vigge jelas langsung mengkonfrontasi Viktor. "Kau gila? Kau mabuk?"
Viktor dengan tatapan malas pun menghela napas panjang kemudian berdiri berjalan ke arah jendela. "Kalian tidak salah dengar. Aku sudah muak dengan organisasi ini. Penuh dengan orang munafik di dalamnya, aku membenci mereka. Terutama Edvard."
"T-tapi, bagaimana bisa? Organisasi ini sekumpulan wujud fana dari dewa, Viktor." Hannes pun bergegas mendekat ke arah Viktor.
"Aku tahu, tetapi setidaknya aku akan mencoba menghancurkannya." Viktor menoleh ke arah lelaki di sampingnya. "Hannes, hanya kau yang memiliki aura positif padaku. Maka dari itu aku hanya bisa meminta pertolongan padamu saja. Aku berjanji tidak akan menyeret namamu ke dalam kasus ini, tetapi bantu aku." Baru pertama kali Viktor memegang kedua pundak Hannes dengan kuat.
Viktor tidak bisa menggunakan kekuatan hipnotisnya pada sesama dewa, maka itu dengan kemampuan bernegosiasinya yang sangat minim, ia mencoba sebaik mungkin untuk mendapatkan keyakinan penuh dari Hannes.
Hannes hanya diam saja, terlihat dari raut mukanya bahwa ia sedang kebingungan. "Apakah kau pengikut setia Regodnity, Hannes?" Viktor mengecilkan volume suaranya.
Lelaki rambut pirang itu menggeleng. "Sebenarnya, aku berada dipihak abu-abu, Viktor. Jika tidak terpaksa, aku tidak mau bergabung juga." Hannes menunduk dengan mata terpejam. "Regodnity telah memberikanku banyak sekali bantuan materi, aku merasa harus balas budi padanya."
"Begitu rupanya. Dengar, sekali lagi aku katakan padamu, aku tidak akan menyeret namamu ke dalam kasus ini. Setelah kau membantuku, urusan kita selesai. Namamu akan tetap aman di mata Regodnity, tetap suci." Viktor mengatakan kata demi kata itu dengan sangat hati-hati.
Sedangkan, dari tempat duduk, Vigge hanya bisa menutup matanya menggunakan kedua tangannya dengan siku yang bertumpu di meja. Vigge masih tidak menyangka mendengar keputusan Viktor. Selama ini, ia tidak pernah tahu terkait hal ini. Viktor berhasil menyembunyikan rencananya ini selama mereka hidup bersama.
Lama hingga akhirnya Hannes kembali menengadah. "Baiklah, ayo. Akan kubantu kau." Anggukan kepala sekali lagi dilakukan oleh Hannes dengan yakin, matanya berkaca-kaca.
Mendengar hal itu, Viktor sangat gembira hingga memeluk Hannes untuk beberapa detik. "Oh, terima kasih, Hannes. Jasamu akan selalu aku ingat, aku juga berjanji akan memberikan tunjangan keuangan padamu untuk seumur hidup di luar dari uang perjanjian awal kita."
"Tunggu!" Suara Vigge hampir memenuhi ruangan restoran yang sudah ramai itu. "Kalian tidak bisa main setuju saja, perlu pemikiran yang lebih matang lagi!"
Kini Viktor mendekat ke arah Vigge yang sudah berdiri di dekat kursinya tadi. "Vigge, kau sudah bersamaku selama empat tahun, bahkan hampir lima tahun. Kau tidak sadar perbuatan seluruh anggota Regodnity padaku bagaimana? Kau tidak ingat hari di mana aku dipukuli oleh staf Regodnity dan dikurung di sebuah kandang bawah tanah tanpa diberi makan dan minum? Kau menginginkan aku hidup seperti itu, Vigge?"
Vigge terdiam sejenak mendengar hal itu. Tidak lama, air matanya mulai menetes. "Tapi, Viktor. Aku tidak mau jika kamu mati karena melawan mereka. Aku tidak mau sendirian lagi. Mereka kuat, mereka Dewa!" Vigge mulai menangis. "Jika kau masih ingat, saat kau masih bayi berusia satu hari, di dekat tempat sampah belakang rumah sakit Mosca. Sebelum kau ditemukan dan diambil oleh Zasha untuk dimasukkan ke panti asuhan, aku yang menemanimu, Viktor. Aku si kucing kecil itu!"
Mendengar itu, Viktor pun tidak tahan dan ikut menangis. Viktor lebih mendekat ke arah Vigge dan memeluknya.
"Aku sayang padamu, Viktor. Aku tidak ingin kehilanganmu lagi. Kekuatan animagi-ku muncul saat kau mendapatkan kesadaran dari Dewa Vidar juga. Malam itu, aku akhirnya menemukan rumahmu. Kau ingat?"
-ooo-
Akhir Tahun 2215, Mosca, Ruzia.
Tubuh pria tanpa busana yang berdiri tepat di daun pintu terbuka lebar seolah membeku saat kedua matanya bertemu dan bertatap lama dengan mata seekor siberian cat berwarna cokelat kopi. Keduanya bergeming. Tangan kanan lelaki itu menggenggam sebungkus plastik penuh sampah berwarna biru yang seharusnya beberapa menit lalu sudah ia buang.
Di tengah kondisi canggung antara Viktor dan kucing itu, rintik salju turun diiringi desiran angin menusuk tulang malam itu. Tidak heran, memang sudah waktunya memasuki musim salju di Ruzia. Meski suhu dingin minus tiga puluh derajat itu tidak berpengaruh apa-apa pada Viktor, entah kenapa saat itu dirinya bergidig dan merasa merinding.
Setelah hampir sepuluh menit, akhirnya satu suara meong terdengar dari siberian cat tersebut. Viktor pun berkedip cepat beberapa kali sebelum kemudian melangkahi kucing itu dan berjalan menuju bak sampah di seberang jalan.
Saat kembali, ia sudah tidak melihat kucing yang semulanya duduk di depan pintu rumah Viktor. Sengaja tidak terlalu memikirkannya, Viktor pun masuk kemudian menutup serta mengunci pintu rumahnya.
Viktor duduk di sofa ruang tengah setelah mencuci tangannya. Ia melirik dan menelisik ke balik jendela, mendapati semua orang sudah menghidupkan penghangat ruangannya. Salju yang turun pun mulai lebat. Viktor merebahkan diri di sofa dan memejamkan matanya.
Sesuatu yang kasar berkali-kali menyentuh pipinya dengan gesekan lembut. Viktor membuka mata saat ia mulai terganggu karena benda tersebut kini merambah ke bibir tipisnya. Ia membelalak dan segera menepis paksa tubuh seekor siberian cat yang sedang sibuk menjilati mukanya—kini kucing itu sudah terlempar ke sudut ruangan.
Viktor segera memposisikan dirinya duduk dan melihat ke arah kucing tersebut dengan tatapan awas.
Kucing cokelat kopi berambut lebat itu berjalan mendekat dan mengerang. Tubuhnya membesar, kaki depannya berubah menjadi sepasang tangan dengan buku-buku jari ramping. Tanpa aba-aba, sesaat kemudian seekor kucing siberia semula manja itu sudah berubah menjadi seorang lelaki familiar.
Lelaki itu tersenyum manis. "Senang bertemu denganmu lagi, Viktor."
Viktor memelotot setelah menyadari bahwa seseorang itu ternyata memiliki wujud yang sama persis dengan dirinya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top