˗ˏˋ ⸙: ❛ 3, tika nirmala terluka
"Aku memang sengaja melakukannya."
Tutur kata mengubah segalanya. Sanubari tertikam ribuan jarum. Kalbu mendadak candala. Tak terelakan.
"Kau... sengaja?"
Diri hanya mampu mengulangi tutur kata. Dengan lirih, dengan derana yang sudah meliputi diri sang puan. Detik berjalan lambat. Kendati demikian, jawaban masih ditunggu presensinya.
"Ya. Mengapa?" Jejaka mengagah remeh. Menyilet kalbu milik (Name). "Bukankah aku sudah pernah berkata padamu? "Aku tidak pernah menyukai seseorang yang mencintai diriku.". Namun, apa? Justru kau sendiri yang melanggarnya, (Name)."
Dersik sarayu bergema dalam sunyi. Eunoia tak lagi berada di sana. Lenyap, bersamaan dengan harsa yang ikut gata.
Ketaksaan niscaya menyelimuti rahara. Pun renjana mulai pudar, redup. Tak ada karsa untuk kembali ke sana meski ia masih dibutuhkan.
"Me... ngapa?"
Dengusan keluar dari hidung si jejaka. Manik samudranya seolah-olah menenggelamkan diri sang puan. Aksa, ke dalam sana.
"Kau justru bertanya 'mengapa'?"
Diam sejenak. Berharap nuraga masih berada di dalam diri sang teruna. Berharap ketaksaan lekas hilang, tanpa bekas.
"Aku membencimu. Itulah alasannya."
Hening menyapa. Kala nabastala dirangkul oleh sang gegana. Pedih dirasakan dalam genggaman. Ketidakpastian mencengkeram dirinya semakin erat.
Dengan pahit, (Name) berkata, "Ya, aku tahu."
Kata-kata terlontar. Sunyi masih menyelimuti. Berdiam di antara kedua raga. Tepat di kala diucapkannya rentetan kata.
"Jika kau sudah tahu, mengapa kau masih mendekatiku? Bertindak seolah-olah tidak terjadi apa-apa," sentaknya.
Kepala ditengadahkan. Diri termangu sejenak. Terbelenggu dalam estetika sang buana.
Gemetar menyelam dalam tutur kata. "Apakah kau pikir aku bisa membencimu balik? Di saat perasaan ini pun ikut bertumbuh?"
Lafaz tawa masam menyapa rungu sang puan. Dicuri pandang ke arahnya. Durja tampak menyirat remeh.
"Cinta, yang kau maksud? Hei, berhenti membuatku tertawa."
Labium terkatup rapat. Diiringi oleh detak jantung yang terasa membunuhnya perlahan. Kontras dapat ditilik pada masing-masing durja.
"Aku membencimu, (Name). Bukan mencintaimu."
Detik yang berjalan dalam hening seolah-olah menusuk ke dalam jantungnya. Amat dalam hingga pedih dirasa. Liquid bening tampak sirna disapu oleh tangan.
Ditariknya kurva menukik tajam. Tak boleh isak tangis terdengar rungu. Itulah aturan untuk dirinya sendiri. Kendati demikian, rangkulan sang kepedihan kian dalam. Hingga raga tak mampu menahan desakan mata yang solak mengeluarkan cairan bening itu.
Lagi-lagi, sang puan melakukan hal yang serupa. Bukan itu hasratnya. Sebaliknya, ia menginginkan yang sebaliknya. Bagai antonim dalam kata.
Pawana menyisihkan gegana pethak. Menyembunyikan baskara di balik dirinya. Di balik muramnya sang buana. Pun kabur dalam pandangan. Kian menentang tugasnya sendiri.
"Tidak apa-apa. Aku... baik-baik saja."
Dustalah yang dilontarkannya. Seiring netra yang melebar. Derita berteriak kala mendapati cairan bening mengalir secara perlahan. Mengaburkan pandangan si manik (e/c) itu.
Karena ia tahu, tak ada lagi hasrat yang tersisa dalam benaknya. Semuanya telah lenyap, menyisakan gulana yang tak pernah habis.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top