Juu Hachi

"Onii-chan," ucap Keiko dengan nada ragu-ragu dari bawah bingkai pintu. Aku malas-malasan menoleh. "Otou-san memanggilmu," katanya singkat. Aku segera bangkit. Hal ini sudah bisa kuduga.

Aku berjalan gontai menuju ruang makan dimana Otou-san dan Okaa-san berada. Keiko segera menggiring Kaitou agar menjauh dari tempat ini. Aku menghela napas panjang duduk di hadapan Otou-san, menunuduk dalam-dalam.

"Mitsuki, bisa tolong jelaskan apa masalahmu?" Aku hanya bisa bungkam mendengar pertanyaan tanpa intonasi yang dilontarkan otou-san kepadaku. ‘Menjelaskan masalahku’, itu sama saja dengan melihat kembali tayangan video berkualitas tinggi yang sudah membuat dirku muak hingga sekarang.

"Mitsuki, kau dengar?" Kali ini okaa-san yang bertanya. Aku kembali terdiam. Darimana aku harus memulai semuanya? "Apa ini tentang Erika?" tanya okaa-san lagi. Aku tetap diam. Dia sudah mengetahui hal itu. Ini sudah berakhir.

"Kami memang tidak sepenuhnya mengerti apa yang kau rasakan, Mitsuki. Tetapi setidaknya, kau akan merasa lebih baik jika menceritakan semuanya," ucap okaa-san. Aku menghela napas panjang. Semua ini berat, dan cara untuk bebas darinya juga berat.

"Dulu ... aku berjanji pada ojii-san  untuk memenangkan tournament karate itu. Tapi aku mengingkarinya. Aku tidak bisa dipercaya. Aku selalu mengecewakan semua orang. Jika saja aku tidak pernah berjanji, mungkin ojii-san bisa bahagia di saat-saat terakhirnya," jelasku lirih dengan lidah yang terasa kaku. Otou-san dan okaa-san hanya diam memerhatikanku.

“Erika ... dia mengalami radang otak. Aku sangat menyesal karena tidak bisa menjadi teman yang baik untuknya. Dia memintaku untuk menjadi bulan baginya, tapi aku tidak bisa. Sudah tidak ada kesempatan lagi bagiku untuk meminta maaf. Aku selalu membuat orang kecewa. Jika aku tetap hidup ... aku pasti akan membuat lebih banyak orang kehilangan kebahagiaan,” terangku lagi.

Aku kembali menghela napas panjang. Bahkan setelah mengatakan semuanya, masih saja terasa sakit. Tidak sedikit pun kelegaan seperti ketika aku menyayat lenganku. Aku tak peduli walaupun harus kehilangan seluruh darah, justru mungkin itulah yang lebih baik daripada harus hidup dalam kehampaan dan perasaan bersalah.

"Mitsuki, kami mengerti itu sangat berat untukmu. Jika kau ingin menangis, lakukan saja." Okaa-san mendekat agar bisa merengkuh bahuku kemudian mendekapnya erat-erat. Namun aku hanya bisa merespons dengan helaan napas. Hanya itu. Aku sudah lelah. Aku tidak bisa menangis lagi.

"Kau seharusnya tahu jika keluarga kita sangat menentang bunuh diri. Keiko bahkan berkata jika kau hampir melompat dri atap sekolah. Kami tahu jika hari itu kau sengaja melukai diri dengan pisau. Kuberitahu kau, Mitsuki. Semua itu tidak akan menyelesaikan masalah," kata otou-san. Aku tidak berkomentar. Masalahnya, aku tidak tahu cara lain untuk menghilangkan rasa sakit ini.

"Dengan cara itu, kau hanya lari dari masalah. Bukan menyelesaikannya," tegas otou-san. Aku hanya bisa bungkam. Aku tak pernah bisa menyelesaikan apa pun. Jika aku memang tidak mungkin melakukannya, maka lari adalah satu-satunya cara. Daripada terus tersiksa dengan rasa sakit ini, lebih baik aku tak pernah merasakan sakit lagi. Walaupun itu artinya aku harus berhenti bernapas.

"Dengarkan aku, Mitsuki. Lari tidak akan membuatmu terbebas dari rasa sakit. Kau hanya akan mendapat penyesalan. Percayalah, kau akan menyesal," bisik Okaa-san yang masih memeluk erat. Aku tidak pernah memikirkan bagaimana aku akan menyesal.  Yang kuinginkan hanyalah terbebas, itu saja. Walaupun itu artinya aku harus melalui jalan yang lebih menyakitkan, dan akhir yang tak kalah menyakitkan.

"Aku ... aku hanya tidak mau membuat kalian kecewa. Itu saja," gumamku. Okaa-san mengusap bahuku hingga terus ke punggung. Aku mendesah pelan. Sesederhana itu yang kunginkan. Meskipun mereka mungkin akan sedih dengan kepergianku, setidaknya mereka tidak perlu repot mengurus semua yang kukacaukan.

"Kami tak pernah kecewa, Mitsuki. Kami bangga padamu. Kau menghadapi kedua adikmu dengan cara dewasa. Kami benar-benar terbantu," kata Okaa-san lagi. Aku kembali mendesah. Itu pasti hanya kebohongan. Apakah membuat Keiko berteriak marah dan berlarian di lantai dua dengan Kaitou itu dinamakan dewasa. Aku hanya mengacaukan semuanya. Mereka berdua pasti akan jauh lebih bahagia seandainya mereka tidak memiliki saudara seperti aku.

"Kau tidak tahu kan Mitsuki. Hari pertama kita di Yokohama, Keiko tidak tidur karena menangis memikirkanmu. Dia tidak ingin kau mati begitu saja. Kaitou juga. Dia memang tidak menangis, tetapi dia terus berjalan bolak-balik untuk memerhatikanmu yang hanya memandangi salju dengan pakaian tipis," jelas Otou-san.

Sudah kuduga. Mereka terlalu mengkhawatirkanku. Mereka terlalu cemas pada orang yang paling tidak berguna sepanjang sejarah ini. Dugaanku juga benar. Semua akan jauh lebih baik seandainya nama Mitsuki Ishida sudah tak lagi ada di galaksi bimasakti.

Aku kembali menghela napas panjang. Aku ini memang payah. Untuk apa aku tetap hidup jika hanya akan menjadi beban pikiran orang lain. Jika seandainya aku mati, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Bumi akan tetap berputar. Matahari akan tetap terbit dari timur. Sakura akan tetap mekar. Semua akan menjadi lebih indah, aku yakin.

"Kau ingin dengar cerita, Mitsuki. Cerita tentang dua hari sebelum kematian Soichiro Ishida?" tanya otou-san. Aku mengangkat sedikit wajah mendengar nama Ojii-san. Okaa-san lekas melepaskan dakapannya.

"Hari itu, aku masih ingat. Saat tubuhnya semakin lemah, beliau berkata padaku, 'Putramu benar-benar tangguh. Dia sepertinya akan menjadi jauh lebih hebat daripada kau, Hiro.' Waktu itu aku hanya tersenyum mendengarnya, karena aku berpikir yang dia maksud adalah Kaitou.

"Tetapi, beliau berkata lagi. 'Dia berjanji akan memenangkan tournament karate itu. Aku sangat bangga. Seandainya aku bisa berumur lebih panjang, aku ingin melihatnya. Walaupun seandainya dia kalah, aku ingin berkata jika dia adalah cucu yang paling istimewa,'" jelas Otou-san lagi. Aku hanya diam, sudah tidak tahu harus berkomentar apa.

"Sekarang, Mitsuki. Siapa yang kau kecawakan? Semua orang justru bangga padamu. Erika, kau jauh lebih tahu tentang dia. Kau pasti ingat saat-saat menyenangkan bersamanya kan?" Aku menggigit bibir. Aku ingat, sangat. Aku selalu mengingatnya. Namun justru rasa sakit yang terasa semakin menusuk. Aku ingin membuang semua ingatan yang dulunya indah itu.

"Semua orang pernah melakukan kesalahan, kecil ataupun besar. Tetapi, kesalahan itu tidak lantas membuatmu menjadi orang paling tidak berguna. Justru mereka yang melakukan kesalahan, tetapi tak merasa menyesal. Merekalah orang paling tidak berguna." Okaa-san mengusap puncak kepalaku. Membuat rambutku menjadi sedikit acak-acakan.

"Itu benar sekali, Mitsuki. Kau bukan orang yang paling tidak berguna. Kami justru bangga karena memiliki anak sepertimu, yang masih memiliki rasa bersalah," sambung Otou-san. Aku menghela napas panjang. Bingung antara harus percaya atau tidak. Aku tak bisa begitu saja menganggap itu kebohongan, meskipun hati kecilku membenarkannya.

"Mitsuki, terdiri dari kanji 'indah' dan 'bulan'. Kau tau apa yang kami harapkan dari nama itu?" tanya Okaa-san lagi. Aku hanya terdiam. Sudah tidak ada lagi kata yang bisa kukatakan.

"Kami berharap kau bisa menjadi seperti bulan. Karena memang begitulah gambaran masa depan. Bulan akan terlihat bersinar jika langit sedang gelap. Begitu juga dengan masa depan yang akan terlihat cerah, jika kesulitan pernah menghambat kita. Karena itu, jadilah seperti bulan, Mitsuki," bisik Okaa-san lembut seraya merengkuh bahuku lagi.

Yang dikatakannya sama persis seperti Erika. 'Jadilah seperti bulan.' Setitik air perlahan mengalir dari mataku tanpa sadar. Aku tidak bisa menyangkalnya. Mereka benar. Yang kulakukan selama ini hanyalah hal bodoh yang justru membuatku semakin terkukungkung dalam kehampaan.

"Tidak ada yang perlu disesali, Mitsuki. Kau tidak pernah mengecewakan kami. Masa depanmu pasti akan jauh lebih cerah, seperti bulan di langit malam," ucap Okaa-san. Aku mencoba untuk menaikkan sudut bibirku ke atas meskipun kesedihan dan rasa sakit itu masih tersisa. Mengangguk perlahan seraya membalas pelukan Okaa-san.

“Arigatou, Okaa-san. Aku akan berusaha,” balasku.

*

Maaf, ya update-nya lama. Nggak nyangka kalo view cerita ini langsung naik setelah Ichi tulis WARNING pake capslock di deskripsinya. Semoga aja nggak ada reader di bawah umur.

BTW, maaf kalo feel-nya nggak ada. Chapter ini Ichi tulis di tengah euforia tugas. Jadi, yaa  ngerti sendirilah. Cerita ini Ichi buat jadi pelarian (tapi justru malah makin nyesek 😂).

Oke, jangan lupa vote dan comment ya 😊.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top