Juu Nana
"Ojii-san, cepatlah sembuh. Bulan depan aku ada tournament karate."
"Mitsuki, rupanya kau mewarisi bakat Akeshi dan Yoshiro dalam beladiri. Itu bagus sekali."
"Aku pasti akan berusaha memenangkan tournament itu, asalkan ojii-san cepat sembuh."
"Aku mohon, pegang janjimu ...."
"Jadilah seperti bulan, Mi-tsuki …."
*
Helaan napasku seketika berubah menjadi embun ketika menyetuh udara dingin. Aku merapatkan syal merah yang masih saja melingkar di leherku. Semua beban ini … semua kesedihan ini … semua rasa sakit ini … semua perasaan bersalah ini … aku yakin semuanya akan lenyap, hari ini.
Aku tak perlu merasakan dingin serta kehampaan. Tidak perlu lagi melihat penderitaan orang lain karena perbuatanku, tidak perlu merasakan lebih banyak penyesalan. Aku hanya akan merasa perlu untuk meminta maaf karena pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal.
Ryuto .... Kazuhiko .... Seharusnya aku berterima kasih karena mau menjadi teman dari orang paling tidak berguna ini. Aku khawatir mereka akan marah karena aku pergi tanpa kata-kata. Ah, aku ingin bertemu mereka sekarang, hanya untuk mengucapkan permintaan maaf dan selamat tinggal.
Aku berjalan perlahan mendekati jalur shinkansen yang sepi. Tidak ada kereta yang melintas. Ah, aku yakin sebentar lagi pasti ada. Tempat ini, kuharap bisa menjadi saksi bisu perpisahanku dengan mereka. Aku juga berharap, tidak akan ada lagi penderitaan setelah aku pergi. Semuanya harus usai.
Aku terus berjalan berusaha menjauhi keluargaku yang masih mengobrol jauh dari jalur kereta. Tanpa memerhatikan kanan dan kiri, aku mencoba untuk meneggelamkan diri ke dalam pemikiran sendiri. Sudah lama sekali aku tidak merasakan ketenangan ini. Bagaimana tidak? Sekarang, adalah hari dimana aku akan mengakhiri semua rasa sakitku. Andai saja orang lain bisa mengerti.
Dari kejauhan aku bisa menduga sebuah kereta sedang melaju kencang, melayang di atas tanah tanpa ada tanda-tanda akan berhenti. Aku kembali menghela napas tipis. Kurasa ini saatnya. "Erika, aku akan menyusulmu," ujarku. Dengan sekuat tenaga, kugerakkan kakiku menuju lintasan itu. Sudah kuputuskan, cara terakhir yang bisa kulakukan.
"JANGAN!!" Aku terperanjat mendengar jeritan itu. Tanganku yang digenggam gadis itu bergetar. Kedua kakiku kehilangan kekuatan untuk berlari, hingga akhirnya aku hanya bisa terduduk memandangi kereta yang melintas.
Itu hanya jerita biasa ... tetapi mengapa rasanya … sangat menggetarkan, seperti Keiko hari itu.
"Kira … m-mengapa … mengapa kau menyelamatkan aku?!" tanyaku. Tanpa mempedulikan keadaan sekitar, aku berseru pada gadis kecil yang perlahan melepaskan pegangan tangannya. Napasku menderu cepat. Seperti ada sesuatu yang mendorongnya keluar masuk paru-paru.
Hari ini ... aku gagal lagi.
*
Hari demi hari berlalu sejak tragedi itu. Aku kembali lagi ke rutinitas biasaku sejak beberapa bulan yang lalu. Menenggelamkan diri dalam selimut tebal yang tak pernah bisa mengusir hawa dingin yang kurasakan.
Rencana kami untuk pergi ke Yokohama tidak batal. Kami berada di sana merayakan tahun baru dan kembali dua hari yang lalu. Otou-san dan Okaa-san tidak berkomentar apa pun mengenai aksiku. Sepertinya mereka sedang menunggu waktu yang tepat. Aku tidak terlalu peduli. Aku tinggal menjelaskan semuanya pada mereka, dan itu seharusnya bukan hal sulit.
Jika saja Kira tidak melakukannya, ini tidak perlu terjadi. Anak itu, mengapa dia malah menggagalkan rencanaku? Dia tidak mengerti apa yang kualami. Dia sama sekali tidak mengerti. Sekalipun dia harus dibenci keluarganya sendiri karena masalah harta warisan yang tidak ia mengerti, aku yakin seribu persen kesedihannya tak sama denganku.
Pagi ini, Yoshiro Oji-san kembali ke rumahnya. Begitu juga dengan Kira. Aku menghela napas panjang. Kurasa itu bagus karena aku tidak perlu berurusan dengan gadis itu lagi. Aku sudah bosan jika pada akhirnya dia akan selalu merespons dengan cara yang sama, menangis.
Aku iri. Dia masih bisa menumpahkan kesedihannya dalam bentuk tangisan. Dia masih bisa mengurangi bebannya dengan mengeluarkan air mata. Sedangkan aku? Aku sudah lelah dengan tangisan, bahkan ragu jika masih ada air mata yang tersisa untuk melakukannya.
Benar, aku sudah lelah. Aku tidak kuat lagi. Mengapa tidak secepatnya saja semua ini berakhir? Aku sudah muak dengan perasaan bersalah yang tidak bisa kuatasi. Justru sebaliknya, apa yang kulakukan justru membawa dampak buruk yang lain. Aku justru mengacaukan hidup orang lain. Karena itulah aku ingin pergi sebelum mengecewakan lebih banyak orang.
Erika, teman kecilku yang malang. Aku tak sempat berkata apa-apa sebelum dia pergi. Aku tidak sempat meminta maaf, apalagi mengucapkan selamat tinggal. Aku lupa mengucapkan terima kasih untuk yang terakhir kali karena sudah mau menjadi temanku. Payah! Aku ini memang payah!
"Onii-chan," ucap Keiko dengan nada ragu-ragu dari bawah bingkai pintu. Aku malas-malasan menoleh. "Otou-san memanggilmu," katanya singkat. Aku segera bangkit. Hal ini sudah bisa kuduga.
*
Jangan lupa vote dan comment ya 😊.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top