chapter 19

"Apa kalian tidak bisa mengikat dengan benar? Kenapa ada kucing yang terlepas lagi, hah?!"

Simpul berabe 'gini dibilang kerjaan mereka tak benar? Akunya saja yang berpengalaman terjebak di situasi genting. Keadaan dimana aku menjadi sandera. Erol mungkin juga pernah mengalaminya atau mempelajari cara melepaskan simpul ikatan. Siapa tahu.

Anrod menatapku sengit. "Apa? Kamu ingin bermain pahlawan juga seperti bocah ini?" Entahlah, Erol masih sadar atau sudah terlengar. Lukanya parah. Babak belur dibuli empat belas orang. Mereka menelikungnya.

Tidak bisa begini. Kalau Anona salah mengira Erol intel yang diutus Guardiola, dan kinerjaku buruk, poinku bakal menyusut radikal. Aku bisa ditendang dari agensi.

"Apa yang kamu lakukan, Tobi? Duduk ke tempatmu! Jangan merunyamkan suasana." Buk Lami mendesis.

Aku tersenyum bodoh, maju selangkah. "Kita bisa membicarakan ini baik-baik ...." Sompret. Aku tidak bisa melakukan negosiasi, kompromi, atau perbincangan yang bisa menyurutkan emosi Anrod. Lihat dia, dia seolah mau menerkamku detik ini juga.

"Ahh, bocah-bocah menyebalkan. Mati saja sana seperti temanmu!" Anrod melayangkan tinju. Oh, tidak. Dia menyebut kata sakral.

Aku menangkap tangannya dengan satu tangan, berekspresi datar. "Dia bukan temanku. Never."

Bugh! Padahal hanya satu pukulan biasa, namun Anrod terlihat merejan. Lima detik kemudian, dia memuntahkan air liurnya yang berdarah, mundur beberapa langkah. Rasanya perutnya habis dihantam bumper mobil.

Aku menelan ludah. Apakah terlalu kuat? Aku lupa mengurangi kekuatan pukulanku, aduh.

"Kenapa kalian hanya diam? Aku tidak membayar kalian untuk melongo seperti orang bodoh. SINGKIRKAN BOCAH INI!" gerung Anrod marah. Menjauh dari hadapanku.

Dalam suatu pertarungan, jangan takut jika kalah dalam kuantitas. Hal pertama yang dilakukan adalah tetap tenang. Jangan biarkan kegelisahan mengendalikan pikiran sehingga membunuh gambaran semua teknik bela diri yang dikuasai.

"Bukan salahku kalau kalian masuk rumah sakit." Aku mengangkat bahu. Tak merasa tersudut meski dikepung empat belas orang sekali pun.

>Lima belas menit kemudian<

"Si-siapa kau sebenarnya? Apa kau Agen Guardiola yang asli?" Anrod melangkah mundur, tak menyangka aku berhasil mengalahkan ke-14 kameradnya yang tak berguna.

Menjaga ketua mafia saja aku pernah, apalagi melawan anak buah "mafia". Aku mengakui kemampuan mereka, namun mereka lemah di trik. Tak bisa mengantisipasi serangan, membiarkan celah terbuka lebar. Apa karena aku pandai sulap tubuhku jadi lentur, ya?

Anrod tak terima kalah oleh remaja SMP, beringas menarik sebilah pisau dari sabuk, menodongnya kepadaku. "Jangan mendekat! Aku takkan segan-segan melukaimu—AKH!" Dia meringis merasakan tangannya kugenggam keras. Serangan dadakan. "ANAK BRENGSEK!"

Wush! Anrod mengayunkan pisaunya. Astaga, astaga. Untung aku refleks menghindarinya. Kalau tidak bisa tergores wajahku.

Wush! Wush! Wush! Dengan gerakan serampangan atau sebutan kasarnya "pemula", dia terus mendesakku ke dinding, tak membiarkanku kabur.

"Tobi...!" Sanju menahan napas, juga Yume.

Wush! Wush! Aku mengernyit jengkel. Pria ini tidak bisa menghunus pisau. Dia hanya melambai-lambaikan tangan. Mana dia tertawa seolah aku betulan terdesak. Apa aku terlihat lelucon baginya?!

Super geram oleh serangan kencur Anrod, kutangkis ayunannya itu dan melakukan hammerlock (kuncian berfokus melumpuhkan bagian bahu lawan dengan meletakkan lengan di belakang punggung lawan).

"LEPASKAN AKU, REMAJA INGUSAN!"

Aku mendengus, menekan lebih kuat lengannya agar dia tidak memberontak. "Kalau begitu hebat dong seorang kriminal dikalahkan oleh remaja ingusan. Dasar bodoh."

Anrod menjerit. "Aw! Aw! Baiklah, baiklah! Aku menyerah! Kau menyakiti tanganku!"

Aku menyuruhnya berdiri, namun aku ceroboh.

Sebelum aku membelitnya, salah satu musuh bangun dan mencengkram tangan kananku, menarikku jauh dari Anrod. "Kena kau, bocah sialan!"

Aku mendesah malas, memegang tangannya yang mengunci tanganku sembari menekukkan kaki kanan, kemudian kubanting ke arah Anrod yang berusaha bangkit. Alhasil mereka berguling jatuh.

Aku jongkok di depan mereka, berbisik, "Kalian beruntung aku tidak serius. Kalau aku serius, kalian dan aku bisa celaka."

"S-siapa kau sebenarnya, sialan?!"

Aku tersenyum miring, dengan gerakan halus menyingkap bajuku. Anrod terbelalak melihat tato huruf "G" besar menempel di kulitku. Dugaannya benar.

"Apa masih ada pertanyaan?" []



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top