Juu Ni

"Mitsuki-chan, kau tidak apa-apa?" tanya Kazuhiko sembari menepuk bahuku, sekaligus membuat kelebat ingatan itu lenyap. Aku mengerjap-ngerjap. Berusaha mengembalikan kesadaran sepenuhnya.

"Jangan tanya," ucapku dingin seraya menyingkirkan tangan kapten tim basket sekolah itu dari pundak, lalu pergi meninggalkan Shion dan Ryuto yang masih membicarakan tentang kontes tadi. Tak kusangka, Kazuhiko ternyata membuntutiku.

"Aku tidak suka melihatmu seperti itu, Mitsuki-chan. Aku mengajakmu ke sini, tujuannya agar pikiranmu bisa kembali segar sehingga kau bisa menyelesaikan masalahmu dengan Erika," katanya panjang lebar. Aku tidak menganggapi.

"Kau memang orang yang terakhir ditemui Erika sebelum dia pingsan. Tapi, berpikirlah secara logis, Mitsuki." Aku sedikit terpegun mendengar nada serius Kazuhiko. Dia bahkan menghilangkan kata 'chan' yang biasa diletakkan di akhir namaku.

"Ensefalitis tidak disebabkan karena kesalahanmu. Aku bahkan tidak tahu kesalahan apa yang bisa mengakibatkan peradangan pada otak," ujar Kazuhiko. Pertama kalinya aku mendengar pemuda itu berbicara dengan menggunakan logikanya.

"Kau tidak tahu apa-apa tentang Erika, Kazuhiko. Kau bahkan tidak tahu apa yang sedang kupikirkan sekarang," balasku dengan nada yang mulai tidak bersahabat karena dia baru saja membahas tentang masa lalu.

"Bagaimana aku bisa tahu ... kalau kau tidak pernah jujur ketika kutanyai. Kau mengaku sebagai temanku, tapi tidak menganggapku sebagai teman. Iya kan?" sentaknya sambil menarik kerah baju kemejaku. Aku terkesiap. Hilang sudah kekuatanku untuk melawan.

"Kau tidak percaya padaku, kan? Kau menganggap aku ini payah, tidak berguna?" Nada suara Kazuhiko tiba-tiba turun satu oktaf. Namun masih bisa kulihat bibirnya memperlihatkan sebuah seringai. "Kau berpikir jika aku tidak bisa membantu apa pun, kan?"

"K-Kazu ... hiko ...," lirihku.

"Kau tidak sendirian, Mitsuki. Kami akan selalu membantumu, walaupun kami bukan Tuhan yang bisa mengubah segalanya," ucap Ryuto yang tiba-tiba muncul di belakang kami. Kazuhiko perlahan melepaskan cengkeramannya. "Jika ada yang ingin kau biacarakan dengan kami ... tidak usah ragu."

Aku mengepalkan tangan. Geram pada diriku sendiri yang begitu lemah. Sampai usiaku yang sekarang ini, aku belum bisa berdiri di atas kakiku sendiri. Aku justru menghancurkan harapan orang lain, alih-alih membangunnya. Aku selalu membuat orang lain kecewa. Benar-benar tidak berguna. Akulah yang sebenarnya payah, tidak bisa diandalkan.

"Pikirkan itu, Mitsuki," ucap Ryuto sebelum akhirnya pergi, disusul oleh Kazuhiko yang sempat memberiku tatapan sendu.

Aku menghela napas panjang. Beban ini terasa semakin berat. Mengapa sampai sekarang aku masih bergantung pada orang lain, lalu pada akhirnya menghancurkan harapan orang itu? Payah! Tidak bisa diandalkan!

"Kau tidak sendirian, Mitsuki. Kami akan selalu membantumu, walaupun kami bukan Tuhan yang bisa mengubah segalanya."

Ucapan Ryuto terngiang-ngiang di telingaku. Membuatku merasa bersalah karena membiarkan mereka kecewa. Iya, benar. Mereka bukan Tuhan. Karena itulah aku tidak ingin berharap banyak dari mereka. Di sisi lain, aku tidak ingin mereka lebih kecewa daripada ini.

Selama lima tahun berteman dengan mereka, rasanya sudah cukup membuat mereka sebal dengan caraku. Aku memang tidak bisa diandalkan. Selalu membuat orang lain kehilangan kepercayaan padaku.

Begitupun dengan Erika. Teman kecilku itu seharusnya mungkin lebih bahagia seandainya dia tidak berteman denganku. Aku ini payah. Bukannya membuat Erika bahagia, aku justru membuatnya hampir kehilangan nyawa.

Ojii-san, sepertinya tidak perlu dibahas lagi. Kesalahanku padanya sudah terlalu banyak. Seandainya aku tidak pernah berjanji akan memenangkan tournament itu, beliau pasti tidak akan kecewa. Dan mungkin, beliau bisa hidup lebih lama.

Semuanya karena aku. Aku yang tidak bisa menjaga kepercayaan. Aku yang tidak bisa menepati janji. Aku yang selalu saja mengulangi kesalahan yang sama. Yaitu membuat orang lain di sekitarku kecewa.

Sudah cukup, Mitsuki. Berhenti menghancurkan harapan orang lain. Berhentilah membuat mereka kecewa. Dan yang terpenting, berhentilah membuat dirimu sendiri kecewa dengan harapan ingin membahagiakan semua orang yang tidak bisa tercapai.

Iya, kau tidak berguna, payah! Apa gunanya kau tetap hidup jika akhirnya akan selalu sama, membuat semua orang kecewa termasuk dirimu sendiri dengan harapan kosong, mimpi yang tidak tercapai.

Baiklah, keputusanku sudah bulat. Tidak ada yang bisa mengganggu. Daripada aku hidup dengan menebar kekecewaan dimana-mana. Lebih baik aku mati ... walaupun keluargaku sendiri mungkin tidak akan mau menerima.

Ojii-san mungkin kecewa jika aku menherja negitu saja. Tetapi aku yakin. Ojii-san akan jauh lebih kecewa jika melihat cucunya ini terus membuat orang lain kecewa. Menjadi orang yang tidak berguna.

Angin sepoi-sepoi berembus. Memainkan helaian rambutku. Atap sekolah yang biasanya dibicarakan menjadi tempat paling angker di sekolah seolah kehilangan semua reputasi itu. Aku tidak takut. Lagipula, aku tidak pernah mempercayai rumor itu.

Aku menoleh ke belakang. Tidak ada siapa pun kecuali aku. Baguslah, aku tidak ingin melibatkan lebih banyak orang dalam masalah ini. Sudah cukup, aku saja yang menanggung semua beban ini.

Tidak usah takut, Mitsuki. Ini tidak akan lebih sakit daripada semua yang pernah kau alami. Bukankah begitu?

Aku menarik napas panjang. Mengambil langkah. "Sayounara, Minna."

"MITSUKI NII-CHAAN!!"

*

Ichi mau ngucapin terima kasih banyak buat kalian uang udah setia baca sampe chapter ini. Ini adalah scene yang sama kayak di prolog.

Jangan lupa vote dan commemt ya 😊.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top