Chapter 13: Udaleniye

Viktor memilih satu atasan kaos tebal lengan panjang berwarna putih dipasangkan dengan celana berbahan hangat warna kuning untuk dikenakan oleh Hannes. Tidak ada sanggahan dari lelaki yang sedang kedinginan itu, Hannes pun langsung memakainya tanpa ragu di hadapan Viktor. Setelah dirasa cocok dengan apa yang ia kenakan, Hannes mengucapkan terima kasih pada lelaki tanpa busana yang sedang berkacak pinggang itu.

"Sampai pakaian itu rusak, aku akan masukkan kau ke dalam ruangan pemanas besi." Berbeda dengan perkataannya, tangan Viktor mengacungkan jari jempolnya.

"Iya, tenang saja." Hannes masih menghadap ke arah cermin untuk melihat penampilan dirinya. "Ini pasti mahal," lelaki itu bergumam.

Tidak lama kemudian, keduanya keluar dari ruangan ganti baju. Viktor mendapati Vigge dan Vannes sedang terduduk setia menunggunya tepat di depan pintu. Saat kejadian di mana Viktor berlarian mengejar Yeti di hutan tadi, ternyata dirinya langsung menekan kontrak pada Yeti tersebut untuk dijadikan sebagai roh peliharaannya.

Sebagai seorang dengan kemampuan memanipulasi perasaan, urusan sihir kontrak sudah menjadi hal yang mudah. Sihir ini masuk ke dalam tiga teratas sihir tersulit yang bisa dipelajari. Namun, hal itu bukan masalah besar bagi Viktor. Dirinya bahkan bisa melakukan sihir kontrak hanya dengan tatapan matanya saja, ini persis sama dengan apa yang ia lakukan ketika pertama kali bertemu dengan Vigge. Awalnya itu tidak sengaja, tetapi ketika Vigge menjelaskan, barulah lelaki tanpa busana itu paham.

Viktor diiringi Hannes berjalan melewati Vigge dan Vannes yang kini sudah dalam posisi berdiri. Mereka melanjutkan perjalanan menuju ruangan berikutnya. Viktor membawa ketiganya lurus menuju pintu dengan tirai bulu menjuntai. Ketika mereka memasuki tirai bulu tersebut rasanya seperti sedang digosok oleh sikat toilet. Juntaian tirai tersebut ternyata memiliki bulu-bulu halus setajam lidah kucing. Proses sterilisasi yang dilakukan di gedung tersebut sedikit berbeda dengan yang ada di laboratorium Yakuzia sebelumnya.

Hannes yang baru pertama mengalami hal itu pun cukup kesakitan. Sampai di beberapa tubuhnya memerah akibat gosokan tirai tadi. Namun, hal itu segera mereda ketika mereka sampai di satu ruangan dengan cairan fana yang semprotkan dari setiap ujung ruangan. Disebut dengan cairan fana karena, rintik air yang keluar dari sana apabila mengenai kulit tidak akan memberikan efek basah.

"Bagaimana bisa secanggih ini?" Hannes mengedarkan pandangannya mendapati barang-barang stainless steel tersusun rapi sesuai bentuk dan ukuran memenuhi ruangan.

"Ini semua Viktor yang buat, ia yang rancang sendiri. Entah bagaimana caranya dia bisa menggali lubang sebesar ini dan mendirikan gedung di bawah tanah." Vigge yang masih bergandengan dengan Vannes pun berjalan mendekati Hannes.

"Astaga, bisakah monster itu diubah menjadi manusia saja? Aku selalu kaget ketika melihatnya," keluh Hannes sambil mengusap dadanya saat menoleh ke arah kiri dan melihat Vannes di sana.

"Aku memang akan mengubahnya menjadi seperti Vigge." Viktor membuka satu peti besi yang terletak di atas podium di tengah ruangan.

"Menjadi kucing?" tanya Hannes dengan kedua matanya melirik sekilas.

"Bagaimana bisa kau sebut dirimu sebagai direktur suatu perusahaan jika kau bodoh seperti ini?" Vigge mengomel sambil mendengus keras. "Maksudnya, Viktor akan mengubah Vannes agar bisa berubah-ubah wujud menjadi manusia seperti aku. Agar ia bisa bicara juga."

"Hannes, kau duduk di sini." Viktor membuka satu terpal putih yang sedari tadi menutupi benda besar di samping peti besi.

"Viktor? Kau akan menghukum mati diriku?" Hannes memelotot ketika melihat kursi besi dengan sabuk di masing-masing hand rest-nya. Di atas kursi tersebut terdapat semacam helm yang banyak sekali kabelnya. "Ini persis seperti torture device."

"Jika aku membunuhmu, maka sia-sialah aku memberikan baju itu padamu." Viktor menghela napas panjang. "Sudah, duduk saja."

Hannes mundur satu langkah dari tempat semula. "Dengar, sebenarnya aku bukan tipe orang yang penurut seperti ini, tet—."

"Sudahlah, turuti saja apa kata Viktor." Vigge dengan paksa menarik tangan Hannes kemudian dengan mudah membuat lelaki itu terduduk di kursi menyeramkan tersebut. "Ini tidak akan sakit." Vigge langsung mengunci semua sabuk yang ada di seluruh bagian kursi.

"Hey, lepaskan!" Hannes berteriak, tetapi jelas tidak ada yang menolongnya saat itu.

Viktor memerintahkan Vannes untuk masuk ke dalam peti besi yang tadi sempat dibukanya. Setelah Yeti tersebut masuk dan berbaring, tanpa menunggu lama, Viktor pun kembali menutup peti besi tersebut. Ia menoleh ke arah Hannes.

"Pejamkan matamu dan pikirkan seseorang yang sangat kau rindukan," ujar Viktor sambil berjalan menuju belakang kursi yang diduduki Hannes.

Lelaki duduk di 'torture device' itu sudah sangat pasrah, tanpa banyak bicara ia langsung menuruti perintah Viktor. Helm besi yang semua berada sejengkal di atas kepala Hannes pun diturunkan oleh Viktor kemudian dikunci.

"Kau tidak akan merasakan apa pun. Saat mesin ini menyala kau akan tertidur, tidak perlu khawatir. Cukup pikirkan seseorang yang kau rindukan saja." Sekali lagi Viktor menjelaskan sebelum akhirnya ia menarik tuas yang terletak di sebuah tabung penuh tombol di belakang kursi.

Benar saja, saat mesin menyala. Kepala Hannes mulai lunglai tidak bertenaga, hanya bertumpu pada sabuk yang mengikat di leher dan keningnya. Suara dari mesin itu persis dengan bisingnya mesin diesel. Gelombang yang dihasilkan dari mesin tersebut cukup tinggi. Tidak lama kemudian, sebuah cairan berwarna bening mengalir dari selang yang ada di helm Hannes menuju ke peti besi yang berisikan Vannes.

"Ayo tinggalkan mereka terlebih dahulu." Viktor berjalan meninggalkan Vigge yang sedang memelotot fokus pada getaran hebat di peti besi tersebut.

"Mereka akan baik-baik saja, kan?" Vigge yang tadinya yakin pun mulai goyah. Ia berjalan mundur mendekati Viktor.

"Tenang saja, memang begitu prosesnya." Viktor menekan tombol lampu untuk dipadamkan. "Yah, sekitar lima jam kemudian, kita akan kembali ke sini." Lelaki tanpa busana itu melangkah melewati tirai lidah kucing lagi diikuti Vigge di belakangnya.

Mereka berdua melanjutkan perjalanan menuju ruangan terakhir yang ada di gedung tersebut. Memasuki lift yang ada di ujung lorong, keduanya langsung naik ke lantai berikutnya. Tidak sampai sepuluh detik di dalam lift, mereka sudah sampai di sebuah ruangan baru.

Viktor dan Vigge berjalan beriringan. Ruangan di sana penuh dengan layar hologram yang memancar di setia sisi ruangan. Penuh dengan kode-kode yang bahkan tidak bisa dibaca oleh orang awam. Viktor pernah menjelaskan pada Vigge bahwa itu adalah bahasa elemen. Ketika air, api, tanah, dan angin berbicara, maka akan seperti itulah tulisannya.

Viktor menciptakan satu teknologi paling mutakhir pada era itu, tetapi tidak bisa ia publikasikan karena ia merasa bahwa jika hal itu tersebar, alih-alih menyelamatkan dunia, justru malah menghancurkannya. Viktor menciptakan The Taste Project ini dengan satu tujuan, yakni menghancurkan Regodnity.

"Viktor, kau mendapatkan banyak pesan dari Edvard." Vigge baru sadar bahwa sejak mereka berangkat, tidak ada sekali pun laporan yang diberikan oleh Viktor pada Edvard.

"Sengaja kuabaikan." Viktor berjalan menuju kursi empuk yang ada di bagian depan ruangan.

Viktor mengedarkan pandangannya, ia mengamati kode demi kode yang tertera di layar. Lelaki itu membacanya satu per satu secara saksama. Pengecekan yang Viktor lakukan di proyeknya ini sebenarnya cukup membosankan, ia hanya melakukan pembacaan kode bahasa elemen tersebut dari awal datang sampai nanti pulang. Sesampainya di bagian bahasa angin, dirinya mendapati satu kejanggalan.

Viktor menggeser kursinya lebih dekat kemudian langsung menyalin kalimat aneh tersebut di atas papan tulis kaca yang ada di tengah ruangan. Ia ingat betul bentuk kode tersebut, tetapi belum bisa membacanya. Itu adalah simbol-simbol yang baru ia temukan. Viktor sangat antusias untuk mempelajari kode tersebut.

"Vigge, ambilkan buku kuning itu." Viktor sedang menggambar ulang kode seraya menunjuk ke arah rak platinum di ujung ruangan. Di sana menumpuk jurnal milik Viktor selama dirinya melakukan proyek The Taste ini.

Vigge tidak kesulitan mencari jurnal terbaru, karena Viktor menyimpan semua benda yang ada di sana secara rapi dan sangat teratur. Kucing berwujud manusia itu berlari ke arah Viktor. Namun, alih-alih melihat Viktor menulis di meja, Vigge justru mendapati majikannya itu sedang menunduk meringis seraya memegang tato The Three Horns of Odin miliknya.

"Viktor? Kenapa?" Vigge meletakkan jurnal kuning itu di meja kemudian ia berlari mendekat ke arah Viktor dan menyangga tubuhnya.

"Edvard, sialan itu, sepertinya sedang membakar cermin fotoku agar aku memberikan respons terhadap pesannya." Keringat dengan bau menyengat mulai keluar dari tubuh Viktor.

Selain menjadi alat komunikasi telepati bagi anggota Regodnity Divisi Nordik, tato yang ada di kanan atas dada Viktor itu bisa menjadi media lain. Tato karya Viktor itu terhubung langsung dengan sebuah cermin yang ada di kamar Edvard. Cermin tersebut memiliki label dari masing-masing anggota Nordik. Hal itu, biasa Edvard gunakan sebagai sinyal untuk mengetahui keberadaan anggota agar tidak kabur dan untuk menghukum anggota yang membangkang seperti Viktor.

"Aku sudah bilang untuk jangan menghiraukan pesan telepati dari Edvard." Vigge mencoba mengusap-usap tato Viktor dengan tujuan memberikan pereda rasa nyeri.

Tidak lama kemudian, Viktor yang sudah tersulut emosi pun bangkit dari duduknya. Ia bergegas pergi ke tempat perkakas yang ada di gudang ruangan tersebut. Sampai akhirnya ia kembali dengan membawa mesin amplas besi, sebilah pisau, dan pinset.

Tatapannya sangat tajam ke arah Vigge. Ia mendekat. "Lakukan!"

Viktor memberikan ketiga alat tersebut pada Vigge yang masih menatap bingung. Tanpa pikir panjang, Viktor langsung naik ke atas meja kemudian berbaring.

Melihat Vigge yang masih bergeming, Viktor kembali berteriak. "Cepat, robek dadaku dan keluarkan chip sialan itu!"

"Hah? Kau jangan gila. Kau hanya tahan terhadap suhu, bukan terhadap benda tajam, Viktor!" Vigge membuang ketiga alat tersebut ke lantai.

"Cepat lakukan, aku sudah muak dengan ini semua!" Viktor menjambak rambut Vigge dan berbicara dengan gertakan gigi yang penuh amarah.

"Kau akan kesakit—."

"Siapa peduli! Cepat!" Suaranya mulai serak karena terus-terusan berteriak.

"Aku! Aku yang peduli!" Vigge menarik tubuh Viktor yang terbaring bersimbah keringat kemudian memeluknya. "Aku tidak ingin kau terluka!"

"Aku mohon, Vigge. Untuk kali ini saja, agar aku bisa lepas seutuhnya dari organisasi terkutuk ini." Nada bicara Viktor mulai melemah sambil masih kesakitan dirinya membalas pelukan Vigge. "Aku tidak akan kesakitan, aku tidak akan mati semudah itu. Ayo, lakukan demi aku, Vigge." Lelaki tanpa busana itu mengelus rambut Vigge yang sempat ia jambak beberapa saat lalu.

"Kau harus berjanji padaku untuk tidak kesakitan terlebih dahulu." Air mata Vigge menetes ke punggung Viktor.

Lelaki berambut pirang itu melepaskan pelukannya, ia mengacungkan jari kelingking untuk menyatakan janji pada Vigge. Senyuman manis yang tersirat di wajah tirus Viktor menggambarkan betapa lelahnya lelaki itu dengan semua hal yang telah ia lalui selama menjadi anggota Regodnity. Matanya bergetar berkaca-kaca menahan tangis. Viktor mengangguk perlahan untuk meyakinkan Vigge yang memelas menatap dirinya.

Jari kelingking Viktor pun berbalas dikaitkan dengan jari kelingking Vigge. Kucing berwujud manusia itu mengambil ketiga alat yang sempat ia buang kemudian meletakkannya di atas meja. Viktor berbaring sambil memejamkan matanya.

Vigge mulai menyalakan mesin amplas portabel tersebut. Bunyinya cukup membuat ia ketakutan. Perlahan Vigge menempelkan mesin yang memiliki bilah kikir terbuat dari aluminium tajam itu ke tato Viktor. Saat mesin tersebut mengenai kulit, tidak perlu menunggu lama, kulit Viktor pun langsung robek dengan darah yang muncrat ke mana-mana.

Vigge melihat Viktor mengigit sangat kuat bibirnya, lelaki itu jelas sekali menahan rasa sakit yang teramat sangat. Air mata Vigge kembali menetes, ia sempat mengangkat mesin amplas itu sebentar karena ketakutan. Namun, tangan Viktor menghadangnya, seolah menyuruhnya untuk tetap melanjutkan.

Saat daging di bagian dada Viktor mulai terlihat, Vigge langsung mematikan mesin amplas tersebut kemudian mengambil pisau. Vigge masih menangis dengan pisau tajam terbuat dari emas itu berada digenggaman tangannya. Sebelum ia menyayat daging yang berlumuran darah tersebut untuk mencari chip, Vigge menyadari bahwa lelaki kesayangannya ini sama sekali tidak bergerak.

Menyadari ada yang tidak beres, Vigge langsung melempar pisau tersebut. Ia segera mengecek napas hidung, nadi yang ada di leher, dan nadi yang ada di pergelangan tangan Viktor. Namun, Vigge tidak menemukan satu detak pun di sana. Dengan sangat tegang, Viktor mencoba membuka mata Viktor. Saat dirinya mendapati pupil mata majikannya tersebut membesar, ia menjerit dan menangis sekeras mungkin.

"Viktor!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top