What is Love? (1)
Sejatinya, manusia tidak selalu puas dengan apa yang telah didapatkannya. Sekalipun apa yang sudah ada dalam genggamannya adalah keinginannya sendiri.
***
Regan
Udah makan?
Nata
Udah
Tapi regan, bisa gak sih pembuka
chat lo jangan nanyain makan?
Regan
Ya biasanya lo lupa makan sih
Makanya gue ingetin
Lagian nih ya, pertanyaan atau perhatian
kecil kayak gitu tuh ya karena gue sayang
Gue gak mau lo sakit cuma karena lupa makan
Nata
Iya maaf
Regan
Iya gak papa, lo kan nanya
Maaf juga karena kesannya gue ngomelin
Nanti agak sorean gue ke kosan lo ya
Nata
Iya
Regan
Sekarang aja gue ke kosan lo
mumpung gue ada di deket situ
Nata
Dih ngapain?
Gue sibuk nyelesein tugas
Regan
Gak papa, ntar pindah ke ruang
tamu terus gue duduk main hape
atau liatin lo doang gak masalah
Nata
Ya udah
Jangan lupa izin ke ibu kos
Setelah bubble chat terakhir Nata, pemuda itu menyambar kunci mobil Fortuner di atas meja. Harusnya saat ini ia hanya duduk santai menunggu kedatangan teman-temannya, tapi hanya dengan perubahan cara Nata membalas pesan membuatnya khawatir dan ingin segera melihat keadaan gadis itu.
Dari cara gadis itu membalas pesannya, dia yakin Nata sedang tidak baik-baik saja. Biasanya Nata akan bereaksi berlebihan ketika ia berkata akan ke kosannya, tapi kali ini tidak.
"Mau kemana?" Salah seorang temannya menatapnya heran. Dia berhenti menyedot jus kemasan yang ia beli sebelum sampai hanya untuk bertanya pada Regan.
"Kosan Nata," jawab Regan seadanya. Temannya hanya merespon dengan anggukan kecil, sudah terbiasa dengan Regan yang tiba-tiba pergi mengunjungi Natalia Anira.
Selanjutnya, Regan tiba-tiba memundurkan langkah setelah mendengar sebuah kalimat terlontar dari mulut sang teman.
"Lo pilih Nata atau Sara?" katanya.
"Apa maksud lo ngomong gitu, Ga?" Sinar matanya tak lagi tenang. Regan marah atas pertanyaan Barga.
Barga tidak gentar sama sekali, dia justru berjalan maju ke arah Regan. Senyum miring dia layangkan terang-terangan seolah sedang mengibarkan bendera perang. Tangan kanannya terangkat untuk menyentuh pundak Regan, tetapi lelaki dengan sorot mata tajam itu tidak mengizinkannya. Barga sudah memperkirakan respon yang akan ia dapatkan, maka dari itu ia tidak lagi terkejut.
"Gue capek, Re. Sara masih ngarepin lo karena lo nggak pernah tegas atas perasaan lo sendiri. Lo ngebiarin Sara, lo ngebiarin perasaan Sara menggantung di bawah keegoisan lo."
Tidak ada respon berarti dari Regan. Pemuda itu masih memproses kalimat pedas yang baru ia terima.
"Lo jadiin Sara sebagai cadangan kalo Nata—"
Bugh!
Adegan yang seharusnya tidak terjadi di basecamp kebanggaan mereka kini terjadi. Satu bogem mentah mendarat di pipi kiri Barga, menyisakan kemerahan yang mungkin akan memudar sehari kemudian. Adegan itu juga terjadi di depan mata Ezra, pemuda yang paling benci dengan perkelahian yang tercipta hanya karena masalah perempuan.
"Gue pernah bilang, kalo lo berdua mau ribut jangan di sini! Jangan di depan gue! Apalagi kalo rebutan cewek! Kekanakan, tau nggak?" Ezra memisahkan keduanya. Kilat matanya menandakan ia lebih marah daripada marahnya Regan tadi.
"Siapa yang kalian ributin? Nata sama Sara lagi?" tantang Ezra sembari menatap keduanya bergantian.
Regan tidak membalasnya, dia berdecih pelan kemudian pergi meninggalkan kemarahan Ezra. Pemuda yang melerainya tentu saja tidak menghalanginya. Ezra justru berkata, "Jangan balik kalo kepala lo belum dingin."
Regan tidak peduli. Tadinya dia sangat tidak terima dengan kalimat Barga. Yah, walaupun ucapan itu tidak sepenuhnya salah. Regan menyukai Nata tapi ia tidak tahu bagaimana perasaan perempuan itu padanya. Di ujung lainnya, ada Sara yang dengan sukarela menyukainya dan Regan tidak bisa tegas terhadap perasaannya kepada Sara. Regan membiarkan Sara hidup dengan harapan tak pasti.
Sebenarnya Regan hanya takut kehilangan orang yang peduli padanya. Yang satu adalah orang yang dia cintai dan yang lainnya adalah orang yang mencintainya. Perasaan Nata belum dan tidak ingin ia pastikan karena dia terlalu takut mendengar penolakan dari Nata, sedangkan perasaannya pada Sara jelas-jelas hanya pelarian jika suatu hari Nata pergi darinya. Regan bingung, perihal mencintai atau dicintai, bagaimana ia harus memilih?
"Ah, sial!"
***
"Tuh kan, lo bohong. Lo sakit."
Telapak tangan Regan mendarat sempurna di dahi Nata. Dia mendesis pelan ketika Nata berusaha menyingkirkan tangannya. Gadis itu jelas-jelas menunjukkan ketidaksukaannya terhadap afeksi yang Regan berikan.
"Apaan sih, gue nggak pa-pa. Cuma panas doang gini. Udah, ah, minggir tangan lo."
"Nat, kapan sih lo bakal lihat gue?"
"Hah? Apaan deh? Perasaan tiap hari gue lihat lo. Nih, sekarang aja gue lagi lihatin lo."
"Nggak usah pura-pura bego. Gue tau lo paham apa maksud gue."
Nata menghela napasnya. Dia melepaskan kacamata yang sebelumnya bertengger di hidung bangirnya. Kemudian kedua tangannya kompak menutup buku-bukunya dan merapikannya dengan cepat.
Kali ini, ia harus menegaskan perasaannya sendiri. "Regan, gue udah pernah bilang, gue nggak mau suka sama lo karena gue nggak bisa. Gue nggak akan pernah bisa."
"Kenapa?"
"Pertama, latar belakang kita beda. Kedua, kalau gue bisa, gue bakal terbebani dengan perasaan gue. Berani-beraninya perempuan macam gue mengharapkan seorang Regan Danuandra. Lalu ketiga, rintangannya bakal lebih berat daripada hidup gue sekarang, Regan." Nata tertawa hambar di belakang kalimatnya. Dia menatap sendu kuku-kukunya. Rasanya, untuk mengangkat kepala menatap Regan saja ia tidak sanggup.
Nata terlalu takut untuk melihat reaksi pemuda di depannya. Selama ini dia tahu bagaimana perasaan Regan dan bagaimana Regan menatapnya. Nata tahu semuanya karena Regan tidak sepandai itu untuk menyembunyikan sesuatu darinya.
"Sorry, gue balik dulu."
"Regan, lo marah?"
Pemuda itu tidak marah atas penolakan yang diterima. Dia juga tidak kecewa dengan Nata yang hanya menganggapnya sebagai kakak laki-laki.
Regan justru kecewa pada dirinya sendiri. Hatinya menjadi carut marut, juga sibuk mempertanyakan mengapa ia seberani itu mengungkit masalah perasaan di saat dirinya pun yakin bahwa yang akan ia dapatkan hanyalah penolakan.
"Regan!"
Biasanya, Regan akan langsung berbalik ketika suara itu terdengar seperti mengharapkan kehadirannya. Tapi kini, langkah kakinya bahkan tidak berhenti meskipun panggilan itu lama-lama diiringi dengan tangisan Nata.
Regan tidak paham mengapa Nata yang menangis. Seharusnya dia yang bersedih atas patahnya harapan yang ia pupuk. Seharusnya dia yang menggaungkan nyanyian sendu atas perayaan putusnya keinginan memiliki Nata. Akan tetapi, mengapa perempuan itu yang mengeluarkan tangisan sendu?
"Regan, gue minta maaf."
Ah, Regan baru tersadar. Niatnya cepat-cepat menemui Nata adalah untuk memastikan gadis itu sedang baik atau tidak. Tapi dia datang merusak suasana. Dia justru membuat Nata menangis dan meminta maaf atas sesuatu yang tidak pernah Nata lakukan.
Nata, jangan minta maaf. Lo nggak salah. Gue yang nggak tau waktu. Padahal lo lagi sakit, gue malah ganggu lo dengan pembahasan yang berujung nggak baik. Jangan dipikir lagi, gue mau pulang dulu. Istirahat lo, jangan lupa waktu dengan alasan ngerjain tugas.
Regan hanya berani mengutarakannya lewat pesan. Dia masih tidak sanggup menatap wajah sayu Nata. Mulai detik ini sampai waktu yang tidak bisa Regan tentukan, biarlah dia dan Nata tidak saling bertatap muka.
Nata, gue nyerah aja kali, ya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top