Under The Rain (2)

Dariku, untuk kita berdua.

***

Sehari setelah pertemuannya dengan Aira, papa pulang dari China dan langsung mengomeli Wafi. Pergi sendirian tanpa bodyguard, meninggalkan ponsel dan dompet, mengelabui mama dengan alasan ada urusan penting yang tidak bisa diwakilkan dengan Brian si pemilik cafe Forget Me Not, semuanya papa ungkit dalam satu tarikan nafas. Wafi jengah, dikekang sebegitu eratnya hingga rasanya ia sesak ingin mendobrak keluar. Menyedihkannya, kungkungan itu hanya berlaku untuknya. Nggak seperti kakak laki-lakinya yang bebas melakukan apa saja, Wafi justru seperti burung dalam sangkar emas.

Papa, mama, dan kak Ari. Dari sudut pandang Wafi, mereka nggak memikirkan perasaan Wafi dengan sebenar-benarnya. Semuanya mendukung tindakan spontan papa yang ingin memindahkan Wafi ke Kanada, rumah orang tuanya mama, dua bulan lagi. Wafi hanya nggak tau kalau mama dan kak Ari ingin ia tetap di sini, bersama sebagai keluarga yang utuh, tetapi sebagai orang yang nggak bisa membantah kepala keluarga, akhirnya mereka iya-iya saja terhadap keputusan itu.

Kata papa, alasan keputusan itu adalah supaya Wafi tidak lagi-lagi menentang papa dan belajar dengan benar di pendidikannya saat ini, tapi ia tidak merasa seperti itu. Secara tidak langsung, dia justru seperti anak yang dibuang karena orang tuanya terlalu muak dengan bantahan yang sering terucap dari bibirnya.

"Wafi, udah siap?"

Papa memasang sabuk pengamannya setelah duduk di kursi samping Pak Midi-sopir pribadi keluarganya. Pria 47 tahun itu menatap putra bungsunya dengan senyum tipis sebelum memerintahkan Pak Midi melajukan kereta besi kebanggaannya.

Di samping Wafi, sudah ada mama yang sedari tadi menggenggam tangannya. Dari caranya mengelus punggung tangan si bungsu lalu membawanya dalam kehangatan yang jarang Wafi dapatkan, bisa diterka jika wanita itu sedikit tidak rela dengan keberangkatan putranya.

Ada rasa haru ketika Wafi mengangkat kepala dan bertatap wajah dengan mama. Wajah yang jarang ditatapnya sedekat ini, kini harus dilihatnya dengan seksama. Dengan begitu saja, segala memori tentang mama tiba-tiba terlintas. Memori yang sebenarnya hanya ada satu di antara seribu memori dengan bibi dan paman pengasuhnya. Bagaimana mama menyambut kedatangannya di depan pintu mobil ketika ia duduk di bangku Taman Kanak-kanak. Bagaimana mama mulai sibuk setelah ia menginjak sekolah dasar. Bagaimana mama tidak punya waktu untuk sekadar menemaninya belajar, dan bagaimana mama selalu tidak sempat melemparkan pertanyaan 'bagaimana sekolah?' padanya.

Kenangan yang seharusnya dimiliki setiap anak, Wafi tidak mendapatkannya. Meski begitu, Wafi sayang mama. Tanpa mama yang memperjuangkan kehidupan untuknya, ia tidak akan pernah melihat dunia. Bagaimana pun sikap mama, Wafi tidak bisa membencinya.

"Maafin mama, ya?"

"Ma, aku cuma ke rumah Nenek, loh," kata Wafi dengan kekehan di akhir kalimatnya. Namun, tak lama kekehannya berganti dengan senyum tipis di bibirnya. Tangan kirinya yang digenggam mama sengaja dieratkan, seolah meminta waktu agar berjalan lebih lambat. Tangannya yang lain dibawa untuk menggenggam tangan mama, dielusnya perlahan dengan harapan mama sedikit lebih lega dari sebelumnya.

"Aku bakal baik-baik aja di sana, mama tenang aja," Lalu, dia memajukan badan, bersiap untuk membisikkan sesuatu pada sang mama. "Lagian, kalo aku ke sana, artinya aku bebas mau ngapain aja, aku bebas dari ocehan papa," bisiknya sambil terkekeh kecil.

"Maafin mama," kata mama lagi sembari menarik Wafi supaya mendekat lalu memeluk si bungsu dengan erat. Pelukannya masih terasa seperti dulu, hangat dan menenangkan.

"Mama apaan, sih? Kayak aku mau pergi selamanya aja. Aku cuma ke rumah nenek, Ma." Meski berbicara begitu, tangannya melakukan hal yang sama seperti mama. Dia memeluk wanita itu dengan erat, tanpa tahu jika papa di kursi depan menonton keduanya dengan senyum tipis.

"Oh iya, aku boleh minta sesuatu?" Masih dalam dekapan mama yang sangat ia rindukan, Wafi berujar ragu. Sepasang maniknya bergerak untuk melirik mama, berharap kali ini mama mau mendengarkan permintaan kecilnya.

"Wafi mau minta apa? Sini bilang."

Senyum lebarnya terbit mendengar kalimat sang mama. Sebelum mengutarakan keinginannya, dilihatnya jam tangan mewah di tangan kiri. Sekali lagi, senyumnya mengembang. Waktunya memang nggak tepat, tetapi nggak ada salahnya jika ia berusaha. "Wafi mau ke taman deket perumahan Allamanda sebentar."

"Buat apa?" Pertanyaan bernada dingin itu memasuki gendang telinganya. Namun, kali ini Wafi nggak akan mengalah. Dia akan berusaha pergi ke taman itu, tempat bertemunya dengan Aira.

"Mau ketemu temen buat terakhir kalinya."

"Ya udah."

Wafi nggak bisa menyembunyikan bahagianya. Sepasang manik kecoklatan itu berbinar dan dengan nggak sabaran ia meminta Pak Midi putar balik karena jalan menuju perumahan Allamanda sedikit terlewat.

Sebelum benar-benar sampai, ia mengambil pena, tumpukan amplop yang telah ia siapkan dari rumah, dan notebook miliknya dari tas punggung hitam yang ada di sampingnya. Kemudian membukanya dan menuliskan barisan nomor yang mungkin dapat membuatnya terhubung dengan gadis itu kapan pun, nggak seperti kemarin ketika keduanya sama-sama kehilangan cara untuk saling mengabari, serta beberapa kalimat yang menurutnya perlu disampaikan.

Semoga bisa ketemu.

"Tuan, sudah sampai."

Tanpa mengucap sepatah kata, Wafi membuka pintu mobilnya. Kepalanya bergerak cepat demi menemukan keberadaan si gadis, yang sayangnya tidak ada tanda-tanda perempuan berambut sepinggang.

Ayo dong, meskipun masih jam sembilan, masa dia nggak mau ke luar?

Pertanyaan demi pertanyaan muncul di benaknya. Bahkan setelah sepuluh menitnya terbuang begitu saja untuk mengelilingi taman, kakinya melangkah semakin jauh dari tempat mobilnya diparkirkan.

Kayaknya emang nggak mungkin, deh. Kemungkinan gue ketemu dia aja nggak sampe 20 persen. Cuma satu persen, mungkin?

"Habis ini, aku mau ke rumah Kak Aira."

Samar-samar, ia mendengar nama Aira disebutkan oleh suara anak kecil. Tubuhnya berputar, mencari anak kecil di sekitarnya.

"Kak Aira lagi sakit, kemarin habis hujan-hujanan sama kamu lama banget."

Kali ini bukan suara anak kecil. Di atas ayunan yang tak jauh dari posisinya, ada dua orang yang membicarakan Aira. Dengan langkah yakin, Wafi berjalan mendekat.

"Ih, kok kakak jadinya nyalahin aku? Lihat nih, sekarang aja aku ke sini tuh mau beliin jajanan kesukaan Kak Aira."

"Nggak nyalahin, kamu tuh—"

"Permisi." Jantung Wafi berdetak lebih kencang. Gugup setengah mati hanya karena menemukan seseorang yang ada kemungkinan mengenal Aira.

Sepasang kakak beradik itu sama-sama menatap Wafi. Si kakak mengangguk lalu bertanya lebih lanjut apa kepentingannya. Wafi nggak banyak basa-basi, dia langsung pada poinnya, bertanya apakah mereka berdua kenal dengan Aira Vanyadhina.

"Kamu siapanya Aira, kalo boleh tau?" kata perempuan itu—yang menurut Wafi, usianya lebih muda dari dirinya—setelah Wafi berucap panjang lebar hanya untuk meyakinkannya bahwa ia bukan orang jahat.

"Kan saya sudah bilang, saya teman barunya." Wafi menghela napas sebelum melanjutkan ucapannya. "Kalau saya orang jahat, nggak mungkin saya terang-terangan tanya tentang Aira ke orang yang bahkan nggak saya kenal."

Wafi hampir emosi, perempuan di hadapannya ini bebal banget kayak papa. Ponsel di sakunya sampai berdering tanda sebuah panggilan masuk, yang dapat dipastikan jika papa yang meneleponnya.

"Gini deh, pokoknya saya minta tolong banget. Berikan ini pada Aira Vanyadhina. Bilang saja dari Elwafi Auriko. Dia tahu saya," ucap Wafi dengan sungguh-sungguh seraya menyodorkan notebook dan beberapa amplop yang telah diikat di atasnya.

"Oke deh, Kak." Bukan si kakak yang menjawab melainkan si adik yang sedari tadi diam menyimak.

"Lebih pintar adiknya ternyata. Kalau begitu, saya tinggal, ya. Saya benar-benar memohon, sampaikan buku dan amplop ini padanya. Maaf, kamu harus bawa-bawa titipan saya tanpa paperbag, saya nggak sempat beli. Udah ya, saya lagi buru-buru. Saya percaya kamu orang baik."

Tepat setelah barang-barang yang ia harapkan sampai pada Aira itu berpindah tangan, ponselnya kembali berdering dengan papa sebagai pemanggil. Demi menjaga perdamaian dengan papa sebelum keberangkatannya, ia menggeser tombol hijau lalu didekatkannya pada telinga. Wafi sudah siap melemparkan kata maaf dan mendengarkan ceramah dadakan papa.

"Maaf, Pa. Aku kesasar tadi. Ini aku lagi jalan ke mobil."

"Iya, nggak pa-pa. Papa cuma khawatir kamu dibawa orang nggak dikenal."

Jelas seorang Wafi terkejut. Saking tidak percayanya dengan apa yang baru saja ia dengar, Wafi menghentikan langkah dan mengecek nama pemanggilnya. Benaran Papa, ternyata.

"Wafi? Masih di situ?"

"Ah iya, Pa. Papa nggak usah khawatir, aku udah 23 tahun, nggak mungkin di culik." Seulas senyum terbit di bibirnya. Tadi mama, sekarang papa. Perlakuan kecil seperti ini, berefek besar baginya. Sepertinya, hari ini adalah hari paling bahagia untuk Wafi.

"Iya, kamu santai aja. Jadwal terbangnya masih satu setengah jam lagi, kok. Kita kan masih mau ketemu ayahnya papa. Untung tadi berangkat lebih awal."

🌼 Under The Rain sisa satu chapter, hehe. Semangat buat yang baca!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top