Chapter 62 - Farewell

Gadis itu membuka matanya. Lagi-lagi ia berada di padang rumput yang sangat luas. Langit berwarna biru dengan kumpulan awan berwarna putih menjadi kanvas yang terbentang di atas kepalanya.

(Y/n) menoleh ke kanan dan ke kiri. Ia tidak melihat siapapun di sekitarnya. Hanya dirinya seorang diri di sana.

"Kita berjumpa lagi, (Y/n)."

Mendengar suara bariton milik seseorang yang berasal di belakangnya, (Y/n) pun menoleh. Manik (e/c) bersitatap dengan netra milik lelaki bersurai peach itu. Seperti biasa, senyuman muncul di wajahnya.

"Konnichiwa, Sabito-san." (Y/n) segera bangkit berdiri dan membungkuk singkat.

"Apakah aku dilupakan begitu saja?"

Dari belakang Sabito, muncul seorang gadis dengan topeng rubah di tangannya. Sama seperti Sabito, ia juga tak memakai topeng itu di wajahnya.

"Kau selalu muncul tiba-tiba ya, Makomo," komentar Sabito.

"Gomen, sepertinya sudah menjadi kebiasaan untukku," sahut Makomo seraya terkekeh.

"Mengapa aku bisa bertemu dengan kalian? Apakah... aku sudah meninggal?" tanya (Y/n) pada mereka berdua.

"Belum. Kau belum meninggal, (Y/n). Hanya saja, saat ini kau kehilangan kendali akan tubuhmu sendiri. Sepertinya rencanamu itu berhasil ya," ujar Sabito sambil tersenyum singkat.

(Y/n) diam sejenak. Lalu ia berkata, "Apakah Kibutsuji Muzan telah dikalahkan?"

Makomo dan Sabito mengangguk sambil tersenyum.

"Ah, syukurlah," ucapnya lega.

"(Y/n)," panggil Sabito.

(Y/n) pun menatap pada Sabito. "Ya?"

"Terima kasih karena telah menyelamatkan dunia ini. Terima kasih banyak," ujarnya sambil tersenyum. Matanya terlihat berkaca-kaca. Air mata siap tumpah dari pelupuk matanya itu.

"Aku juga ingin mengucapkan terima kasih. Terima kasih, (Y/n). Setelah ini, kami bisa benar-benar pergi dengan tenang," kata Makomo sambil tersenyum getir.

"Jangan berterima kasih padaku. Teman-temanku yang lain juga ikut membantu," ucap (Y/n) tak enak hati.

Sabito dan Makomo saling pandang. Lalu, mereka kembali menatap (Y/n).

"Sayonara, (Y/n)."

Mereka berjalan menjauh. Menuju sebuah tempat yang sangat terang dan menyilaukan mata. Ya, kini mereka sudah tenang.

***

"Oi, ini serius?" tanya Sanemi sangsi.

Kazuo mengabaikan apa yang ada di sekitarnya. Ia mendekat pada (Y/n) sebelum gadis itu mengamuk lebih jauh dan melukai mereka semua yang ada di sana.

Sebuah suntikan berisi obat yang diberikan oleh Tamayo berada di tangan Kazuo. Ini adalah obat yang (Y/n) minta hari itu, beberapa hari sebelum pertempuran akhir mereka. Sekarang ia hanya perlu menyuntikkan obat itu dan semuanya akan selesai. Ya, selesai.

Butuh beberapa saat sebelum obat itu mulai bereaksi. Wajah (Y/n) yang berada di pelukan Kazuo mulai tampak tenang. Perlahan, gadis itu pun membuka matanya.

Air muka Kazuo yang terlihat lega adalah hal pertama yang ia lihat. (Y/n) mengalihkan pandangannya. Ia menatap pada Sanemi yang masih terluka. Juga pada Muichirou yang menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Oh, jangan lupakan Giyuu, Obanai, dan Gyomei yang juga berada di sana. Beserta Shinobu dan Mitsuri yang tampak khawatir.

"Tadaima, minna-san."

***

Langit malam tampak sangat indah. Sudah tidak ada lagi malam yang menakutkan. Malam yang penuh dengan darah dan isak tangis akibat para Iblis. Kini mereka telah sepenuhnya musnah.

"Langitnya indah ya, Mui-chan," komentar (Y/n) pada lelaki di sebelahnya, Muichirou.

"Hm," gumamnya. Entah artinya setuju atau tidak.

(Y/n) hanya terkekeh. Ia melirik Muichirou sejenak, lalu kembali memandang pada langit malam penuh bintang itu.

"(Y/n)-chan! Mari kita nikmati masakannya Matsumoto-san!" seru Mitsuri dari belakang (Y/n).

Gadis itu berlari tergopoh-gopoh mendekati (Y/n). Menarik tangan (Y/n) dan juga tangan Muichirou.

"Muichirou-kun, kau juga harus ikut, ya!" ucap Mitsuri antusias.

Pada akhirnya, Mitsuri menyeret mereka berdua ke halaman belakang kediaman Ubuyashiki Kagaya. (Y/n) mengikuti Mitsuri dengan senang hati. Sementara itu, Muichirou mengikuti Mitsuri dengan terpaksa. Ia masih ingin menikmati waktunya berdua dengan (Y/n).

Tibalah mereka di halaman belakang kediaman Kagaya. Pemilik rumah itu sedang memperhatikan mereka yang berada di halaman belakang rumahnya. Canda tawa terdengar di sana. Mengisi keheningan malam hari.

"Masakanmu enak sekali, Matsumoto-san!" puji Mitsuri sambil menuangkan sup miso ke dalam mangkuknya lagi.

"Ah, terima kasih," sahut lelaki itu sambil mengusap tengkuknya.

"Kau tidak makan, (Y/n)?" tanya Shinobu ketika ia melihat (Y/n) tengah duduk di sana tanpa memakan apapun.

(Y/n) menoleh. "Nanti saja."

"Ini. Makanlah."

(Y/n) mengambil alih mangkuk berisi sup miso itu dari tangan Shinobu. Ia mencicipinya. Saat itu juga (Y/n) mengakui jika masakan Kazuo terasa lezat. Ah, ia juga memang sudah tahu tentang itu.

"Bagaimana menurutmu?" tanya Kazuo meminta pendapat (Y/n).

"Enak. Rasanya sudah lama sekali," puji gadis itu.

Kazuo hanya tersenyum.

(Y/n) memperhatikan keributan yang ada di depan matanya. Inosuke yang sedang ribut dengan Uzui. Sementara ada Tanjirou yang berusaha melerai mereka berdua. Kekehan lolos dari bibir gadis itu.

Mereka semua terlihat bahagia. Suara tawa terdengar mengisi keheningan di malam penuh kebahagian itu. Sudah tidak akan ada lagi tangis dan darah di setiap malam. Tidak ada lagi rasa amarah dan kesedihan yang selama ini menghantui mereka.

(Y/n) mendekat pada Kazuo yang tengah diam sambil menatap langit. Mereka berada sedikit jauh dari yang lain.

"Kazuo."

"Hm?" sahutnya.

"Kita berhasil, ya?" tanya (Y/n) tanpa memandang lelaki di sampingnya. Ia menatap ke atas, ke arah langit bertaburan bintang.

"Ya. Kita berhasil, (Y/n)," sahut Kazuo sambil tersenyum.

Mereka sama-sama terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.

"(Y/n)."

(Y/n) langsung menoleh ketika namanya dipanggil. Ia menatap ke arah Kazuo, tepat di manik birunya. Tatapan Kazuo berubah sendu. Mengingatkan (Y/n) dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Sepertinya sudah saatnya kita berpisah, (Y/n)," ujar Kazuo seraya menatap gadis itu disertai senyuman. Senyumnya kali ini menyiratkan sebuah kesedihan di baliknya.

(Y/n) hanya diam. Ia terlalu terkejut dan sulit mencerna apa yang baru saja dikatakan oleh Kazuo. Pandangan hanya tertuju pada rerumputan yang diinjaknya. Ini masih terlalu cepat. Masih terlalu banyak hal-hal yang ia ingin lakukan bersama lelaki itu. Namun, kenyataan berkata lain. Hanya menyisakan sebuah harapan yang telah pupus.

"Kazuo..."

Lelaki itu menoleh dan menatap pada (Y/n) yang masih menunduk. Keheningan menyelimuti mereka. Ditemani oleh sebuah rasa bernama kesedihan.

"(Y/n)-san."

Ketika namanya dipanggil, (Y/n) segera menoleh ke kanannya, di mana suara itu berasal. Asano berdiri di sana. Wujudnya kali ini bukanlah seberkas cahaya berwarna biru melainkan dirinya sendiri.

"Asano-san, aku dan Kazuo harus berpisah sekarang ya?" tanyanya pelan. Juga disertai senyuman getir. Air mata sudah siap tumpah, tetapi ia masih berusaha menahannya mati-matian.

Asano menunduk sebentar lalu ia mengangguk samar. Membuat rasa sedih semakin bertumbuh besar di dalam diri (Y/n).

Gadis itu berpaling dan menatap pada Kazuo. Ia masih diam saja. Namun, ketika pandangannya bertemu dengan manik biru milik Kazuo, air mata sudah tidak dapat ia cegah. Mengalir begitu saja dari kedua pelupuk matanya lalu menuruni pipi mulusnya.

"Kazuo, jangan lupakan aku. Jangan pernah lupakan waktu dan kenangan yang telah kita habiskan bersama. Jangan lupakan bagaimana indahnya hari-hari itu," ujar (Y/n) pelan. Suaranya terdengar serak. Sangat sulit rasanya mengucapkannya hal itu di kala ia ingin menangis keras.

Kazuo menunduk, menatap (Y/n) yang juga sedang menatapnya. Lelaki itu mengusap pipi (Y/n) dengan ibu jarinya. Menghapus air mata yang sedang mengalir.

"Aku tidak akan pernah melupakanmu. Di manapun aku berada, berapa lama waktu yang telah berlalu, aku tetap akan selalu mengingatmu. Maaf aku harus meninggalkanmu untuk yang kedua kalinya," ujar Kazuo dengan nada sendu. Lalu, ia tersenyum lagi. "Berbahagialah, (Y/n). Selamat tinggal."

Detik selanjutnya, tubuh Kazuo perlahan menghilang. Meninggalkan serbuk-serbuk bercahaya yang kemudian dibawa terbang oleh angin. Seusai kepergian Kazuo, (Y/n) menangis keras. Ia tak kuasa menahan rasa sedih itu. Tubuhnya ambruk ke atas tanah. Rasa sedih yang sama, yang benar-benar menyakitkan, yang terasa seperti menusuk tepat di jantungnya. Ia terpuruk, sangat terpuruk.

Asano menyaksikan semuanya dalam diam. Ia tidak bisa berbuat apa-apa saat ini. Pada kenyataannya, Kazuo memang telah tiada. Sebab ia memang seharusnya tak lagi berada di dunia ini.

Isak tangis (Y/n) yang pilu masih terus terdengar. Ia sudah tahu kejadian ini akan terjadi. Meskipun begitu, rasa sakit di dalam dadanya masih tetap ada. Justru menorehkan luka baru tanpa membiarkannya menyembuhkan luka yang lama.

(Y/n) bangkit berdiri. Ia mengusap pipinya dengan tangannya. Menghapus bekas air mata itu dari sana.

"Nee-san, mengapa tubuhmu bercahaya seperti itu?"

Mendengar suara yang berasal dari belakangnya, (Y/n) pun menoleh. Tanjirou dan Nezuko berdiri di sana. Tatapan mereka berdua menyiratkan kebingungan.

"Eh?"

(Y/n) menatap tubuhnya sendiri. Dari ujung kakinya hingga pinggangnya, semuanya terlihat bercahaya. Cahaya itu tidak menyilaukan mata. Hanya saja, (Y/n) tidak mengerti apa maksud dari cahaya tersebut. Namun, di saat tubuhnya mulai terkikis perlahan, akhirnya ia mengerti.

"Tanjirou," panggilnya. Lalu, ia menatap Nezuko. "Nezuko."

"Ya?"

"Sudah saatnya kita berpisah."

Tanjirou tertegun. Reaksi Nezuko pun tak jauh berbeda dengan Tanjirou.

"Ada apa? Di mana Matsumoto-san?" Mitsuri muncul di hadapan (Y/n).

Para Hashira yang lain mendadak ikut berkumpul di sana. Mereka menatap ke arah yang sama, ke arah (Y/n) dengan tubuhnya yang bercahaya dan mulai menghilang.

"Minna-san, ada yang ingin kukatakan pada kalian semua."

(Y/n) menatap mereka satu per satu. Lalu, ia mengembalikan tatapannya ke arah Shinobu.

"Shinobu-san, kau harus jujur dengan apa yang kau rasakan di dalam dirimu. Jika kau merasa marah, maka marahlah. Jika kau merasa sedih, maka menangislah. Sebuah senyuman tidak akan berarti jika untuk menutupi perasaanmu yang lain."

(Y/n) tersenyum lebar ke arahnya. Shinobu hanya bisa terdiam dengan air mata yang berkumpul di matanya.

"(Y/n)-chan..."

Selanjutnya, gadis itu melemparkan pandangannya kepada Giyuu.

"Tomioka-san, kau tidak dibenci oleh orang lain. Mengapa aku berkata demikian? Karena akulah orang yang tidak membencimu itu. Percayalah padaku, kau adalah orang yang baik, Tomioka-san. Dan, maafkan aku karena aku tidak bisa memasak lagi untukmu."

Giyuu mengalihkan pandangannya dari tatapan (Y/n). Ia hanya menatap kosong pada rerumputan yang dipijaknya.

Kini, (Y/n) menatap pada Muichirou yang berdiri beberapa meter di hadapannya.

"Mui-chan, maafkan aku karena aku telah melanggar janji yang telah kita buat di hari itu. Saat itu, aku berjanji tidak akan pergi meninggalkanmu dan juga yang lainnya. Namun, saat ini aku harus pergi. Maafkan aku, Mui-chan. Jika kau tidak mau memaafkanku, tidak apa. Aku yakin suatu hari nanti kau pasti mau melakukannya, 'kan?" (Y/n) tersenyum getir.

Muichirou hanya bisa menatap (Y/n) dengan tatapannya yang sulit diartikan. Sementara itu, (Y/n) menatap ke arah Mitsuri dan Obanai secara bergantian.

"Mitsuri-san dan Iguro-san, kalian harus jujur dengan perasaan kalian masing-masing. Aku tahu di antara kalian telah tumbuh perasaan yang bernama cinta. Kalian hanya perlu mengakuinya saja. Dengan begitu, kalian pasti bisa hidup bahagia tanpa rasa mengganjal di benak kalian." (Y/n) tersenyum simpul.

Mitsuri dan Obanai saling menatap satu sama lain. Meskipun kata-kata (Y/n) secara tidak langsung mengatakan mereka saling mencintai, namun momen di mana gadis itu mengatakannya membuat mereka ingin menangis. Itulah yang sebenarnya mereka rasakan.

"Sanemi-san, kau pasti bisa melupakannya. Melupakan Kochou Kanae. Aku tahu kau menyimpan rasa sayang yang besar untuknya. Mungkin kata-kataku ini menyakitimu. Namun, kini ia sudah tiada. Rasa sedih dan kehilangan itu pasti masih ada hingga detik ini. Aku ingin kau melupakan rasa itu dan mencari kebahagiaanmu sendiri. Berbahagialah, Sanemi-san," ucapnya disertai senyuman yang menghangatkan.

Bodoh. Padahal aku menyimpan rasa sayang itu untukmu, (Y/n), batin Sanemi. Ia memang diam, namun hatinya berbicara lain.

Kali ini (Y/n) menatap pada Hashira Api yang telah berhasil ia selamatkan saat itu. Jika ia gagal menyelamatkan Kyoujurou, entah apa yang akan terjadi.

"Rengoku-san, aku menikmati waktu yang pernah kita habiskan berdua. Maafkan aku jika aku pernah membuat kesalahan padamu. Aku yakin, suatu saat nanti aku pasti akan merindukan momen-momen yang kita nikmati berdua."

"(F/n)-san, aku juga merasakan hal yang sama," balasnya yang dihadiahi senyuman (Y/n).

(Y/n) menatap pada Uzui. "Uzui-san, maafkan aku karena aku tidak ingin menjadi istri keempatmu. Namun, aku yakin kau sudah cukup bahagia dengan ketiga istrimu itu. Tanpa diriku pun, kau pasti sudah bahagia. Benar 'kan, Uzui-san?"

Uzui menatap sedih ke arah (Y/n) yang tubuhnya mulai menghilang menjadi serbuk berwarna biru. "Benar, (F/n)."

(Y/n) tersenyum mendengarnya. Ia beralih menatap pada Himejima.

"Gyomei-san, aku tidak akan pernah bisa menyaingimu yang merupakan Hashira terkuat di masa sekarang. Satu hal yang perlu kau ketahui: anak-anak itu tidak membencimu. Mereka justru sangat menyayangimu. Maafkan aku karena aku jarang berbicara denganmu dan kini tiba-tiba aku harus pergi."

Himejima menatap ke arah (Y/n) sambil berlinang air mata. (Y/n) pun tersenyum ke arahnya.

"Yang terakhir, untuk Tanjirou-kun dan Nezuko-chan. Aku senang bisa hadir di kehidupan kalian. Menikmati hari-hariku bersama kalian hingga saat ini. Namun, aku akan pergi sekarang. Banyak hal yang telah terjadi di antara kita. Kumohon, jangan lupakan momen kebersamaan kita ya?" (Y/n) tersenyum sambil berusaha menahan tangisnya.

"Kemarilah, Minna-san."

(Y/n) merentangkan kedua tangannya. Nezuko mendekat lebih dulu, lalu ia menghambur ke pelukan (Y/n) sambil menangis. Disusul oleh Mitsuri yang juga ikut menangis. Kemudian, mereka semua memeluk gadis itu. Untuk yang terakhir kalinya.

"Baiklah. Sudah saatnya aku pergi." (Y/n) menatap mereka semua sambil tersenyum. Raut wajah mereka bermacam-macam. Melihat hal itu, senyum (Y/n) pun semakin lebar diikuti oleh cairan bening yang terus mengalir di kedua pipinya.

"Kalau begitu, selamat tinggal, Minna-san."

(Y/n) melambaikan tangannya. Tepat di saat itulah, tubuhnya perlahan menghilang. Menyisakan serbuk berwarna biru di angkasa.

Arigatou, Minna-san.

***

Aku tetap sedih pas revisi chapter ini ༎ຶ⁠‿⁠༎ຶ

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top