Roku

"Onii-chan, bagaimana? Apa sekarang aku terlihat cantik?" tanya Keiko yang baru saja berganti yukata [20] sambil berputar-putar di tempat layaknya seorang model.

"Biasa saja," komentarku. Yah, itu adalah komentar paling jujur yang bisa kuberikan untuk saat ini. Lagipula, itu salahnya sendiri karena meminta pendapat pada laki-laki yang hampir tidak punya selera fashion sepertiku.

"Apa onii-chan tidak bisa sekali saja memberi komentar positif?" tanya Keiko kesal. Aku hanya mengedikkan bahu, entahlah. "Apa onii-chan sekali tidak pernah memuji Erika nee-chan?" Aku diam beberapa saat. Sepertinya pernah sekali, atau mungkin beberapa kali.

"Di itu temperamental sekali. Kalau berkomentar seperti tadi, aku bisa terkena lemparan vas bunga," jelasku. Sekali lagi, pernyataan yang benar-benar jujur.

"Onii-chan, aku serius. Ini sudah yang kedelapan kalinya aku berganti yukata dan tatanan rambut," protesnya yang sudah bosan mendengar komentar yang sama sejak dua puluh menit yang lalu.

"Kau sendiri yang memintaku menilai scara objektif. Memang benar, kau terlihat biasa saja," balasku santai. Keiko mengembungkan pipinya sebal. "Asal kau tahu, Kazuhiko bukan tipe laki-laki yang sering mempermasalahkan penampilan. Lagipula, ini kan masih jam tiga sore."

"Onii-chan tidak mengerti. Aku harus tampak cantik di festival itu. Apa kata dunia jika Uehara-senpai berpacaran dengan gadis kutu buku seperti aku?" Aku hanya berdecak kesal. Penilaian orang-orang kan sama sekali tidak penting.

"Kalau kau tidak ingin dikatai kutu buku, lepas saja kacamata itu," saranku. Yaa ... memang benar kan. Seseorang umumnya dijuluki kutu buku oleh orang asing jika orang itu memakai kacamata minus.

"Apa onii-chan lupa? Uehara-senpai suka gadis berkacamata!" protesnya. Aku menghela napas panjang. Apa gunanya aku memberi saran jika semanya ditolak mentah-mentah?

"Ya sudah, lakukan saja sesukamu," ucapku lalu pergi menuju kamarku. Lebih baik aku mengerjakan PR musim panas daripada berdebat jika pada akhirnya semua pendapatku ditolak tanpa pertimbangan.

*

Malamnya.

Aku, Ryuto, serta Kazuhiko berdiri di depan pintu masuk festival. Hanya bergeming melihat-lihat pengunjung lainnya. Kami bertiga melakukan ini bukan tanpa tujuan, melainkan untuk menunggu Wataru yang "katanya" ingin bergabung.

"Dimana anak itu? Kita sudah menunggu satu jam di sini. Tapi bayangannya saja tidak ada," gerutu Kazuhiko yang paling tidak menyetujui ide ini. Aku tidak berkomentar, karena aku juga sama kesalnya.

Tiba-tiba, handphone milik Ryuto berdering. Dia membacaa pesan yang masuk dengan segera. Ekspresi wajahnya tampak serius. Sesaat kemudian menghela napas. "Sebaiknya kalian baca ini," katanya sambil menunjukkan pesan di layar handphone.

"Maaf, Ryuto. Sepertinya aku tidak bisa ikut dengan kalian. Sumire mengajakku untuk pergi berdua saja."

"Sial! Apa aku bilang?! Membiarkannya ikut sama sekali bukan ide bagus!" geram Kazuhiko selesai membaca pesan itu dengan "versi shinigami"-nya. "Dia pasti sengaja membiarkan kira menunggu lama di sini, lalu berkata jika dia tidak bisa!"

"Argh! Sudahlah, Kazu-chan. Kau tidak akan bisa menikmati festival ini kalau kau terus begitu," responsku yang sudah bosan mendengar ocehannya — walaupun juga kesal karena Wataru. "Ayo kita masuk saja," ajakku. Tanpa banyak protes, kedua temanku itu segera menurut.

"Ano ... Uehara-senpai," sapa Keiko yang entah bagaimana caranya bisa berpapasan dengan kami di tengah kerumunan. Padahal, dia sudah lebih dahulu berangkat kemari daripada kami.

"Keiko-chan, ternyata kau sudah datang," sahut Kazuhiko ramah. Untung saja Keiko tidak perlu melihat wajah shinigami itu. "Oh ya, kau terlihat cantik malam ini," pujinya dengan senyuman licik itu lagi. Seketika itu, pipi Keiko langsung memerah. Memang perempuan susah ditebak ya.

"Kalian berdua, aku pergi dulu ya," pamit Kazuhiko lalu menghilang di balik kerumunan orang. Samar-samar, aku mendengar helaan napas dari seseorang yang berdiri di samping kiriku.

"Yah, setidaknya kau masih bersamaku, Mitsuki-chan. Tapi, kau yakin tidak ada janji dengan Erika?" tanyanya. Aku menggeleng cepat. "Baguslah kalau begitu."

"Erika masih flu," terangku singkat. Ryuto hanya ber-ooh pendek lalu kembali melanjutkan berkeliling.

"Payah, seharusnya kita mampir ke kuil dulu," ujarnya tiba-tiba. Aku mengernyitkan dahi, untuk apa? "Kenapa kau menatapku begitu? Tentu saja untuk berdoa agar istrimu cepat sembuh," katanya lagi tanpa beban.

"Tunggu, kau bilang apa, 'istri'? Astaga, berapa kali aku harus bilang? Dia itu hanya teman kecilku," sergahku. Bukannya meminta maaf, Ryuto malah menyeringai, mengejekku.

"Nee, Mitsuki-kun. Boleh aku ikut denganmu?" Aku dan Ryuto refleks menoleh ke arah sumber suara. Memperhatikan gadis dengan yukata merah itu dari bawah hingga atas.

"E ... Erika-chan?"

*

20. Yukata: pakaian rumah untuk musim panas.

Jangan lupa vote dan comment ya 😊.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top