Chapter 18 - Sorrow

Radiasi dari sinar matahari menjadi satu-satunya penerang di ruangan tersebut. Menerobos masuk melalui celah jendela yang terbuka seperempatnya. Sementara, sang gadis yang berada di sana hanya acuh mengabaikannya.

Fokus (Y/n) hanya tertuju pada buku jurnalnya. Sedari tadi, buku bersampul cokelat itu berada tiga puluh centimeter di depan matanya. Tangannya menggenggam kuas dengan sebotol tinta berwarna hitam di dekatnya. Ia mencelupkan kuas itu ke dalam genangan tinta kemudian menggoreskannya ke atas kertas. Tidak banyak yang ia tulis. Hanya hal-hal yang menurutnya penting.

Selesai berkutat dengan buku jurnalnya, (Y/n) mengambil segelas ocha yang terletak di sisinya. Ocha itu merupakan buatan Asano. Ia pun menyesap teh berwarna hijau kecokelatan itu. Rasa pahit dari daun teh hijau menyebar di dalam mulut (Y/n).

"Sejak tadi pagi aku selalu minum sesuatu yang terasa pahit," gumamnya.

Seketika ia teringat dengan obat buatan Shinobu yang rasa pahitnya membuat (Y/n) mati-matian untuk menghabiskan obat itu. Meskipun ia menghabiskannya dalam satu kali tegukan, justru rasa pahitnya terasa lebih kuat di kerongkongannya. Membuat (Y/n) berjengit setiap kali dirinya mengingat rasa pahit obat itu.

"Sudah selesai menulisnya?"

Suara itu menginterupsi lamunan (Y/n). Rupanya Asano berdiri di ambang pintu kamarnya. Bersandar pada salah satu sisi pintu. Sementara tangannya terlipat di depan dada.

"Um, sudah." Ia merapikan semua peralatan menulisnya. Sekaligus menutup buku jurnalnya. "Aku ingin pergi dulu. Hanya sebentar, tidak akan lama."

Mendengar hal itu, Asano sontak menegakkan tubuhnya. Ia menatap lurus ke arah (Y/n). "Kau ingin pergi ke mana? Jangan pergi terlalu jauh dan pulang larut malam. Kau baru saja sembuh."

"Ya, tidak akan."

Sejenak, Asano terdiam. Sesaat setelahnya ia menghela napas panjang. Ia ingin melarang (Y/n) untuk pergi. Namun, sepertinya gadis itu sangat senang dan menunggu momen ini untuk tiba. Alhasil, lelaki itu pun membiarkannya. Apa boleh buat.

"Aku pergi dulu."

Pamitan (Y/n) pun membuyarkan lamunan Asano. Ia mengangguk samar seraya berharap (Y/n) pulang tak terlalu malam.

***

Sudah berapa lama (Y/n) tidak berjalan menikmati suasana seperti ini? Yang ia ingat hanyalah tentang misinya, pertarungan, juga bagaimana caranya untuk menjadikan kekuatan Asano sebagai miliknya. Benar-benar melelahkan. Rasanya ia lelah dan ingin mengakhirinya. Namun, entah bagaimana caranya.

Dersik sarayu yang bertiup menerpa wajahnya. Meninggalkan rasa dingin di atas epidermis. Sejenak, (Y/n) menengadahkan kepalanya. Menatap ke arah sang jumantara yang didominasi oleh nuansa biru.

Tujuan gadis itu kali ini merupakan rumah si tokoh utama, Kamado Tanjirou. Terlalu lama sibuk dengan masalahnya hingga membuatnya lupa dengan keberadaan lelaki itu. Ia pikir, sesekali dirinya harus mengunjunginya agar menciptakan keakraban di antara mereka.

Sebuah pintu berbahan dasar kayu terpampang di depan wajah (Y/n). Saliva-nya terasa sulit untuk ditelan. Gadis itu pun menarik napas, menghembuskannya, dan berniat untuk mengetuk pintu itu kala di saat yang bersamaan, pintu itu dibuka dari dalam.

Rupanya Tanjirou-lah yang berdiri di hadapan (Y/n). Di punggung lelaki itu terdapat sebuah keranjang. Isinya berupa arang yang tampak banyak.

"(Y/n) nee-san? Konnichiwa." Ia pun membungkuk padanya.

"Konnichiwa, Tanjirou-kun. Ke mana kau ingin pergi?" tanyanya.

"Aku akan menjual arang di desa dekat kaki gunung," jawab Tanjirou seraya menutup pintu di belakangnya.

"Oh, begitu." Rasanya (Y/n) ingin menepuk keningnya sendiri. Seharusnya setelah ia merasakan suasana yang cukup dingin dan keberadaan arang yang ada di punggung Tanjirou, ia sudah tahu bahwa saat ini lelaki itu hendak menjual arang. "Apa aku boleh ikut denganmu?"

"Tentu saja." Sebuah kurva melengkung pada bibir Tanjirou. Yang dibalas dengan anggukan samar dari (Y/n).

***

"Apa arangnya masih ada sisa?" tanya (Y/n) setelah mereka berkeliling desa di kaki gunung itu.

Rupanya perjalanan itu memakan waktu cukup lama. Sekitar satu jam lebih. Arang-arang itu terjual dengan mudah. Bersyukurlah karena sifat Tanjirou yang baik hati dan murah senyum ke setiap orang.

Netra merah gelapnya melirik ke arah keranjang di punggungnya. "Hanya tersisa beberapa buah lagi. Sepertinya kita masih harus berkeliling sebentar, Nee-san. Tidak apa-apa, 'kan?"

(Y/n) mengangguk. "Tidak masalah. Ayo."

Kali ini mereka berjalan ke bagian selatan desa itu. Masih banyak penduduk desa yang berbincang atau sekedar menyapa satu sama lain. (Y/n) sibuk memperhatikan pemandangan di sekelilingnya. Ia tidak akan pernah melihat pemandangan ini lagi nanti. Terlebih di dunia asalnya sendiri. Jadi, sebisa mungkin gadis itu menikmati semuanya selama ia berada di sini.

"Tanjirou-kun!"

Suara gadis terdengar menyapa telinga mereka. Gadis itu mengenakan kimono berwarna merah muda dengan corak bunga sakura. Sirat bahagia terlihat pada wajahnya kala ia bertemu dengan Tanjirou. Tampak sangat kentara.

"Sudah lama sekali aku tak melihatmu, Tanjirou-kun! Bagaimana kabarmu?" tanya gadis itu pada Tanjirou. Ia juga melemparkan senyumnya.

Senyuman itu pun terbalas. "Aku baik-baik saja. Bagaimana dengan dirimu sendiri, Sera-san?" balas Tanjirou.

Wajah gadis berambut sebahu itu terlihat sumringah saat Tanjirou bertanya balik padanya. "Aku juga baik!" Seketika pandangannya beralih pada (Y/n) yang sedari tadi diam saja di sebelah Tanjirou. "Ano... Siapa Nee-san ini, Tanjirou-kun?"

"Ah, ini (Y/n) nee-san. Nee-san, ini adalah Sera-san. Sera-san adalah orang yang paling sering membeli arang milikku," jelas Tanjirou.

Sontak (Y/n) tersenyum samar ke arah Sera. Yang dibalas dengan senyuman yang lebih lebar dari Sera. Tampaknya gadis itu sungguh senang bertemu dengan (Y/n).

"Konnichiwa, Sera. Namaku (F/n) (Y/n). Salam kenal."

Wajah Sera menjadi berseri-seri melihat (Y/n). (Y/n) sendiri pun bingung dan heran mengapa gadis itu terlihat senang sekali.

"Namaku Tamako Sera! Salam kenal, (Y/n) nee-san!"

Melihat arang milik Tanjirou yang masih tersisa, Sera pun membeli arang milik Tanjirou. Ia memang berniat untuk melakukannya. Alhasil semua arang yang dibawa oleh Tanjirou terjual habis. Mereka berbincang sejenak dengan Sera sebelum hari berubah petang.

"Apa kau tahu, (Y/n) nee-san?"

Suara Sera membuat (Y/n) menoleh ke arahnya. Gadis bersurai hitam itu rupanya tengah menatap ke arah langit yang secara perlahan mulai berubah menjadi jingga.

"Kau sangat mirip dengan kakak perempuanku. Melihat senyumanmu, mengingatkanku pada Nee-chan." Ia menoleh pada (Y/n). Manik cokelatnya tampak berkaca-kaca. "Apakah... aku boleh... memelukmu sekali saja?" ujarnya pelan.

Jujur saja, (Y/n) merasa cukup terkejut akan perkataan Sera. Ditambah dengan netranya yang berkaca-kaca dan ia yakin sebentar lagi tangisnya akan pecah. Rupanya inilah alasan mengapa Sera tampak sangat bahagia kala dirinya bertemu dengan (Y/n).

Dengusan keluar dari hidung (Y/n). Diiringi dengan senyumnya yang mengembang perlahan. Sera pun mengingatkan dirinya akan adik laki-lakinya.

Tanpa pikir panjang, (Y/n) melingkarkan tangannya ke balik punggung Sera. Sera yang sedari tadi menahan tangisnya, kini ia sudah tak kuasa menahannya lagi. Sementara itu, Tanjirou tersenyum lembut melihat pemandangan haru di hadapannya.

Tanjirou tahu bahwa kakak perempuan Sera telah meninggal. Kedua orang tua Sera yakin bahwa Rika, anak tertua mereka sekaligus kakak perempuan Sera, meninggal akibat serangan seekor beruang. Awalnya Tanjirou mempercayainya. Namun, kini ia sendiri menjadi tidak terlalu yakin jika memang itulah kejadian yang sebenarnya. Ditambah dengan perkataan (Y/n) tentang keberadaan iblis membuat dirinya semakin bertambah yakin kalau kematian Rika bukanlah karena seekor beruang, melainkan karena seorang iblis.

Pelukannya itu pun dilepaskan oleh (Y/n). Jemarinya bergerak mengusap air mata yang mengalir di pipi Sera. Ia tersenyum simpul pada gadis yang seusia dengan Tanjirou itu.

"(Y/n) nee-san, terima kasih karena sudah mau memelukku." Sera berusaha tersenyum meskipun matanya tetap mengeluarkan air mata. Sesak rasanya kala ia melihat (Y/n) saat ini. Jika memang mungkin, Sera ingin (Y/n) berada di sisinya, selamanya. Namun, hal itu sangatlah mustahil. Mengingat dirinya yang bukanlah siapa-siapa bagi gadis itu. Selain itu, (Y/n) pun pasti memiliki kehidupannya sendiri.

"Tidak apa-apa, Sera. Di saat kau sedang merasa sedih, kau harus mengeluarkannya. Dengan begitu, beban di dalam hatimu akan berkurang." (Y/n) menepuk-nepuk pelan kepala Sera.

Sera mengangguk paham.

"Kalau begitu, kami pulang dulu." (Y/n) pun berdiri. "Jangan keluar rumah saat hari sudah gelap, Sera," pesan (Y/n).

Ia mengangguk lagi.

Tanpa (Y/n) ketahui, kepergiannya itu diiringi dengan netra Sera yang menyorot teduh. Tampak tidak rela akan kepergian (Y/n).

***

First published :: November 4th, 2020
Revised :: March 20th, 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top