chapter 2

"Kau putuskan sekarang, Yume. Apa kau memilih Erol atau aku? Apa pun jawabanmu, aku ikhlas."

"Jangan egois, Tobi! Aku tak ingin kehilangan kalian berdua. Kalian adalah orang istimewa bagiku."

"Kau lah yang egois, Yume. Apa kau pikir kau bisa memiliki keduanya? Tak apa, aku maklum. Yang baru menang dari yang lama. Hal itu rentan terjadi. Terima kasih sudah mau menjadi sahabatku selama ini dan maaf, aku mundur."

Ck, lama sekali iklannya! Aku mengetuk-ngetuk meja, gregetan menunggu iklan sebuah game yang lagi booming selesai ditayangkan. Selalu game ini yang ditampilkan. Promosi di aplikasi lain kek.

Runic Chaser, huh? Sebuah game yang lagi marak di Kota Hallow. Sangat trending di kancah perusahaan game. Separuh teman-teman di kelas memainkan game tersebut, termasuk Erol.

Apa yang menarik dari game ini, heh? Aku bukan tipe gamer atau apalah sebutannya. Aku hanya maniak dengan buku. Jadi main game bukanlah keahlianku.

Jangan sampai kehabisan server!

"Siapa juga yang mau main!" seruku kesal, menutup aplikasi. Ah, sudahlah. Mending belajar. Iklan game itu ada di mana-mana membuat sakit kepala.

Dulu aku tinggal bersama orangtuaku. Tetapi sekarang mereka sudah tiada karena kecelakaan dan aku mesti menguli sana-sini demi menafkahi diri sendiri.

Aku tidak pernah mengeluh atas hidupku yang susah karena aku tahu, masih ada yang lebih menderita di luar sana selain aku. Hidup mandiri tanpa orangtua. Aku paham rasanya. Daripada memprotes mending bersyukur.

Nyut! Aku menggigit bibir, menekan area perut yang berdenyut sakit. Luka dari tugas kemarin belum sembuh. Aku terlalu memaksakan diri.

Oh, benar juga. Aku belum memberitahu mengenai pekerjaanku. Sebenarnya aku bertugas sebagai—

Tok, tok, tok!

Pintu rumah diketuk tak sabaran. Aish, pasti si Sanju nih. Apa dia mau menghancurkan pintuku?! Dia tidak mengerti kelembutan kah? Padahal anak gadis. Aku bersungut-sungut membukakan pintu. "Kenapa, heh?"

"Temani aku ke mall. Kita belanja bareng."

"Dalam rangka?"

"Tsk. Kau tak lupa tentang perjalanan ke Museum Feat, kan? Karena lokasinya dekat dengan pantai, aku ingin membeli bikini baru."

Aku merinding. "Kau tak malu mengajak laki-laki untuk urusan 'wanita'-mu, hah?"

Sanju memegang bajuku, menarikku keluar dari rumah. "Siapa peduli! Pokoknya kau ikut!"

-

Dia pasti bercanda.

Aku menghela napas pendek, mengusap wajah gusar, jenuh melihat Sanju bolak-balik ke gantungan demi gantungan. "Kita cuman tiga hari dua malam di sana. Ngapain repot-repot beli pakaian? Kecuali kalau kita betulan pindah dan menginap selamanya."

Sanju memutar bola mata. Tidak peduli keluhanku. "Ish, kau tak paham keperluan cewek. Apa kau tak pernah jalan-jalan? Ini kesempatan sekali seumur darmawisata bung! Kita harus menikmatinya."

Apanya? Pas SD aku juga pernah ikutan travelling. Itu semua berujung melelahkan. Tidak berakhir enak. Jalan-jalan itu bikin badan letih, uang habis, mager di esok paginya.

Memijit pelipis, aku melambaikan tangan. "Aku duluan deh. Malu aku lama-lama."

Sanju malah mengekori langkahku. "Ikut."

"Lah, tidak jadi beli?"

Sanju menggeleng. Astaga! Dia kelamaan milih baju terus akhirnya tidak membeli apa pun. Apa yang akan dipikirkan kakak-kakak karyawan toko?! Menurutku semua baju itu sama. Cuman beda motif dan benang. Bikin malu 'aja.

Kami pun keluar dari toko baju itu. Perutku keroncongan. Aku tidak sempat makan siang. Berjalan sepuluh menit, aku dan Sanju melewati arena permainan. Setahuku setelah tempat ini baru restoran. Yosh! Mari kita-

Lenganku ditarik.

"Apa?" Aku menatap Sanju dengan alis bertaut.

Sanju menunjuk FunZone. "Ayo main."

Aku mendesah panjang. "Aku lapar, San. Kau pun sama, kan? Ini sudah pukul satu siang. Nanti setelah isi perut baru main. Aku takkan menolak dan janji akan menemanimu bermain sepuasnya."

Sanju menggeleng. "Ayo main. Hanya sebentar takkan lama," ucapnya memelas.

Sialan. Aku pasrah diseret ke FunZone. Beragam para pengunjung berdesakan di sana. Dari orang dewasa, remaja seperti kami, anak kuliahan, dan sebuah keluarga.

"Lho?"

Aku tersentak. Kenal betul suara ini. Ekspresi Sanju berubah dingin.

"Tobi dan Sanju. Ya ampun, kebetulan sekali. Sedang apa kalian di sini?" Erol menyapa ramah. Tampak Yume menyusul di belakangnya, mengalihkan pandangan.

Kenapa mereka berduaan? Jangan bilang...

Erol tersenyum. "Yume memintaku menemaninya belanja. Apa kalian juga sedang menyiapkan kebutuhan untuk wisata minggu depan?"

"Ya, begitulah." Sanju menjawab seadanya.

Kami masuk ke kios mainan tembak-tembak. Sanju mendapat giliran kedua, sementara Erol giliran pertama. Aduh, kenapa aku bisa terjebak di sini sih... Ini membuatku tidak nyaman.

"Kau tidak lihat jaraknya, Rol? Tembakanmu takkan sampai. Lihat, bahkan om-om itu tidak bisa." Yume berkata.

"Perhatikan," kata Erol pede.

Apanya yang harus diperhatikan? Demikian maksud gestur wajah Yume. Aku hanya diam di sebelah Sanju, di belakang mereka berdua. Kalem menunggu antrian.

Erol memerhatikan titik target dengan mata menyipit. Apa ini? Kuda-kuda berdirinya sangat aneh.

Dor! Bukan hanya satu target yang jatuh, tetapi semuanya sekaligus. Para pemain yang gagal menjatuhkannya melongo takjub juga empunya kios. Satu per satu pengunjung beralih menatap stan tempat kami bermain.

Aku cengo. Dia merobohkan semua kalengnya dalam sekali tembak.

"Ini." Erol menyerahkan hadiah menangnya pada Yume. Itu adalah sebuah boneka permen. Yume menerimanya dengan tatapan berbinar.

"Kau selalu mengejutkan, Erol. Terima kasih."

Mereka terlihat dekat dan mesra. Apa mereka sudah berpacaran? Kalau iya mereka pasangan yang serasi. Aku memutar langkah.

"Tobi! Mau ke mana?" Sanju berseru.

"Pulang."

Erol menggaruk-garuk kepala. "Aduh, padahal aku mau ngajak kalian makan siang bersama."

Sanju memberengut. "Enyah sana, artis!"

Erol sedikit terlonjak demi melihat Sanju menyenggol bahunya, melangkah pergi. "Astaga, apa aku punya salah pada mereka?"

Yume diam. Hanyut dalam pikiran. []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top