Ternyata orang ini sungguh keras kepala.

Aku menepis tangannya sebelum ujung jarinya sempat menyentuh wajahku.

"Terserahlah." Aku memutuskan untuk berbalik dan melangkah pergi. Tidak ada gunanya mengharap petunjuk darinya. Toh, aku bisa menemukan orang lain yang lebih waras untuk ditanyai jalan pulang.

Namun, sesaat aku lupa kalau ini adalah hutan belantara. Bagaimana caranya menemukan pemukiman penduduk? Aku tidak mau kembali ke menara jam itu. Sebuah batu berlumut berukuran besar tertangkap pandangan. Menurut kartun yang kutonton, lumut selalu mengarah ke peradaban. Jadi, apa mungkin ....

Setetes air dingin jatuh menimpa pipiku. Tetes-tetes berikutnya menyusul kemudian dan kali ini aku mengumpat sepenuh hati. Sungguh kesialan yang bertubi-tubi.

"Tunggu." Arkyn berdiri menghalangi jalan. "Aku akan membawamu keluar. Di sini tidak aman."

"Bagus, tapi katakan ini di mana." Aku mencoba bernegosiasi. Gerimis masih melanda, tapi setidaknya dedaunan rapat di atas sana bisa melindungiku sedikit lebih lama.

"Ragnark--"

"Di mana?" sambarku. Wawasan geografiku enggak buruk-buruk amat, tapi aku yakin belum pernah mendengar nama itu.

"Dunia yang berbeda dengan duniamu sebelumnya."

Selanjutnya Arkyn mulai menjelaskan dengan cepat--mungkin takut kusela lagi--bahwa Ragnark adalah sebuah negeri dan letaknya bukan di Indonesia maupun Asia. Aku sudah bertanya apa itu nama daerah di Eropa atau Amerika, tapi pria itu hanya memberiku gelengan.

"Sudah kubilang ini dunia yang lain."

Aku menatapnya sangsi. Akan jauh lebih masuk akal kalau ini semua hanyalah mimpi. Mungkin aku ketiduran ketika tadi tengah mengerjakan sketsa.

Dan Arkyn ternyata masih punya persediaan cerita lain yang tidak kalah mencengangkan.

"Val--Fiona, di kehidupan sebelumnya kau adalah Valda." Ketika mengatakan itu, Arkyn tidak melepaskan tatapan dariku sedetik pun. "Dan kau sudah meninggal 13 tahun yang lalu."

Kali ini aku mulai memandanginya kasihan.
Tanah, pepohonan, semilir angin, dan gerimis adalah saksi dari kegilaan pria ini.