Epilog
Song: Sakura by Ikimono Gakari
*
Matahari hendak kembali ke tempat peraduannya. Menyisakan semburat jingga sebagai pengganti ucapan "sampai bertemu besok, Tokyo." Angin hangat bulan April berembus membawa serta bunga sakura yang gugur dari pohonnya. Seolah sedang menggelar permadani merah muda di tanah.
Seorang gadis berambut panjang duduk sendiri di salah satu kursi taman. Menatap kosong ke depan. Mencoba membawa kembali ingatan yang sudah pudar - bahkan hilang - akibat penyakit yang diderita. Namun, sejauh ini hasil yang didapatkannya benar-benar nihil. Yang dia cari justru sudah sangat jauh seperti salah satu bunga sakura yang tertiup angin hingga tak nampak lagi.
Di sudut yang lain, tampak seorang pemuda tengah berjalan santai, tanpa tujuan apa pun selain menenangkan diri dari hiruk pikuk kota metropolitan yang sudah menjadi tempat tinggal baginya ini. Namun yang terpenting, menenangkan diri dari serangan perasaan bersalah yang membuatnya merasakan kehampaan selama berbulan-bulan.
Laki-laki itu merapatkan syal merah yang melingkar di lehernya. Ia tahu jika hal itu sangat sulit. Tetapi, tidak ada cara lain selain berdamai dengan masa lalu. Meskipun pohon sakura di hadapannya membuat kelebat memori masa lampau - yang selalu mengingatkannya pada teman kecilnya - membuat pemuda itu sedih.
"Kau suka bunga sakura ya?" ucap gadis itu. Si pemuda tadi hanya mengiyakan tanpa melihat siapa yang bicara. Dia sangat yakin itu adalah manusia, karena dia tidak pernah memercayai keberadaan yokai.
"Aku suka, karena sakura selalu mengingatkan pada teman kecilku. Dulu, aku sering bermain dengannya di sini. Sayang sekali, aku tidak ingat nama ... ataupun wajahnya," terang gadis berambut panjang itu. Laki-laki bersyal merah di sampingnya mendesah. Merasa bernasib sama karena kehilangan teman kecil yang dirindukan.
"Aku tidak tahu bagaimana harus mencari jika namanya aku saja tidak ingat. Tetapi kalau tidak salah, namanya mirip sekali dengan bulan," papar gadis itu lagi seraya memejamkan mata, sesaat kemudian menghela napas panjang.
Pemuda yang selama kurang lebih lima menit berdiri di depan pohon sakura itu spontan menoleh. Netranya membelalak tak percaya. "Erika-chan, kau masih hidup?" batinnya dengan perasaan bahagia yang membuncah. Namun karena tidak ingin memunculkan masalah baru, dia hanya bungkam.
"Sudah lama sekali kami tidak bertemu. Aku sangat rindu. Bagaimana kabarnya sekarang? Oh, dimana pun dia, aku hanya ingin tahu keadaannya," ucap gadis itu penuh rasa ingin tahu. Tetapi sayang, tidak ada yang mau menjawab, termasuk orang yang kini ada di dekatnya.
"Dia pergi, tanpa ucapan selamat tinggal. Membuatku menunggu, tanpa kepastian. Bahkan setelah aku bersiap mengatakan semuanya, dia tidak pernah kembali," kata gadis itu sambil menyisipkan poni yang mengenai ujung mata ke telinga. Entah apa yang membuatnya terbuka pada orang yang bahkan tidak dia tahu namanya.
"Bagaimana seandainya ... dia takut jika kau membencinya?" Pemuda itu kini memberanikan diri untuk buka suara. Pertanyaan yang sudah lama terpendam serta menyiksa batin.
"Mana mungkin aku membencinya. Dia itu sahabatku. Tidak masalah selama apa pun aku menunggu. Jika dia kembali, tentu saja aku akan memaafkan kesalahannya," balas gadis itu dengan emosi yang begitu kuat, terdengar dari ucapannya yang penuh penekanan. Laki-laki di dekatnya terpegun.
"Oh ya, kau sepertinya cukup menyenangkan. Boleh aku tahu namamu?" tanyanya sembari menoleh sehingga bisa menatap wajah lawan bicaranya dengan jelas dari samping.
Yang ditanyai justru hanya menunduk dalam-dalam. Menggenggam erat syal merah yang melingkar di lehernya dengan telapak tangan yang tiba-tiba gemetar. "Erika-chan." Gadis itu terperanjat. Ia bingung sekaligus tidak percaya. Bagaimana mungkin orang pertama kali dia temui ini tahu nama depannya?
"Sebenarnya ... ini aku, Mitsuki. Teman kecil ... sekaligus orang yang membuatmu menunggu, tanpa kepastian," aku pemuda itu. Gadis bernama Erika itu tertegun saat ingatan lamanya seolah datang seperti hujan meteor.
Ia ingat sekarang. Orang yang sejak tadi di sampingnya tak lain adalah yang menjadi topik pembicaraan beberapa menit terakhir. Dia adalah orang yang membawanya ke rumah sakit saat kehilangan kesadaran di festival musim panas. Dia adalah laki-laki yang paling ingin dia lihat, walaupun hanya dari jendela ruang rawat. Dialah orang yang sangat dirindukan gadis itu beberapa waktu belakangan.
Jantungnya berdebar kencang. Dia basah kuyup oleh perasaan yang menandakan bahwa pemuda itu sangat spesial. Matanya terasa panas. Sesuatu yang tak pernah bisa di sembunyikan selamanya menciptakan sebuah luapan emosi tak terbendung.
"Mitsuki-kun." Setetes air dari sudut mata mengalir tanpa hambatan. Terlalu banyak kalimat yang harus diungkapkan hingga semuanya justru berubah menjadi isakan. Erika tanpa ragu memeluk laki-laki yang ternyata teman kecilnya itu. Tangisnya terus berlanjut tanpa interupsi.
"Mitsuki-kun, kemana saja kau? Aku pikir kita tidak akan bertemu lagi. Selama ini ... onii-chan melarangku untuk bertemu denganmu. Shion juga ... dia terus menghalangi. Sampai akhirnya ... aku benar-benar kehilangan ingatan tentangmu. Tapi sekarang, aku tidak ingin jika harus kehilanganmu lagi, Mitsuki-kun," ungkapnya.
Pemuda bernama Mitsuki itu mengusap punggung Erika perlahan. Jadi begitu kejadian sebenarnya. Bukan dia yang menolak kedatangan Mitsuki, tetapi kakaknya. Itu benar-benar kesalahpahaman yang hampir merenggut nyawa.
"Mitsuki, katakan jika kau baik-baik saja selama ini. Cepat katakan!" seru Erika. Mitsuki hanya mengiyakan karena tidak ingin membuat teman kecilnya semakin sedih. Meskipun yang dikatakan adalah kebohongan.
"Onii-chan bilang kau sudah mati. Aku sedih sekali mendengarnya. Aku belum rela kalau kau mati, karena ... aku belum mengatakannya ...." Mitsuki hanya terdiam mendengar perkataan Erika seraya membalas pelukan. Menunggu gadis itu benar-benar berhenti bicara. Di sudut hatinya terselip perasaan malu. Malu karena hampir membuang kesempatan paling berharga hanya karena kesalahpahaman.
"Erika, sebenarnya ... ada yang ingin kukatakan padamu," kata Mitsuki. Mendengar itu, Erika langsung mengangkat wajahnya agar bisa leluasa melakukan kontak mata. Hening cukup lama. Mereka cukup lama terdiam untuk mempersiapkan diri menerima resiko. Meskipun begitu, keberanian yang dimiliki dia rasa belum cukup.
"Aku juga," balas Erika lirih. "Tapi, aku masih ragu. Jadi bisakah kita mengatakannya secara bersamaan?" pinta gadis itu. Mitsuki tak pernah bisa menolak permintaan teman kecilnya itu. Termasuk yang satu ini, meskipun terdengar sangat aneh.
Angin kembali berembus memainkan rambut hitam pekat Erika. Ujung syal merah yang dikenakan Mitsuki juga ikut bergoyang seirama dengan dahan pohon yang ikut tertiup angin. Angin yang seolah menjadi saksi bisu atas reuni tak terduga dua orang sahabat yang sudah lama saling memendam perasan.
Erika tersenyum lebar. Begitupun dengan Mitsuki yang kini menatapnya lekat-lekat. Tatapan yang sebenarnya sudah cukup untuk menjelaskan semuanya. Mereka berdua menarik napas dalam-dalam. Secara bersamaan mengucapkan apa yang selama ini tersimpan di dasar hati. "Aku mencintaimu."
END
*
Oh, kenapa epilognya hampir sama persis sama Your Lie in April sih. Wahai penggemar Kousei Arima yang bernama Ichi Hikaru, apakah Anda tidak bisa membuat sesuatu yang berbeda? (jangan perhatiin kalimat yang di-italic 😂)
Scene ini sebenarnya udah lama direncanain. Dan ... yah, Ichi nggak berniat niru Your Lie in April. Karena sebenernya (buat yang belum nonton) ending dari anime itu beda jauh sama ini. Mungkin perasaan Ichi yang bikin scene ini jadi mirip cuma gara-gara kata "suki da yo".
Oke, jangan lupa vote dan comment ya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top