Under The Rain (3)
Katanya, akan terkabulkan.
***
"Kakak Aira!"
Suara cempreng khas anak kecil memenuhi rungunya. Kelopak mata yang tadinya terpejam sempurna harus terbuka demi melihat siapa yang datang. Kepalanya sedikit bergerak untuk menghadap pintu, tak lama kenop diputar lalu menampilkan perawakan gadis manis berusia 7 tahun, Shania, putri bungsu tetangga depan.
"Aku punya sesuatu buat kakak," katanya sambil berupaya menaikkan paperbag besar yang ia bawa sendiri ke atas ranjang Aira.
Meskipun kepalanya pusing, gadis itu mengubah posisi menjadi duduk. Dia memperhatikan Shania berceloteh tentang harinya. Mulai dari membantu ibunya, ikut kakak perempuannya ke pasar, memberi makan dua kucing kesayangannya, dan terakhir pergi ke taman untuk mencari jajanan kesukaan Aira.
Perempuan pucat itu nggak keberatan dengan Shania yang cerewet. Dia justru senang, seenggaknya ada orang lain yang mau menghiburnya dengan suka rela selain mama.
"Oh iya, di sini juga ada buku sama aplop," ujar Shania seraya menunjuk-nunjuk paperbag.
Aira menelengkan kepala, "Aplop? Amplop maksudnya?" Lalu dia terkekeh kecil dan mengusap puncak kepala si gadis kecil.
"Iya, itu. Tadi, pas di taman ada orang yang titip itu, katanya buat Kak Aira."
"Siapa?"
Shania melipat bibirnya dan jarinya mengetuk-ngetuk pelipis menandakan ia sedang berpikir keras. Kemudian, sepasang maniknya melirik lucu pada Aira. "Lupa siapa namanya. Ada El-nya, pokoknya."
Hanya dengan dua huruf itu, secercah harapannya berkembang. Nama laki-laki yang selama ia nantikan kehadirannya melayang-layang dalam kepalanya. Dengan nggak sabaran, dia mengeluarkan isi paperbag yang ia dapat. Benar saja, ada buku dan tumpukan amplop warna-warni di sana.
Senyumnya merekah. Hangat di pipinya semakin terasa ketika tangannya melepas ikatan pada amplop itu. Belum dua menit merasakan euforia, otaknya memproses sesuatu. "Kamu bukan mau ngerjain kakak, kan?"
Wajah Shania berubah bingung, bahkan gadis kecil itu mengerjap beberapa kali. "Kakak ngira aku bohong? Itu beneran dari orang di taman. Kalo masih nggak percaya, tanya Kak Ami."
"Iya, iya. Kakak percaya." Lalu ia membuka amplopnya satu persatu, dimulai dari amplop ungu bertuliskan angka 1.
Halo, Ai. Ini Elwafi Auriko. Udah dua bulan sejak kita pertama kali ketemu (dan mungkin yang terakhir kali). Aku nggak tau apakah kamu nunggu atau nggak, tapi maaf, ya. Padahal udah bilang kalau minggu depannya bakal datang lagi, tapi aku nggak datang. Sekali lagi, maaf.
Itu isi amplop pertama. Amplop kedua, ketiga, keempat, dan kelima tidak ada isinya. Benaran kosong sampai Aira nggak tau harus merespon bagaimana atas ke-enggakjelas-an Wafi. Barulah di amplop terakhir, ada surat yang coretannya lebih panjang.
Ai, sebenarnya aku nggak yakin kalau surat ini bakal sampai ke tangan kamu. Aku juga nggak yakin kamu bakal baca ini. Tapi, kalau kamu udah nerima amplop dan buku ini, aku udah berangkat ke Kanada. Jangan tanya buat apa, karena kamu pasti tau jawabannya.
Kalau kamu tanya kapan aku akan pulang, aku nggak tau jawabannya. Bisa aja papa nyuruh aku stay di sini lebih lama. Tapi Ai, Jangan khawatir. Aku bakal baik-baik aja.
Ai, aneh ya. Padahal kita cuma ketemu satu kali. Kita cuma stranger yang sama-sama patah in different ways. Tapi aku merasa, kita kayak teman lama yang baru dipertemukan setelah sekian lama berpisah. Rasanya ... kayak menemukan sesuatu yang memang benar-benar milik kita. Bahkan saat papa menyuruhku ke Kanada, rasanya jadi ... kayak nggak rela kalau aku harus meninggalkan rumah, karena kamu.
Oh iya, amplop sebelumnya emang sengaja kubuat kosong. Aku harap, kamu yang mengisi, yang membuat tulisan tentang apa yang ingin kamu sampaikan padaku. Kalau ada waktu luang, kamu boleh kirim lewat asisten pribadi papa yang sebelumnya udah kongkalingkong sama aku, tentunya tanpa sepengetahuan papa. Setiap Rabu di minggu ketiga, jam 9 sampai 10 pagi, dia bakal ada di tempat pertama kali aku dan kamu ketemu. Kamu nggak datang pun, dia bakal tetap datang di bulan berikutnya. Tenang, nggak usah merasa nggak enak. Dia dibayar.
Namanya Jonathan, Ai. Panggil Om Jo aja, nggak masalah. Kalo udah kehabisan amplop, boleh minta tolong dia, Ai.
Lalu, buat buku yang datang berbarengan amplop ini, baca aja Ai. Isinya nggak penting sih, cuma tentang keseharianku selama dua bulan ke belakang. Nggak full dua bulan, nggak kuat lah kalo tiap hari nulis kayak gitu, Ai. Kalo kamu mau nulis di situ, boleh banget. Kalo bukunya habis, juga boleh minta tolong ke Om Jo.
Terakhir, be happy, Ai. Jangan sedih, waktu itu aku kan udah bilang. Ayo, Ai, sedihnya secukupnya aja.
"Eh, Kak Aira kenapa nangis?" Tiba-tiba Shania panik ketika setetes air mata bergulir melewati pipi Aira dengan cepat. Di tengah kepanikannya, dia berlari ke luar kamar sambil memanggil mamanya Aira dengan lantang.
Sedangkan Aira, tangisnya semakin deras. Benar kata laki-laki itu. Padahal, ia dan Wafi adalah stranger yang sama-sama patah dengan cara yang berbeda. Ia dan Wafi adalah stranger yang saling tahu rahasia masing-masing. Namun, kenyataan itu tidak bisa membuatnya mengelak akan rasa kehilangan. Tiga kali, Aira dibiarkan merasa kehilangan.
"Aira Sayang, kamu kenapa? Kepalanya sakit lagi?" Mama datang tergopoh-gopoh, bahkan remote control televisi masih ada di genggaman tangan kanannya. Air mukanya khawatir melihat putri semata wayangnya menangis.
"Mama ...," lirihnya seraya menggenggam lengan mama dengan erat.
"Iya, Sayang? Ayo bilang sama mama, mana yang sakit?"
Aira menggeleng pelan. Kepalanya menumpu pada bahu sang mama, kemudian dia berucap pelan, "Wafi datang, Ma."
Mama pikir, Aira habis bermimpi. Jadi, wanita paruh baya itu hanya mengusap punggung putrinya dengan penuh kasih sayang. Sebagai seorang ibu, hatinya turut merasakan sakit ketika putrinya menangis tersedu seperti ini. Dia bahkan nggak menyangka bahwa satu pertemuan Aira dengan laki-laki muda itu memberikan pengaruh besar pada putrinya.
"Permisi, ada Shania?" Seseorang tiba-tiba berteriak dengan nada penuh kekhawatiran. Mama yang awalnya memeluk tubuh Aira langsung menatap Shania.
"Kayaknya suara mama kamu, Shan," katanya sembari beranjak meninggalkan kamar sang putri. Meskipun dibilang begitu, Shania geming memperhatikan Aira yang masih sesenggukan.
Aira tidak mempunyai cukup kekuatan hanya untuk tersenyum tipis kepada Shania yang tiba-tiba memeluk kakinya dan berkata, "Kakak jangan sedih. Aku jadi ikut sedih, tau."
Benar kata Wafi dalam surat itu. Aira dan laki-laki itu aneh sekali. Baru pertama kali bertemu, tapi ketika dihadapkan dengan hal seperti ini, hatinya sakit sekali.
"Shania, ikut mama, ya?" Shania melepaskan pelukannya ketika wanita berjilbab menginjakkan kaki di kamar Aira. Wanita yang tidak lain dan tidak bukan adalah ibu dari Shania langsung meraih tangan putrinya.
Shania menurut tanpa bertanya apa-apa, meninggalkan Aira dengan raut sedihnya. Lalu, mama Shania berpamitan pada mama dengan buru-buru. "Makasih, Far. Tadinya Shania mau kutitipkan di sini, tapi Aira-nya lagi sakit."
"Emangnya mbak mau ke mana?"
Setetes air mata turun membasahi pipinya. Langkahnya berhenti di depan kamar Aira. "Pesawat kakak laki-lakiku jatuh, Far."
Mama menutup mulut tak percaya, kemudian ia beralih untuk mengusap pundak mamanya Shania dan melontarkan kalimat menenangkan. Sedangkan Aira, ia mendadak kaku dan air matanya menetes mendengar suara mama Shania. Dia nggak mau berpikir negatif dahulu. Dengan segala upaya, gadis itu menyusul mama. "Tante, bukan pesawat tujuan Kanada, kan?"
Wanita yang mendapat pertanyaan itu menatap Aira. "Pesawatnya tujuan Kanada, Aira."
"Wafi ...," gumam Aira dengan tangan memegangi kepalanya yang bertambah sakit. "Tante, aku mau ikut. Izinin aku ikut, aku mohon."
Mendengar Aira berucap demikian, mama otomatis mendelik nggak setuju. "Kamu sakit, Aira. Lagian, ngapain kamu ke sana?"
"Wafi, Ma. Wafi juga ke Kanada hari ini. Aku ... aku dapat surat dari dia, Ma." Pertahanannya runtuh ketika mengatakan kalimat itu. Dia menahan lengan mama, menangis di sana dan memohon agar diizinkan ikut.
"Ya udah, tapi sama mama."
***
Aira seperti orang linglung. Tubuhnya yang lemah dibawa paksa menerobos orang-orang yang kemungkinan keluarga dari penumpang pesawat lainnya. Kepalanya bergerak kesana kemari demi menemukan tempat untuk menggali info lebih lanjut tentang jatuhnya pesawat tujuan Kanada.
Dia nggak lagi peduli dengan sakit kepala yang menyerang. Mama yang setia menggenggam tangannya dari belakang pun, nggak ia pedulikan. Aira sakit, tapi hatinya lebih sakit mendengar ini. Kalau bisa, saat ini ia akan mengejar Wafi ke manapun laki-laki itu pergi. Kalau bisa, ia akan memeluk laki-laki itu dan menahannya supaya nggak pergi. Kalau bisa, ia akan berucap bahwa satu pertemuan mereka waktu itu memberikan pengaruh besar untuknya. Satu pertemuan berarti yang membuatnya benar-benar merasakan jatuh cinta at the first sight.
"Ini semua gara-gara Papa. Andai Papa nggak pernah nyuruh Wafi ke Kanada, Wafi masih ada sama kita, Pa."
Dari kejauhan, sebuah keluarga tengah ribut. Nggak peduli bagaimana orang-orang menatap mereka. Orang yang baru saja melontarkan kata-kata pedas adalah Kak Ari, kakaknya Wafi. Di balik sifat dinginnya pada sang adik, dia terus-terusan membela dan mengupayakan papa agar nggak selalu memaksakan kehendak pada Wafi secara diam-diam. Namun, papa adalah papa, nggak peduli dibujuk oleh siapa, dia akan tetap pada pendiriannya.
"Lihat? Pesawat yang Wafi tumpangi jatuh. Kita sekarang nggak tau gimana keadaannya. Kita nggak tau apa yang Wafi rasakan. Dua bulan ini, aku terus bilang ke papa untuk memikirkan ulang, tapi apa? Papa tutup telinga. Apa sekarang Papa menyesal dengan keputusan sepihak Papa?"
Kak Ari marah sekali. Papa dan mama yang menunduk lesu, nggak membuatnya ragu untuk menumpahkan segala kekecewaannya. Dirinya juga merasa bersalah karena nggak bisa menahan papa berbuat seenaknya pada Wafi. Dirinya merasa salah karena nggak berhasil membawa Wafi keluar dari jurang tekanan papa. Dirinya salah karena membiarkan Wafi merasa sendirian dalam kesehariannya.
"Maaf karena mengganggu, apa kalian sedang membicarakan Elwafi Auriko?" Aira berhenti persis di depan Kak Ari. Tepat setelah berbicara, kesadaran Aira menghilang. Semuanya menjadi buram dan dengan tiba-tiba ia dihadapkan dengan seberkas cahaya putih yang menyilaukan mata. Lalu, cahaya itu berganti dengan wajah papa yang menenangkan.
"Aira, keinginanmu akan terkabul. Seneng, nggak?"
— Under The Rain, Ended.
🌼 Drama banget, gantung lagi, hehe. Sebenarnya takut publish Under The Rain dengan ending kayak gini, takut mengecewakan. Tapi ya ... gitulah, hehe. Oke, sampai ketemu di End To Start berikutnya!
🌼 Next: Regan and Natalia
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top