Hachi
Aku menggigit ujung bibir bawah dengan cemas. Entah mengapa waktu berjalan lambat sekali di tempat ini. Udara di sekitar juga terasa lebih dingin. Namun anehnya, aku justru berkeringat menunggu hasil pemeriksaan dokter sejak dua puluh menit yang lalu.
Erika, sebenarnya ada apa denganmu? Kau hanya flu berat kan. Jika hanya itu, seharusnya kau tidak perlu pingsan, tidak perlu masuk UGD. Atau, apa kau merahasiakan penyakitmu —yang sebenarnya lebih parah —dariku dengan alasan tidak ingin membuatku khawatir?
Apa tujuanmu bertanya apakah aku akan melupakanmu suatu hari nanti? Apa itu ada hubungannya dengan yang terjadi saat ini? Apa kau ....
Suara langkah berat yang berjalan kemari membuyarkan lamunanku. Terlihat seorang pria berpakaian dokter baru saja keluar dari ruang UGD. Aku segera bangkit lalu tidak sabar mendengar hasil.
"Saya benar-benar minta maaf. Tapi, harus saya katakan jika teman Anda didiagnosis mengalami ensefalitis, atau yang umum dikenal dengan istilah radang otak," papar pria tersebut.
DEG! Seperti ada petir yang tiba-tiba menyambarku di malam yang tidak terlalu dingin ini. Rasanya itu terlalu mustahil bagi Erika yang sama sekali tidak pernah terlihat sakit parah. "Radang otak, bagaimana mungkin? Akhir-akhir ini dia hanya mengalami gejala flu," responsku.
"Maaf, tapi gejala ensefalitis bisa jadi hanya berupa flu biasa," jelas dokter itu lagi. Aku menatap langit-langit. Jadi, Erika juga tidak sadar jika 'sakit'-nya selama ini merupakan gejala penyakit yang lebih parah?
Suara langkah cepat seseorang kembali terdengar. Kali ini dari arah pintu masuk. Dia adalah Akira, kakak dari teman kecilku yang kuhubungi lima menit yang lalu. Dia segera meminta penjelasan dari pria berpakaian dokter itu.
Sementara aku hanya bisa menunduk. Bagaimana bisa aku tidak menyadari ini? Mengapa aku mudah sekali percaya dengan kalimat 'aku tidak apa-apa' darinya? Seharusnya, aku harus bisa bertindak bukan hanya sebagai 'teman'. Seharusnya, aku bisa lebih menjaganya.
"Hei, Mitsuki," panggil Akira. Aku segera menoleh. Dia melambaikan tangannya agar aku mendekat. "Kau tahu apa yang terjadi pada adikku sekarang?" tanyanya dengan nada datar. Aku hanya mengangguk samar.
"Dan kau hanya diam saja melihatnya menderita seperti itu? Kau ini teman macam apa?!" tanyanya lagi dengan nada yang lebih tajam. Aku tidak merespons. Lagipula aku tidak tahu harus berkata apa.
"Aku tidak bisa berkata jika semua ini salahmu. Tapi, sebagai teman kau seharusnya melakukan sesuatu. Bukan hanya diam saja seperti itu," ujarnya lagi. Aku menggigit bibir. Apa yang dia katakan ada benarnya.
"Aku benar-benar minta maaf," lirihku. Akira tidak berkata apa-apa lagi. Hanya diam dengan sorot mata yang aku tidak tahu apa artinya. Aku mengerti. Menghadapi kenyataan ini di usianya yang belum menginjak kepala tiga mungkin terasa berat baginya. Terlebih dengan kepergian kedua orang tua beberapa tahu lalu, dia harus bekerja keras sendirian.
"Jika kau hanya diam saja, lebih baik jangan pernah dekati adikku lagi," kata Akira lalu berbalik pergi meninggalkan aku di ruang tunggu yang mendadak bertambah dingin.
*
Kelopak mataku terbuka sedikit karena cahaya dari matahari yang mulai meninggi. Kejadian semalam membuatku insomnia. Hampir lima jam kuhabiskan untuk memikirkannya.
"Mitsuki, ayo sarapan dulu!" suara okaa-san dari lantai bawah terdengar jelas hingga ke dalam kamarku. Suara langkahnya yang sedang menaiki tangga juga masih bisa terdengar. "Ayo, Mitsuki. Nanti justru kau yang sakit."
"Baik, Okaa-san," sahutku sambil meregangkan tubuhku yang terasa pegal karena tidur dalam posisi tidak wajar. Maksudku, kaki di atas bantal sementara kepala hampir saja menyentuh lantai.
Aku berjalan gontai menuju ruang makan. Nafsu makanku sudah lenyap terlebih dahulu sejak aku memikirkan kembali ucapan Akira. Tanpa terasa, hanya aku yang tersisa di ruang makan bersama Okaa-san yang sedang membereskan meja makan.
"Mitsuki, kau baik-baik saja?" tanya okaa-san. Aku segera mengangkat wajah. Menggeleng cepat sambil tersenyum, seolah aku benar-benar 'baik-baik saja'.
"Okaa-san, aku pergi ke rumah sakit sebentar," pamitku setelah beberapa menit mengunyah roti bakar yang terasa hambar di mulutku. Okaa-san sudah tahu jika Erika diopname, jadi dia tidak bertanya lebih banyak lagi.
Aku sudah menguatkan tekad. Apa pun yang akan terjadi, aku harus memberanikan diri untuk meminta maaf. Mengakui kesalahanku secara kesatria. Bagaimanapun juga, ini sudah menjadi keharusanku sebagai seorang 'teman'.
Sesampainya di rumah sakit, aku tidak bisa menemukan Erika di ruang UGD. Aku mencoba untuk berpikir positif. Mungkin saja dia sudah dipindahkan ke ruang rawat inap dengan fasilitas yang lebih memadai.
Aku mencoba untuk menghampiri salah satu petugas untuk bertanya nomor ruang rawat Erika. Namun, jawabannya sungguh di luar dugaanku.
"Tidak mungkin ...."
*
Jangan lupa vote dan comment ya 😊.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top