Chapter 10: Plan
Ingatan Viktor tentang awal mula bagaimana dirinya bertemu dengan Vigge cukup membuat lelaki tanpa busana itu merasa memiliki keluarga. Ia juga tidak menyangka jika ternyata Vigge begitu menyayanginya, karena pada awalnya Viktor berpikiran bahwa Vigge adalah kucing utusan Edvard untuk memantau dirinya. Namun, ternyata dugaan itu salah.
Hannes yang menyaksikan adegan mengharukan di hadapannya itu pun hanya bisa menatap haru keduanya sambil sesekali memberikan tisu pada Vigge. Sampai dua kali mereka meminta pelayan untuk mengantarkan tisu ke meja. Seolah tidak tertahan sedari tadi Vigge sudah menangis dramatis sampai pengunjung yang lain melihat heran ke arahnya.
Kejadian ini berlangsung cukup lama hingga akhirnya hidangan penutup mereka datang. Tiga gelas es krim rasa campur, kue almond yang sangat lembut, dan satu wadah buah-buahan berisikan anggur, apel, jeruk, melon, kiwi, dan stroberi. Vigge yang tadinya menangis, langsung berhenti, melepaskan pelukannya pada Viktor, dan mulai mengambil es krim di hadapannya.
Tanpa banyak bicara ketiganya langsung memakan hidangan manis menggiurkan itu. Viktor sebenarnya tidak terlalu suka kue, tetapi saat itu karena baru selesai menangis, jadi ia memakan beberapa suap untuk menetralisir kesedihan. Viktor melihat aura Hannes yang sama sendu dengan dirinya. Ia tahu jika Hannes pun ikut sedih atas adegan tadi.
"Maaf, kau jadi masuk ke dalam prahara rumah tanga ini," kata Vigge seraya menjilat-jilat es krim di sendoknya. Kini gelas kedua sudah ada di tangan kanannya.
"Eh, Vigge? Kau sudah tidak sedih lagi?" tanya Hannes penasaran.
"Sedih, tetapi makanan manis ini membuatku merasa harus memakannya. Kau makanlah es krim ini, Viktor tidak suka, ambillah." Vigge kemudian menyodorkan satu gelas terakhir es krim rasa cokelat pada Hannes.
"Dia sepertinya hanya akting saja, kucing memang pandai bermain drama, kan?" ujar Viktor ketus.
Hannes tidak berani berkomentar atas ucapan Viktor. Menurutnya ini adalah momen yang baru saja menyayat hati, tetapi bisa-bisanya Viktor dan Vigge semudah itu melupakan. Satu hal yang akhirnya Hannes sadari adalah bahwa dua orang yang ada di hadapan dan di sampingnya ini tidak memiliki perasaan.
Lama di antara mereka tidak ada perbincangan. Sampai akhirnya, hidangan penutup pun sudah mereka santap seluruhnya. Ketiganya memutuskan untuk pergi dari restoran tersebut. Setibanya di parkiran, tanpa ada perbincangan yang signifikan, mereka pun masuk ke dalam mobil kuning Viktor.
"Jadi, kalian akan melakukan rencana itu kapan?" tanya Vigge. Ia memutuskan untuk tetap berada di wujud manusianya.
"Waktu tidak banyak, sebelum tahun baru aku harus bisa menyelesaikan rakitan bomku." Viktor mulai menyalakan mesin mobilnya.
"Tunggu, kemampuan duplikasi sidik jariku ini memerlukan sampel sidik jari terlebih dahulu." Hannes membenarkan posisi duduknya sedikit condong ke depan.
Viktor melajukan mobilnya menuju jalanan besar. "Justru itu, kita akan menemui seseorang terlebih dahulu untuk sampel sidik jarimu."
"Apa semudah itu untuk mendapatkan sidik jarinya?" tanya Hannes curiga.
"Kita lihat saja nanti." Mobil kuning yang dibawa Viktor ia belokkan ke arah kanan jalan bercabang.
Viktor, Vigge, dan Hannes pun tidak banyak bicara selama perjalanan. Sesekali Vigge yang masih memiliki energi berkomentar terkait plang yang ada di jalan. Waktu menunjukkan hampir tengah malam ketika mobil kuning itu melaju melewati banyaknya pohon cemara yang mulai diselimuti salju tipis. Mereka sampai di sebuah hutan perbatasan Mosca dan Kaza.
Viktor memelankan kemudinya sambil mengedarkan pandangannya. Seolah mencari sesuatu, Viktor mengernyitkan dahinya. Hanya ada mobil mereka saja di sana. Lampu penerangan jalan pun tidak terlalu terang, itu lebih di pasang setiap satu per lima ratus meter. Hutan yang panjang ini benar-benar sunyi. Tidak jarang Hannes terlihat mengusap punggung tangannya karena merinding. Ia yang notabenenya takut dengan hantu pun sudah berpikiran yang tidak-tidak.
"Viktor? Kenapa kau memelankan laju mobilnya?" tanya Hannes kemudian saat sekilas dirinya melihat sepasang cahaya merah di dalam hutan.
"Aku sedang mencari jalan masuknya." Suara Viktor yang terdengar perlahan justru membuat suasana semakin mencekam.
Hannes sekali lagi menggeser duduknya merapat ke depan. "Jalan masuk? Jangan bilang kau—,"
Belum selesai Hannes berkata demikian, Viktor akhirnya membelokkan mobil ke suatu jalan berbatu yang sudah jelas itu bukan jalan utama. Mereka masuk ke dalam hutan dengan perasaan campur aduk. Viktor kesulitan untuk mengemudikan mobil listrik tersebut di dalam jalanan berbatu tersebut. Dua cahaya merah yang sempat Hannes lihat tadi, ternyata mengikuti mereka dari belakang.
Sampai akhirnya Viktor menghentikan mobil kuning miliknya tepat di hadapan sebuah gerbang berkarat. Kondisinya cukup memprihatinkan dan sangat jauh dari jalan utama. Sesaat Viktor mematikan mesin mobilnya, ia menoleh ke arah Hannes yang sudah berkeringat.
"Sebelum kita turun, biar aku jelaskan." Viktor tersenyum kecil. "Ini adalah pemakaman para pasukan militer korban akibat peperangan antara Ruzia dan Nordia di masa lampau. Saat itu pernah terjadi perbedaan ideologi antara dua negara ini yang menjadikan perang besar."
Viktor menunjuk ke arah atas gerbang besi tersebut. Di sana terdapat satu tulisan 'Kladbishche Svyato-Kazanskoy Tserkvi' yang berartikan 'Pemakaman Gereja Kaza Suci'. Tulisan tersebut terlihat berwarna emas yang sudah memudar dengan terdapat kotoran mengering di beberapa huruf di sana.
"Lalu kenapa kita ke sini?" tanya Hannes.
"Justru itu, kita akan mencari satu kuburan milik ketua pasukan Nordia yang di kubur di sini. Berdasarkan riset yang aku dapatkan, brankas tersebut hanya bisa dibuka menggunakan sidik jari orang tersebut." Viktor menjelaskan sambil sesekali manik matanya bergulir ke atas tertanda berpikir.
"Hannes? Kau bisa melihat makhluk halus, ya?" Vigge sedari tadi curiga sambil memperhatikan mata Hannes yang terlihat tidak nyaman.
Hannes hanya mengangguk pelan. "Sebenarnya ... aku sedikit kurang nyaman dan biasanya menghindari hal semacam ini." Ia mengelap keningnya yang berkeringat menggunakan tangannya.
"Aku melihat di matamu ada pantulan yang berbeda." Vigge meyakinkan pendapatnya. "Kau bisa melihat masa lalu seseorang sepertinya."
"Bagus kalau begitu, itu akan lebih baik untuk pencarian kita." Tanpa memikirkan perasaan Hannes yang sudah ketakutan sejak tadi, Viktor malah menganggap hal tersebut sebagai kesempatan emas.
"Energiku akan cepat terkuras jika melakukan penerawangan," ujar Hannes.
"Benar juga, tetapi tenang, Vigge bisa melimpahkan mana padamu." Viktor membuka sabuk pengamannya dan bersiap untuk turun. "Karena ketua pasukan Nordia tersebut adalah hal yang penting, aku pastikan tidak akan semudah itu untuk kita mendapatkan sidik jarinya."
"Hey, apakah kita akan menggali makam, Viktor?" tanya Vigge kemudian sambil mengambil satu botol air mineral dan meneguknya.
"Tentu saja." Seolah sudah merencanakan hal ini dengan sangat matang, Viktor menjawab setiap pertanyaan dengan sangat enteng. "Kau yang akan menggali. Biar aku dan Hannes yang menjaga penunggu makam di sana."
"Viktor? Kau tahu kan penjaga makam di sini bukan manusia?" tanya Hannes ragu.
Viktor mengangguk yakin. "Ya, aku bisa melihat entitas tidak kasat mata juga. Kau lihat Yeti bermata merah di jalan tadi?"
Mendengar hal itu, Hannes langsung menelan ludah dengan berat. Dirinya semakin bingung, bagaimana bisa Viktor bersikap sangat santai disaat bisa melihat makhluk mengerikan setiap harinya. Satu fakta menarik kembali didapatkan oleh Hannes terkait lelaki tanpa busana itu.
Dua cahaya merah yang sedari tadi mengikuti mobil kuning milik Viktor adalah sesosok Yeti penunggu hutan. Makhluk tersebut adalah sebuah mitos di kalangan penduduk Ruzia. Membutuhkan energi yang sangat besar untuk makhluk tersebut bisa menampakan wujudnya ke permukaan umum. Yeti bukan tipe makhluk yang membahayakan sebenarnya, sosok tersebut hanya diselimuti dengan rasa penasaran yang tinggi sehingga apabila ada orang baru ia akan terus mengikutinya.
"Coba kau lihat ke belakang." Viktor berkata demikian sambil tertawa.
Hannes dengan refleks langsung menengok ke belakang. Betapa kagetnya ia sampai terperanjat ketika melihat tepat di kaca mobil Viktor terdapat sepasang mata merah Yeti seolah mengintip. Mata tersebut memelotot sangat besar dengan rambut-rambut berwarna putih di sekitarnya. Tekstur mukanya lebih terlihat seperti gorila albino, tetapi jauh lebih mengerikan. Hannes hampir berteriak melihatnya.
"Astaga, Viktor! Bagaimana bisa dia menempel di belakang mobilmu!" Hannes panik saat Yeti tersebut berjalan ke arah samping mobil Viktor dan berhenti tepat di samping jendela pintu bagian tengah. Yeti itu kembali mengintip melihat ke arah Hannes.
"Lebih baik kita turun supaya tahu." Viktor terdengar antusias seraya membuka pintu mobilnya.
"Heh, jangan!" Hannes hampir menarik rambut Viktor, tetapi tidak sampai karena Viktor terlanjur keluar.
"Ayo, Tuan Hannes," ajak Vigge seraya menggeser tubuhnya ke tempat duduk Viktor. Ia tidak bisa membuka pintu mobil bagian dirinya karena terhalang oleh tubuh besar Yeti.
"Kalian sudah gila, ya?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top