Chapter 12: Zdaniye
Mobil listrik kuning milik Viktor melaju cukup kencang di jalanan berbatu hutan perbatasan Mosca dan Kaza. Setelah puas dengan foto-foto bersama mayat hidup, Viktor dan Vigge bergegas pergi dari tempat tersebut karena burung-burung gagak mulai berdatangan dan memakan bola-bola mata para mayat hidup di sana. Viktor membelokkan mobilnya ke arah utara menuju wilayah Kaza.
Viktor sebenarnya sudah melewati beberapa laboratorium atas naungan dirinya dan Regodnity di beberapa tempat. Hal itu dilakukan oleh Viktor karena ia rasa tidak perlu mengeceknya sebab tidak ada keluhan apa pun. Meski demikian Edvard beberapa kali menghubungi Viktor lewat tato Three Horns of Odin miliknya. Namun, Viktor tidak menggubrisnya.
Sampai ketika mobil kuning tersebut berada di jalanan mulus Kaza, Hannes pun akhirnya bangun. Ia terlihat seperti seorang yang sedang mabuk kendaraan. Hannes bersandar di sebuah bulu-bulu tebal dan hangat. Hannes merasa nyaman sehingga dirinya meneruskan untuk tidur seraya memeluk benda berbulu di sampingnya itu. Merasa karena benda itu terus bergerak dan beberapa kali ia merasa ada cairan yang menetes ke rambutnya, Hannes pun membuka mata.
Betapa kagetnya pria baju putih compang-camping tersebut melihat satu makhluk besar sedang duduk di sampingnya, menatap ke arah dirinya dengan mata merah terang. Air liurnya tidak jarang menetes ke arah Hannes. Ia menatap makhluk tersebut yang kini terlihat seperti tersenyum padanya. Melihat itu, Hannes berteriak sampai melompat ke kursi mobil depan dan duduk di pangkuan Vigge.
"Yeti! Kenapa makhluk itu masih ada di sini?" Hannes bergerak menggeliat ke sana ke mari menghindar ciuman sosok setengah entitas tersebut.
"Hannes, kau bisa diam tidak?" omel Viktor yang merasa terganggu mengemudi karena saking hebohnya wujud fana Dewa Hermes tersebut.
"Aaa! Turunkan monster itu, turunkan hantu itu!" Tidak menghiraukan perkataan Viktor, Hannes masih seperti cacing kepanasan di atas pangkuan Vigge.
Kucing berwujud manusia tersebut merasa Hannes sudah terlalu berlebihan bereaksi terhadap Yeti yang padahal diam saja sejak tadi. Monster tersebut sebenarnya menyukai aura positif Hannes, maka itu ia selalu mengendus lelaki cacing disko itu. Namun, melihat Hannes memberikan respons negatif terhadapnya, Yeti itu pun terdiam dan cemberut.
"Yeti itu tidak berbahaya," Vigge mencubit hidung Hannes yang kini jaraknya tinggal sekitar lima sentimeter saja dari mukanya. "Biar aku yang duduk di belakang," ujar Vigge kemudian.
Kehebohan yang sempat terjadi di dalam mobil Viktor pun berangsur reda. Hannes yang kini duduk di samping Viktor sama sekali tidak ingin menoleh ke belakang meski beberapa kali Vigge menggodanya untuk menengok. Hannes bahkan tidak menyadari jika sekarang kemeja yang digunakannya sudah robek tidak karuan. Saat Viktor menyadari hal itu, ia langsung bilang pada Hannes bahwa dirinya akan membelikannya lagi yang baru. Entah Hannes harus senang atau bagaimana yang pasti ia masih syok karena Yeti tersebut.
Sebelumnya saat mereka awal bertemu dengan Yeti, tubuh monster tersebut sangatlah besar. Namun, sesuai dengan perkataan Viktor bahwa sosok tersebut adalah hantu setengah monster, jadi ukuran tubuhnya akan menyesuaikan dengan tempat yang sedang ia hinggapi. Rambut-rambut putih dari monster tersebut membuat Vigge merasa nyaman, sehingga dirinya pun tidur bersandar pada badan Yeti yang masih terlihat murung atas perlakuan Hannes.
Cukup lama, sampai akhirnya mereka tiba di sebuah belokan arah ke kaki gunung. Di ujung jalan buntu, Viktor melajukan si kuning ke arah sebuah rumah kayu yang berada di dekat sungai perbatasan. Di dalam kegelapan jalan tanpa tiang lampu pemancar, Viktor seolah sudah hapal betul dengan wilayah yang ada di sana. Tidak ada kendala sedikit pun, lelaki tanpa busana tersebut segera memarkir mobilnya di depan sebuah garasi.
"Tunggu di sini," ujar Viktor seraya turun dari mobilnya.
Hannes masih terdiam karena sejujurnya ia masih takut dengan Yeti yang ada tepat di kursi belakangnya. Vigge yang masih tertidur lelap, seolah membiarkan Hannes berdua dengan Yeti. Lelaki si pelari cepat tersebut mengarahkan pandangannya secara bergantian ke arah telapak tangan basahnya dan ke arah Viktor yang sedang membuka pintu garasi.
Tidak lama kemudian, Viktor kembali ke mobil dan langsung memasukkan si kuning ke dalam garasi. Pintu ruangan tersebut tertutup dengan sendirinya. Di dalam ruangan gelap ini, mereka tetap tidak keluar dari mobil. Setelah sekiranya pas di tengah ruangan, Viktor pun menekan satu tombol bersimbol delapan belas plus di dalam mobilnya.
Lantai yang dipijak oleh mobil listrik Viktor pun bergetar diiringi dengan suara gemuruh batu. Hannes menyaksikan fenomena yang cukup asing bagi dirinya pun merasa terpukau. Ketika lantai tersebut turun seolah menjadi lift untuk mobil kuning Viktor. Semakin dalam ke bawah tanah, semakin gelap juga area sekitar. Sampai akhirnya mereka sudah tidak bisa melihat satu sama lain. Bunyi bipp dua kali menandakan bahwa mereka sudah sampai di permukaan.
"Kita di mana?" tanya Hannes.
"Hah? Sudah sampai?" Suara berat pun terdengar dari belakang, Vigge baru bangun tidur seraya menguap.
"Belum, ini masih di lantai bawah." Viktor menjawab dengan singkat.
Mesin mobil listrik miliknya kembali dinyalakan. Saat lampu sorot mobil ikut menyala, terdapat satu terowongan dari platinum lurus memanjang. Hannes lagi-lagi merasa terpukau dengan apa yang sedang ia saksikan. Namun, di sisi lain ia memiliki trust issue terkait ruangan bawah tanah.
Tanpa pikir panjang, Viktor segera melajukan mobil dengan santai. Seiring dengan mobil kuning itu lewat, setiap lima meter di depan mobil tersebut lampu menyala satu per satu. Sehingga terowongan yang tadinya gelap pun sudah jauh lebih terang. Dinding platinum tersebut ternyata berlapis cairan kimia berwarna ungu yang masih belum diketahui apa nama periodiknya, yang pasti itu berada ada di fase liquid radioaktif.
Cukup lama mereka mengarungi terowongan tersebut sampai akhirnya sampailah mereka di sebuah ruangan terbuka semacam tempat parkir di hotel-hotel mewah. Beberapa mobil dengan warna yang sama terparkir di sana. Semuanya berwarna kuning.
"Whoa ... mobil siapa ini semua?" Kepala Hannes sampai berputar ketika mereka melewati mobil tersebut satu per satu, bahkan dirinya hampir lupa jika tepat di belakangnya masih ada Yeti yang kini sudah kembali tersenyum menatap Hannes.
"Itu milik Viktor semua," timpal Vigge sambil membetulkan posisi duduknya. "Hey, mau tukar tempat duduk lagi?" tanyanya kemudian.
"Tidak, terima kasih. Selama gorila albino itu ada di sana, aku tidak mau duduk di belakang." Ucapan Hannes yang demikian ternyata tidak membuat Yeti senang, monster itu langsung meraung tepat di samping telinga Hannes. Lelaki yang kini gemetar itu pun menutup telinganya rapat-rapat sambil memejamkan matanya. "Tolong!"
"Yeti, makan saja dia." Viktor yang melihat teman di sampingnya panik itu pun mulai jail.
"Viktor!" teriak Hannes hampir menubruk Viktor saking sasahnya.
Mesin si kuning pun akhirnya dimatikan oleh Viktor. Mereka sampai di sebuah area yang diyakini sebagai tempat parkir dekat dengan pintu besi berkode. Viktor mengajak semuanya turun, termasuk Yeti. Sesaat setelah monster itu turun dari mobil, tubuhnya kembali berubah menjadi sosok setinggi tiga meter. Namun demikian, Yeti sangat menurut dengan apa yang dikatakan oleh Viktor. Ia diam terduduk beberapa meter di belakang Viktor, sesekali jari tangannya mencolek punggung Hannes yang masih ketakutan.
"Viktor!" Tiba-tiba Vigge berteriak memanggil majikannya, hal itu jelas membuat Hannes kaget. "Aku sudah mendapatkan nama yang pas." Ia bergegas mendekati Viktor.
"Nama?" tanya Hannes seraya mengernyitkan dahinya.
Vigge mengangguk cepat. "Untuk dia," tunjuknya pada monster yang kini sedang terduduk santai dengan mata yang mengedar. "Vannes jika dia lelaki, Vannesha jika dia perempuan, bagus?"
"Hey, kenapa sangat mirip dengan namaku?" Hannes jelas protes mendengar hal itu.
"Dia menyukaimu, aku melihat bahwa Vannes atau Vannesha ini ingin menikahimu." Vigge berjalan mendekati Hannes dan merangkulnya. Ia menoleh ke arah Yeti yang berurai air liur. "Benar, kan, Vannes Vannesha?" tanya Vigge.
Tidak di sangka-sangka Yeti tersebut merespons dengan anggukan senang.
Hannes melepaskan rangkulan Vigge dengan kesal. "Hey! Aku manusia, eh, dewa ... eh, manusia dewa! Dia monster!" Ia sebisa mungkin menyanggah perkataan Vigge. "Lagi pula monster itu tidak diketahui jenis kela—."
"Laki-laki. Yah, sayang sekali sepertinya dia tidak akan berjodoh denganmu, Tuan Hannes." Vigge memotong pembicaraan Hannes. "Namamu berarti Vannes!" Kucing berwujud manusia itu sekarang sudah memegang dua buah benda semacam bola yang ada di area intim Yeti tersebut sambil memain-mainkannya.
"Viktor, lihat Vigge!" Hannes merasa tidak bisa berkata-kata pun melaporkan pada lelaki yang masih sibuk dengan papan tombol yang ada di samping pintu masuk ruangan.
"Abaikan saja, kau tidak perlu repot mengurusnya," gumam Viktor sambil menekan tombol yang terakhir.
Pintu masuk gedung antah berantah ini memiliki kata sandi berupa angka dan simbol sebanyak 99 buah. Sebagai pemilik kemampuan hyperthymesi, Viktor dengan jelas mengingat semua sandi tersebut. Sampai Hannes melongo ketika banyaknya titik-titik di layar akses.
"Kau menghapalnya? Apa saja isi otakmu, Viktor." Hannes menggeleng kemudian menoleh ke arah Vigge secara singkat. Diketahui hewan kontrak itu masih memainkan buah zakar Yeti dengan asik.
"Ayo, masuk," ajak Viktor seraya membuka pintu besi tersebut.
Semuanya bergagas masuk ke gedung yang masih belum diketahui sebagai tempat apa. Lorong gedung tersebut terasa sangat dingin. Untuk Viktor dan Vigge ini adalah hal yang sangat normal. Namun, beda halnya dengan Hannes. Ia yang tidak terbiasa dengan suhu dingin pun langsung mengigil. Viktor sempat mengomeli lelaki yang umurnya beberapa tahun lebih tua dari dirinya itu karena tidak mengenakan jasnya. Hannes dengan kemeja compang-camping itu pun mendapat satu jitakan dari Viktor.
Di simpang tiga pertama, mereka berbelok dan memilih jalan yang sebelah kiri. Viktor membawa ketiganya ke sebuah ruangan luas diisi dengan baju-baju mewah yang dipajang di dalam tabung. Fakta menarik tentang Viktor, ia cukup intens dan sering membeli pakaian yang dirinya suka. Namun, karena ia tidak bisa mengenakannya karena alergi tekstil yang ia idap, maka seluruh pakaian dan aksesoris yang bisa membuat alerginya kumat ia simpan di satu ruangan ini.
Rata-rata pakaian yang ada di dalam 'giant closet' itu berwarna kuning, sudah dipastikan jika Viktor sangat menyukai warna cerah tersebut. Ia berjalan menuju satu ruangan kecil, tetapi hanya memperbolehkan Hannes masuk, sedangkan Vigge dan Yeti yang kini bernama Vannes diperintah untuk menunggu di luar.
Pintu ruangan pun di tutup. "Lepas semua pakaianmu."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top