Chapter 22 - Anger

Semenjak (Y/n) mempercepat waktu, tidak ada hal yang berubah. Seolah-olah hari ini merupakan lanjutan dari hari kemarin. Meskipun (Y/n) mempercepat waktu selama kurang lebih satu tahun. Banyak hal yang harus ia persiapkan hari ini. Mulai dari berlatih menggunakan pedang kayu hingga berniat untuk mengunjungi rumah Tanjirou.

Pasalnya, (Y/n) tidak tahu apa yang harus dilakukannya nanti saat bertemu dengan Kibutsuji Muzan. Apakah ia harus langsung menebas lehernya? Tetapi, bagaimana jika lehernya tidak putus dalam satu kali tebasan? Mengingat Kibutsuji Muzan merupakan raja dari para iblis. Lantas, apa yang benar-benar harus ia lakukan?

Sedari tadi (Y/n) memikirkan hal tersebut selama ia mengayunkan pedang kayu di tangannya ke sana dan kemari. Ia juga berlatih gerakan-gerakan menyerang ketika di udara. Karena tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi nanti.

"Sebaiknya kau beristirahat dahulu, (Y/n)-san."

"Baiklah."

Diletakkanlah pedang kayunya di tepi teras. Disusul oleh dirinya yang duduk di sana. Asano membawakan beberapa ubi bakar yang masih panas. Terlihat dari asap yang mengepul ke udara.

"Terima kasih, Asano-san," ucap (Y/n) ketika Asano menyodorkan ubi bakar itu padanya.

Salah satu ubi bakar yang dibawakan oleh Asano itu pun diambil oleh (Y/n). Sambil makan, ia menatap ke arah langit yang berwarna biru. Saat ini telah memasuki musim dingin. Udara yang dingin sedari tadi berhembus. Membuat beberapa anak rambut (Y/n) tertiup olehnya.

"Apa kau merasa gugup?"

(Y/n) menoleh dan menatap pada Asano. "Sangat. Aku masih tidak tahu apa yang harus kulakukan nanti saat aku bertemu dengan Muzan. Ia merupakan iblis yang paling kuat dan, tentunya, sulit untuk dikalahkan."

"Tak perlu khawatir, (Y/n)-san. Aku selalu percaya padamu," balas Asano.

"Terima kasih, Asano-san."

***

Kedua telapak tangannya saling beradu untuk menciptakan rasa hangat. Suhu di sekitarnya masih sangat dingin hingga rasanya sia-sia saja jika (Y/n) hanya menghangatkan tangannya. Saat ini ia sedang dalam perjalanan menuju rumah Tanjirou. Ia ingin memastikan jika Tanjirou dan keluarganya baik-baik saja.

Sesampainya di rumah Tanjirou, (Y/n) mengetuk pintunya. Saat ketukan yang ketiga kali, pintu itu terbuka. Dan memperlihatkan Nezuko di baliknya.

"Konnichiwa, Nezuko."

"Konnichiwa, Nee-san. Bagaimana kabarmu?" Nezuko menyambutnya dengan ramah dan mempersilakan (Y/n) masuk.

"Aku baik-baik saja. Kau sendiri?"

"Aku juga baik. Sudah lama aku tidak melihatmu. Apakah pekerjaan seorang pemburu iblis itu sangat sibuk?" tanya Nezuko penasaran.

(Y/n) duduk di ruang tengah. "Tentu saja. Aku harus menyelamatkan banyak orang. Tetapi, aku senang melakukannya. Saat aku mendengar orang lain mengucapkan terima kasih, aku merasa sangat senang. Rasanya keberadaanku sangat dibutuhkan oleh mereka." Ia tersenyum.

"Ya, kau benar. Perasaan itu sangat menyenangkan." Pandangan Nezuko menerawang.

"Di mana Tanjirou?" tanya (Y/n) karena sedari tadi ia tidak melihat anak tertua di keluarga Kamado itu. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri.

"Ah, Nii-chan sedang pergi menjual arang di desa dekat kaki gunung. Ia berangkat tadi pagi," jawab Nezuko seraya meletakkan segelas ocha di depan (Y/n).

Seketika (Y/n) ingin menepuk keningnya sendiri. Bagaimana bisa ia lupa jika hari ini Tanjirou pasti akan menjual arang? Well, memang setiap hari Tanjirou pergi menjual arang ke desa di dekat kaki gunung.

Setelah menyesap ocha yang dibawakan Nezuko, (Y/n) berkata, "Nezuko, ada yang ingin kukatakan padamu."

Mendengar perkataan (Y/n), Nezuko sontak menoleh. Ia menatap ke arah (Y/n) yang juga sedang menatap balik. "Apa itu?"

"Berhati-hatilah malam ini. Kau yang harus menjaga keluargamu sebelum kakakmu pulang, Nezuko. Kau pasti bisa melakukannya." Meskipun (Y/n) berkata demikian, nyatanya dirinya masih belum yakin jika semuanya akan berjalan lancar semulus itu. Ia masih tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya.

Kebingungan sontak menyelimuti diri Nezuko ketika ia mendengar perkataan (Y/n). Pasalnya, gadis itu tiba-tiba berkata demikian. Tanpa angin, serta tanpa hujan. Namun, meskipun ia tak mengerti dan merasa bingung, Nezuko tetap menurutinya.

"Aku akan melakukannya."

(Y/n) pun tersenyum mendengarnya. Ia tahu Nezuko pasti akan berkata seperti itu. "Baiklah. Aku pamit pulang dulu. Hati-hati, Nezuko."

Semoga saja malam ini tidak akan terjadi hal yang tidak diinginkan. Ya, itulah harapan (Y/n).

***

(Y/n) sudah siap.

Haori yang biasa dipakainya kini sudah melekat di tubuhnya. Nichirin-nya pun telah ia pasang di ikat pinggangnya. Sekarang ia hanya perlu menyiapkan mentalnya saja.

(Y/n) menarik napas lalu menghembuskannya. Ia melakukannya agar ia tetap dalam keadaan tenang. Meskipun sepertinya cara itu tidak terlalu efektif.

"Kau sudah siap?"

Asano muncul dari balik pintu kamar (Y/n). Ia membawa sesuatu di tangannya. Hendak memberikannya pada gadis itu.

"Aku sudah siap," jawab (Y/n) singkat. Setidaknya untuk saat ini ia memang sudah siap. Bagaimana dengan nanti? Ia tidak tahu. Biarkan waktu saja yang mengungkap semuanya.

"Ini untukmu."

Sebuah gantungan kunci berbentuk bintang dengan batu permata berwarna ungu di tengahnya terpampang di hadapannya. Tampak sangat cantik di mata gadis itu.

Masih sambil menatap gantungan kunci itu, (Y/n) berucap, "Ini sangat cantik, Asano-san."

Respon yang diberikan oleh (Y/n) menciptakan sebuah kurva melengkung ke atas pada wajah Asano. "Anggaplah itu sebagai jimat keberuntunganmu."

"Terima kasih."

Gantungan kunci itu digantungkan pada ujung pegangan nichirin-nya. Dengan tujuan agar (Y/n) selalu ingat di mana ia memasangnya. Sebuah senyum mengembang kala ia menatap nichirin-nya yang berkilauan ketika terkena sinar matahari.

"Sebaiknya kau pergi sekarang dan berhati-hatilah."

(Y/n) mengangguk. Ia pamit pada Asano lalu berjalan menuju pintu rumahnya. Dibukanya perlahan kemudian menutupnya. Napas panjang ditariknya lalu ia hembuskan. Apapun yang terjadi nanti, (Y/n) harus selalu siap.

***

Tangan (Y/n) yang pucat karena kedinginan itu bergerak merapatkan haori yang ia kenakan. Hawa dingin tetap saja masih menembus kulitnya. Salju yang diinjaknya membuat ia ingin bergelung di balik selimut yang hangat.

Sedari tadi, (Y/n) mendaki gunung yang mengarah pada rumah Tanjirou. Langit sudah berubah gelap sejak beberapa saat yang lalu. Perjalanan (Y/n) pun menjadi terhambat karena salju yang dilaluinya tidaklah tipis. Jadi, kali ini akan memakan waktu lebih banyak daripada biasanya.

Indra penciuman (Y/n) menghirup bau amis yang sangat menyengat. Dengan kepanikan yang mulai melanda, ia mempercepat langkahnya. Kegelisahan mulai menyelimutinya kala bau amis itu semakin pekat.

Setibanya di rumah Tanjirou, keterkejutan melandanya seketika. Bukan, bukan karena sang Raja Iblis masih berada di sana dan akan menerkamnya. Melainkan karena darah berceceran di mana-mana. Nezuko yang memeluk Rokuta menjadi objek pertama yang ia lihat.

Berbagai pemikiran mulai bermunculan di dalam kepala (Y/n). Apakah ia sudah terlambat? Bagaimana dengan Kibutsuji Muzan? Apakah iblis itu berhasil membunuh semua keluarga Tanjirou? Dari banyaknya pertanyaan yang ada di dalam benaknya, tidak ada satu pun yang terjawab. Hanya terulang-ulang di kepalanya begitu saja.

Dengan langkah yang terseok-seok, (Y/n) mendekat ke arah Nezuko. Ia mengintip ke dalam rumah Tanjirou. Seketika netranya membulat. Yang membuatnya terkejut bukanlah cairan merah yang tersebar di seluruh penjuru rumah. Tetapi, keberadaan seseorang dengan manik berwarna merah itulah yang membuatnya terkejut.

"Oh? Ternyata itu kau."

Dengan santai, sang Raja Iblis bangkit dari duduknya. Yang juga ikut membangkitkan kewaspadaan (Y/n). Tatapannya tertuju ke arah (Y/n) yang sudah memegang nichirin di tangannya erat.

"(F/n) (Y/n)."

Langkah Kibutsuji Muzan semakin dekat ke arah (Y/n). Sementara itu, (Y/n) melangkah mundur hingga tubuhnya menabrak dinding rumah.

Sial, umpatnya dalam hati.

"Aku tidak sudi kau menyebut namaku," ujar (Y/n) dingin. Walaupun sebenarnya ia merasa cukup takut karena aura mencekam yang dikeluarkan oleh Muzan.

Kini Muzan berada tepat di depan (Y/n). Bahkan napasnya dapat dirasakan pada epidermis gadis itu. Tangannya yang memiliki kuku panjang menyentuh wajah (Y/n). "Ternyata kau anak yang sombong. Padahal aku ingin memberikanmu darahku dan menjadikanmu salah satu Junikizuki." (Dua Belas Iblis Bulan)

Kesal dan tidak senang atas apa yang Muzan lakukan, (Y/n) membuang wajahnya ke samping. Sekaligus menepis tangan Muzan yang berada pada permukaan kulitnya.

"Sebaiknya kau buang jauh-jauh mimpimu itu. Aku sama sekali tidak tertarik menjadi makhluk rendahan bernama iblis," balas (Y/n) tanpa ekspresi. Wajah mereka hanya dipisahkan oleh jarak beberapa centimeter saja. (Y/n) ingin menyingkir, namun sepertinya Muzan tidak memperbolehkan dirinya melakukannya semudah itu.

Kekehan keluar dari bibir sang Raja Iblis. "Apa kau yakin? Dengan menjadi iblis kau akan semakin kuat. Aku tahu kalau kau itu tidak bodoh, (Y/n)."

(Y/n) menatap tajam ke arah Muzan yang masih berdiri di hadapannya. Ia mendorong tubuh Muzan—yang entah mengapa mudah untuk dilakukan—menjauhi dirinya. "Jangan pernah kau mencoba untuk menggodaku, Kibutsuji Muzan."

"Baiklah, baiklah."

Sebuah seringaian terbentuk pada bibir Muzan. Ini bukan pertama kalinya bagi dirinya mendapati seorang pemburu iblis menolak untuk menjadi iblis. Namun, penolakan yang (Y/n) berikan justru mengundang rasa tertarik pada gadis itu tumbuh begitu saja di dalam dirinya.

"Sampai jumpa lagi, (F/n) (Y/n)."

Muzan menghilang di saat yang bersamaan. Aura mencekam yang sedari tadi menyelimuti (Y/n) perlahan menghilang. Napas lega seketika dihembuskan. Rupanya aura dari seorang raja para iblis memang sangat menakutkan.

Kini (Y/n) harus menghadapi kenyataan bahwa ia gagal menyelamatkan keluarga Tanjirou. Nezuko tetap akan menjadi iblis. Sementara ibu dan para saudaranya yang lain sudah meninggal.

Kepalanya tertunduk. Sementara tubuhnya merosot ke permukaan tatami yang diselimuti darah. Ia menggigit bibirnya. Rasanya ia ingin berteriak karena gagal menyelamatkan mereka. Kini ia tahu bagaimana perasaan Muichirou dan Giyuu saat mereka merasa bersalah karena tidak dapat melindungi (Y/n).

Ia mencengkeram erat nichirin di genggamannya hingga buku-buku jarinya memutih. Menyalurkan amarahnya pada benda mati itu. Marah akan dirinya sendiri dan, yang paling utama, marah kepada sang Raja Iblis.

"Akan aku bunuh kau, Kibutsuji Muzan."

***

[Fuyumi Asano's Visual]

Tadinya aku mau re-draw anakku yang satu ini. Tapi, karena aku mager dan skill menggambarku sudah lenyap, alhasil tidak jadi.

Btw, terima kasih sudah membaca dan juga meninggalkan jejak di cerita ini. Terima kasih!! ♡ヾ(*´∀`*)ノ

I luv ya!
Wina🌻

First published :: November 16th, 2020
Revised :: April 16th, 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top