Chapter 10 - Cocky
Hari telah berubah menjadi minggu. Sudah tepat satu minggu berlalu semenjak (Y/n) dinobatkan sebagai salah satu Hashira. Rasa tidak percaya kerap kali menggandrungi dirinya. Disertai dengan rasa gelisah tentang dampak yang akan ia rasakan nantinya.
Namun, gadis itu memang telah menyiapkan diri. Setiap perbuatan pasti memiliki sebuah konsekuensi. Dan inilah konsekuensi yang harus ia tanggung.
Surainya yang cukup panjang tengah disisir olehnya. Bibirnya menyenandungkan sebuah lagu yang sudah melekat di dalam kepalanya. Sesekali (Y/n) menatap pantulan dirinya di depan kaca. Wajahnya tetap terlihat sama tanpa ada perbedaan.
Menjadi seorang Hashira membawa perubahan ke dalam hidup (Y/n) di dunia ini. Namanya sering kali ditambahkan dengan suffix -sama kala ia dipanggil. Yang justru menciptakan rasa tidak nyaman di dalam relung hatinya. Bersamaan dengan rasa canggung yang membuncah di antara pembicaraan mereka.
Helaan napas keluar dari bibirnya. Sisir yang ia gunakan sebelumnya kini telah diletakkan ke tempat semula. Sementara pikirannya kembali sibuk memikirkan hal lain.
Disanggullah rambutnya hingga menyisakan beberapa helai rambut yang terlalu pendek di sekitarnya. Sekali lagi, (Y/n) menatap pantulan dirinya sendiri di depan kaca. Bukan untuk melihat wajahnya sendiri di sana. Melainkan memikirkan tentang apa yang harus ia lakukan selanjutnya.
Seragam pemburu iblis serta haori-nya pun ia pakai. Nichirin miliknya disampirkan di pinggang. Tidak ada misi untuknya hari ini. Atau mungkin belum. Karena itu, (Y/n) ingin mencari angin di luar sejenak.
"Asano-san, aku ingin pergi ke luar sebentar. Aku akan pulang sebelum malam."
Atensinya dialihkan dari buku yang tengah ia baca kepada (Y/n). Asano diam sejenak. Memikirkan ke mana (Y/n) akan pergi. Namun, pada akhirnya lelaki itu memilih untuk diam daripada menanyakannya. "Baiklah. Hati-hati di jalan, (Y/n)-san," ujarnya.
***
Suasana yang terasa damai membuat (Y/n) lupa dengan fakta bahwa dirinya saat ini tengah berada di dunia yang dipenuhi oleh para iblis. Para iblis yang haus akan darah serta rasa lapar.
Langkah kaki gadis itu membawanya ke arah yang tidak jelas. Ia hanya mengikuti ke arah mana kakinya melangkah. Tanpa tujuan yang pasti.
Seketika, (Y/n) menengadahkan kepalanya. Mengagah ke arah sang jumantara bernuansa biru. Di kala sang bayu berhembus dari utara. Bersamaan dengan embun pagi yang jatuh ke atas permukaan tanah.
"Apakah keluarga Tanjirou sudah diserang? Jika memang bisa, aku sangat ingin menyelamatkan mereka," gumamnya tanpa ia sadari. Tatapannya masih tertuju ke arah sang cakrawala tanpa makna.
Jujur saja, memikirkan hal itu membuat (Y/n) digandrungi oleh perasaan gelisah. Bercampur aduk hingga membuatnya bimbang dan sulit menentukan sebuah keputusan. Entah apa yang lebih baik ia lakukan.
Pada akhirnya, gadis itu hanya bisa membiarkan pertanyaan itu tidak terjawab.
***
"Tanjirou-kun! Apa kau ada di dalam?" sapa (Y/n).
Keputusan (Y/n) untuk mengunjungi kediaman Tanjirou pun direalisasikan olehnya. Kini gadis itu tengah berdiri di depan pintu sambil memanggil nama si pemilik rumah.
Dibukanya pintu kayu itu membuat (Y/n) tersenyum. Di hadapannya, Tanjirou berdiri sambil dengan melakukan hal yang sama. Terus terang, melihat Tanjirou yang baik-baik saja saat ini membuat rasa lega menyelimuti diri (Y/n).
"Ah, (Y/n) Nee-san! Bagaimana kabarmu?"
"Kabarku baik-baik saja. Bagaimana denganmu dan keluargamu? Apakah kalian baik-baik saja?" (Y/n) pun balik bertanya.
Pertanyaan itu pun dibalas dengan senyuman Tanjirou yang kian melebar. "Kami baik-baik saja. Silakan masuk ke dalam. Aku akan menyiapkan segelas teh untukmu," ujarnya seraya membuka pintu lebih lebar agar (Y/n) bisa masuk dengan leluasa.
(Y/n) pun mengangguk samar. Dilangkahkan kakinya memasuki rumah itu. Di dalam sana, (Y/n) melihat saudara-saudara Tanjirou yang tampak akrab. Takeo, Nezuko, Shigeru, Hanako, dan juga Rokuta yang berada di pangkuan Nezuko.
"Konnichiwa, minna-san," sapa (Y/n) kala manik (e/c)nya melihat keluarga milik Tanjirou di sana.
Dengan serentak, mereka pun membalas, "Konnichiwa, (Y/n) Nee-san!"
Kembali (Y/n) menatap mereka satu per satu. Tak lupa dengan senyumnya yang masih terpatri pada paras ayunya.
"Nee-san, dari apa yang kudengar, kau sudah menjadi seorang pemburu iblis, bukan?"
Mendengar suara itu, (Y/n) pun menoleh ke arah si penanya. Rupanya Nezuko-lah yang bertanya. Tatapannya yang berbinar-binar ditujukan pada (Y/n).
"Ya. Itu benar," sahutnya.
"Apakah menjadi seorang pemburu iblis itu berat?" celetuk Tanjirou. Lelaki itu sudah kembali dengan nampan beserta gelas berisi ocha di atasnya. "Ini ocha untukmu, Nee-san."
"Terima kasih, Tanjirou-kun," sahut (Y/n). Gadis itu menyesap ocha tersebut. Rasa hangat pun menjalar dari rongga mulut hingga ke kerongkongannya.
Tatapan (Y/n) kembali ia alihkan ke arah Tanjirou. "Tidak. Jika kau pantang menyerah dan bertekad untuk melindungi semua orang, itu bukanlah hal yang sulit."
"Aku ingin menjadi seorang pemburu iblis juga!" seru Nezuko antusias.
Hanya sebuah senyum yang bisa (Y/n) tunjukkan ketika ia mendengar perkataan Nezuko. Perkataan gadis itu terasa seperti menyayat hati (Y/n). Karena fakta yang ada di depan matanya nanti tidaklah demikian. Justru sebaliknya. (Y/n) tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Namun, apakah ia sanggup?
Perbincangan mereka terus berlanjut hingga petang tiba. Reaksi yang (Y/n) sukai adalah ketika tatapan mereka berbinar-binar saat (Y/n) menceritakan tentang perjalanan misinya. Sering kali mereka bertanya tentang bagaimana (Y/n) melawan para iblis itu. Namun, (Y/n) memilih tidak menjawabnya dan hanya memberikan senyuman.
"Kalau begitu, aku akan pulang sekarang. Ingatlah jangan pernah keluar rumah ketika malam tiba," pesan (Y/n) sebelum ia pergi meninggalkan keluarga kecil itu. Yang kemudian dibalas oleh anggukan kepala mereka.
***
Diregangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Kakinya melangkah dengan santai menikmati sekitarnya. Di dunianya sendiri jarang sekali suasana yang tenang seperti ini bisa terjadi. Suasana yang mampu membuat pikirannya menjadi damai. Seolah-olah tengah berbaring di atas padang rumput yang luas.
"Kwak! Kwak! Pesan! Pesan! Pergilah ke kediaman Oyakata-sama! Kwak! Ada pertemuan di sana! Cepatlah (Y/n)!"
"Ya, tunggulah sebentar."
(Y/n) segera memutar arah berjalannya menuju kediaman Kagaya. Meskipun kakinya melangkah, pikirannya tetap bekerja. Bukankah pertemuan akan diadakan bulan depan? Namun, mengapa saat ini diadakan pertemuan? Ia tidak paham.
Setibanya di kediaman Kagaya, rupanya para Hashira yang lain telah berkumpul. Beruntung karena tidak ada yang menyadari kedatangan (Y/n). Gadis itu pun segera menghampiri Mitsuri yang berdiri berdampingan dengan Shinobu.
"Maaf karena aku baru tiba. Apakah aku terlambat?" tanya (Y/n) dengan raut wajah merasa bersalah.
"Tidak, (Y/n)-chan. Kami pun baru saja akan memulainya," sahut Mitsuri yang membuat (Y/n) menghela napas lega.
Mendengar pembicaraan di sebelahnya, Shinobu pun ikut menimpali, "Um, itu benar. Sebenarnya ini bukanlah pertemuan kali ini tidaklah seperti pertemuan yang biasa kita lakukan. Kali ini akan sedikit berbeda."
Berbeda? Perbedaan apa yang sekiranya akan muncul? Merasa tidak akan bisa menemukan jawabannya jika (Y/n) hanya memikirkan jawabannya sendiri, maka gadis itu pun memutuskan untuk menanyakan isi pikirannya.
"Apa yang berbeda, Kochou-san?" tanyanya diliputi oleh rasa bingung.
"Sebuah duel akan diadakan kali ini. Duel tersebut dilakukan antara Hashira. Kau bisa lebih bersantai kali ini, (Y/n)-chan!" jawab Shinobu antusias.
Perempatan imajiner pun muncul pada kening (Y/n). Tidak pernah ia sangka jika akan diadakan duel antara Hashira. Di anime ataupun manga-nya tidak diceritakan hal seperti ini. Apakah cerita ini berubah sejak kehadirannya di sini? Atau sebenarnya memang ada namun gadis itu tidak mengetahuinya?
"Ah, begitu. Baiklah."
Mereka semua berkumpul di halaman belakang kediaman Kagaya. Sementara si pemilik rumah tidak berada di sana. Alhasil, tempat itu hanya diisi oleh para Hashira yang akan berduel menunjukkan kekuatan mereka masing-masing.
"Agar duel kali ini terlaksana secara adil, aku akan memberikan secarik kertas kecil. Kertas itu berisi angka. Angka-angka itulah yang akan menentukan dengan siapa kalian berduel," jelas Shinobu dengan senyumannya. Ia berdiri di hadapan para Hashira.
Masing-masing dari mereka pun mulai membuka kertas yang sebelum telah diambil secara acak. Dengan perlahan, (Y/n) membuka kertasnya sendiri. Angka satu tertera di sana. Ia pun mulai berpikir siapa yang akan menjadi lawannya. Semoga saja lawannya tidak terlalu sulit.
"Siapa yang mendapatkan nomor satu?" tanya Shinobu setelah semua Hashira membuka kertas di tangan mereka. Ia menatap satu per satu Hashira di hadapannya.
"Aku mendapatkan nomor satu."
Semua kepala pun tertoleh ke sumber suara. Seorang lelaki dengan wajah penuh luka itu berjalan ke depan. Warna surainya yang putih terlihat mencolok di antara mereka.
Melihat Sanemi di depan sana, seketika jantung (Y/n) berdetak kencang. Rupanya Sanemi-lah yang akan menjadi lawannya. Rasa panik pun mulai memenuhi benaknya. Keringat dingin mengalir dari pelipisnya. Kertas berisi angka yang ia pegang pun mulai lusuh karena tangannya yang ikut berkeringat dingin.
"Baiklah, Sanemi-san. Sekarang kita lihat siapa yang telah mendapatkan nomor satu yang lainnya." Shinobu mengalihkan tatapannya dari Sanemi ke arah Hashira yang lain. Menunggu salah satu dari mereka akan membuka suara.
"Aku."
Dengan rasa ragu dan ketidakpercayaan diri, (Y/n) pun bangkit berdiri dan menghampiri Shinobu serta Sanemi. Gadis itu menatap wajah Sanemi. Tentunya untuk melihat bagaimana reaksi wajah lelaki itu.
Sebuah seringaian terbentuk pada wajah Sanemi. Ia merasa lebih bersemangat kala mengetahui bahwa lawannya saat ini ialah (Y/n). Rasa malas yang sempat menyelimutinya sebelumnya kini lenyap begitu saja.
"Merupakan waktu yang sangat tepat. Aku ingin melihat kekuatanmu, Hashira Bintang," ujar Sanemi pongah.
Hanya ringisan yang (Y/n) berikan. Ia hanya bisa berdoa agar dirinya masih bisa melihat matahari setelah duel kali ini.
"Duel akan dinyatakan berakhir jika pedang kayu salah satu di antara kalian terlepas dari tangan. Kalian diberikan kebebasan untuk menyerang dengan cara apapun. Namun, tentunya kecurangan tidak akan diberikan toleransi apapun," jelas Shinobu lagi.
Masing-masing dari mereka pun mengambil pedang kayu yang terletak di atas tanah. Setelahnya mereka mulai bersiap dengan memasang kuda-kuda.
Melihat wajah Sanemi di hadapannya, (Y/n) kembali menelan saliva-nya dengan susah payah. Ditariknya napas panjang kemudian ia hembuskan.
"Baiklah. Kita mulai sekarang!" seru Shinobu.
Kini, (Y/n) sudah tidak dapat mundur lagi.
***
Yo minna!
Jujur saja, aku selalu merasa cringe setiap kali aku baca ulang chapter-chapter cerita ini :>
Hal itu membuatku males untuk ngerevisi awoakwokawok🚶♀️
Tapi, tenang saja. Aku gak melakukan sesuatu setengah-setengah. Jadiii, pasti akan kurevisi hingga selesai.
Namun, aku harus menyiapkan mental untuk melihat ke-cringe-an diriku yang dulu ( ;∀;)
Oh iyes. Terima kasih sudah meninggalkan jejak di cerita ini! ヾ(´︶'♡)ノ
I luv ya!
Wina🌻
First published :: October 11th, 2020
Revised :: February 27th, 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top