Juu Go
Tiga ketukan di pintu kamar berhasil membangunkanku dari mimpi. Aku mengabaikan usikan suara yang tak kunjung berhenti juga. Kurapatkan kembali selimuat yang menutupi hingga kepalaku. Apa peduliku pada pagi yang sudah kembali menggantikan malam? Lagipula kegelapan yang kulihat sama sekali tidak pernah tersingkap.
"Onii-chan, boleh aku masuk?" Suara Keiko terdengar cukup nyaring, disusul dengan suara gagang pintu yang digerakkan. Aku tak acuh. Kembali menutup rapat kelopak mata yang masih terasa berat.
"Onii-chan, ini sudah pagi," ucap Keiko yang memasuki kamar tanpa menunggu konfirmasi. Aku tidak peduli, masih mencoba untuk tidur kembali. Walaupun bukan mimpi indah yang kudapati, setidaknya rasa sakit ini lenyap walaupun sesaat.
Jika saja lukaku tidak diobati oleh Ibu, dia pasti tidak akan berani masuk jika hanya untuk melihat cairan merah kental yang terus menetes. Jujur saja, ketika semua orang panik dengan teriakan Keiko, aku diam-diam menambah satu luka sayatan lebar di telapak tangan kiriku. Sakit, tetapi membuatku merasa lebih baik.
"Ya, aku juga malas bangun karena dingin. Tapi setidaknya makanlah sesuatu," sarannya.
"Kau saja yang makan," sahutku. Lagipula aku sudah tidak mempermasalahkan kondisi kesehatanku yang menurun. Tidak apa-apa. Memang itu yang kuharapkan. Jika lebih cepat pasti akan lebih baik.
"Onii-chan, kau harus tahu. Aku sudah sangat sering berbohong pada Otou-san. Jika terlalu sering, dia pasti akan curiga," lirihnya. Aku menghela napas panjang. Bangkit perlahan dari satu-satunya tempat bagiku menghabiskan waktu liburan musim dingin.
Aku berjalan gontai menuju ruang makan yang sudah sepi. Mereka pasti sudah selesai sebelum aku bangun. Keiko mengikuti dari belakang dengan raut wajah khawatir. Oh, Keiko. Seandainya kau biarkan aku mati, kau tidak perlu memikirkanku lagi.
"Onii-chan, sup bagianmu masih hangat. Kalau sudah dingin, nanti aku hangatkan lagi." Keiko tersenyum senang sembari membawa sebuah mangkuk. Aku sudah kehilangan selera makan, sehingga kuah sup yang penuh bumbu terasa hambar.
"Bagaimana? Itu aku sendiri yang membuatnya. Dengan bantuan dari Okaa-san ... tentu saja," jelas Keiko sambil tertawa kecil. Gadis itu duduk di kursi tepat di hadapanku. Dia tampaknya berharap aku memuji masakannya. Tetapi bagaimana, aku bahkan tidak bisa mengenali rasanya.
"Ini benar masakanmu?" tanyaku datar. Keiko mengangguk antusias. "Khusus untuk bagianku, kenapa kau tidak sekalian tuangkan arsenik?" kataku lagi tanpa mempedulikan reaksi Keiko.
"Aku tidak akan sejahat itu meracuni orang lain. Aku ini bukan psikopat. Lagipula, mana mungkin aku tega membunuh Onii-chan!" serunya sambil menggebrak meja makan.
"Sayang sekali. Seandainya itu benar, aku rela menjadi korban pertamamu," ucapku lagi. Air mata Keiko tampak semakin menggenang, perlahan mengalir melewati pipi kanannya.
"Onii-chan, sudah kukatakan. Jangan pernah bahas itu lagi," lirinya. Aku tidak peduli. Pada kenyataannya, aku ingin mengulangi aksi gila yang gagal itu sekali lagi — atau mungkin beberapa kali — hingga aku benar-benar mati.
"Kau seharusnya malu, Onii-chan. Kau seharusnya malu!" serunya lagi. Aku tidak berkomentar. Tidak ada alasan bagiku untuk malu. "Adik sepupu kita ..., putri dari Yoshiro Oji-san, Kira. Dia sama sekali tidak pernah berniat mengakhiri hidup walaupun keluarga Paman Akeshi membencinya," Keiko melanjutkan ucapannya dengan nada yang turun satu oktaf.
"Anak itu ... dia harus lebih bahagia karena berhak atas sepertiga harta warisan keluarga Ishida. Dia beruntung. Lihat saja namanya jika dibalik, 'rakki' (lucky). Dalam bahasa Inggris artinya beruntung. Untuk apa dia mengakhiri hidup?" Aku mengakhiri balasanku dengan pertanyaan yang sebenarnya tidak butuh tanggapan.
"Kira sama sekali tidak mengerti apa-apa soal warisan. Yang dia tahu hanya satu, keluarga Akeshi Oji-san tidak mau menerima keberadaannya," Keiko tidak mau kalah berdebat.
Aku tertawa sinis. Dia baru saja mengatakannya, kata kunci yang membuatku bisa mematahkan segala argumennya. "Ya, benar. Kira tidak mengerti apa-apa, termasuk tentang kesendirian. Bahkan aku ragu jika dia tahu tentang bunuh diri."
Aku yang baru saja menghabiskan setengah dari sup yang ada di mangkuk segera bangkit lalu kembali menuju kamar. Keiko terlihat termenung cukup lama. Mungkin karena menyesali kalimat yang diucapkannya — yang berbalik menjadi bumerang.
"Onii-chan, kau tahu? Yoshiro Oji-san [23] menelpon jika pesawatnya baru saja landing di Haneda. Beberapa menit lagi dia pasti sampai," katanya. Aku tidak mengacuhkannya. Lagipula walaupun Yoshiro Oji-san ada di sini, aku tidak yakin dia akan membantu.
Aku tetap melangkah gontai menaiki tangga. Menjatuhkan tubuh di atas tempat tidur yang sudah lama sekali berantakan. Biarkan saja. Toh juga hidupku jauh lebih kacau daripada kamar ini.
Aku segera meraih ponsel yang sudah lama tidak kulihat. Karena aku tahu semuanya percuma saja. Benda itu tidak akan pernah bisa menyelesaikan masalahku. Aku hanya membukanya asal-asalan. Pesan yang menempati urutan paling atas tentu saja berasal dari Ryuto dan Kazuhiko yang terus mengirim pertanyaan tidak berguna seperti, "Mitsuki-chan, kau sudah makan malam?".
Aku menghela napas panjang. Mengapa aku malah membuang-buang waktuku seperti ini? Ya, karena tidak ada hal lain yang lebih bermanfaat untuk dikerjakan oleh Mitsuki Ishida yang selalu mengacaukan segalanya.
Handphone yang masih dalam genggamanku bergetar. Sebuah pesan muncul dari kontak yang juga ikut mengirim spam chat sejak liburan musim dingin. Aku malas-malasan membukanya.
Shion: Mitsuki-kun, liburan kali ini kau pergi kemana saja?
Shion: Oh ya Mitsuki-kun, aku sudah tahu nomor ruang rawat Erika
Aku memandang datar untaian percakapan tidak berguna itu. Nomor ruang rawat Erika? Untuk apa, jika pada akhirnya kedatanganku ditolak mentah-mentah. Lagipula, aku tidak ingin teman kecilku itu bertemu dengan orang paling tidak berguna di dunia. Iya, aku sendiri. Orang yang lebih baik segera mati.
Oh ya, sepertnya aku membutuhkan nomor itu. Sebelum aku pergi untuk selamanya, aku harus mengucapkan selamat tinggal walaupun tidak secara langsung. Setidaknya, aku bisa melihat wajah teduhnya, untuk yang terakhir kali.
Mitsuki: Bisa beritahu aku nomornya, Shion-chan?
*
23. Oji-san: paman
Reader yang dari High School of Mystery dan yang penasaran sama masa lalu Kira, di sini sudah mulai diceritakan. Walaupun cuma kameo, perannya lumayan penting dalam cerita ini. Liat aja nanti.
Jangan lupa vote dan comment ya 😊.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top