Under The Rain (1)

Rainy day.

***

Kalau bicara soal hujan, Aira selalu teringat pada Elwafi Auriko, laki-laki luar biasa yang pernah dia temui setelah papa. Laki-laki yang nggak pernah melunturkan senyum ketika bersama Aira.

Wafi memang bukan penikmat hujan, bukan juga pembenci hujan. Wafi cuma laki-laki pemilik mimpi paling indah dan diutarakan pada Aira pada hari di mana langit sedang menurunkan air. Di bawah derasnya hujan, Aira dan Wafi saling mengungkap kata. Wafi yang menginginkan kebebasan dan Aira yang mendambakan papa.

Padahal, saat itu mereka hanyalah dua manusia yang tidak sengaja dipertemukan. Namun, keduanya saling meruntuhkan batasan yang selama ini mereka jaga di depan orang-orang. Seperti teman yang telah lama kenal, dua anak manusia tersebut saling menumpahkan keluh kesah, benar-benar tidak peduli dengan status keduanya sebagai stranger bagi masing-masingnya.

Satu hal yang Aira nggak tahu, bahwa pertemuan itu adalah satu dari banyaknya rancangan Tuhan yang akan menguji hatinya. Wafi pergi dan jejaknya nggak bisa dia ditemukan. Padahal Aira mendengar dengan jelas ketika Wafi berkata akan kembali ke tempat itu minggu depan pada hari dan jam yang sama.

Kata mama, pertemuan itu hanya kebetulan. Aira yang sedang membutuhkan sosok papa untuk bercerita seperti ia kecil dulu, tidak sengaja menemukan sosok yang membuatnya nyaman. Seperti sedang bersama papa, tetapi perasaan hangat dengan papa tidak cukup menjelaskan bagaimana perasaan Aira terhadap hadirnya Wafi. Aira merasa jika Wafi adalah sosok yang Tuhan berikan sebagai tujuan hidupnya yang lain.

"Gini, Aira. Hidup itu sudah semestinya seimbang. Tuhan nggak jahat dengan mengambil papamu. Tuhan nggak membenci kamu dengan membuat kamu kehilangan teman yang dulunya sangat baik padamu. Tuhan tau, mana jalan yang terbaik untuk kamu. Tuhan mungkin sudah cukup melihat perjuangan yang papamu lakukan di dunia, jadi Tuhan nggak ingin membuat papamu kesulitan lagi. Tuhan mungkin ingin memberitahu padamu bagaimana dunia bekerja. Teman-teman yang pergi di saat kamu sedih, itu nggak bisa dikatakan sebagai teman. Kamu harusnya sadar, mereka nggak sepeduli itu sama kamu. Tuhan pengen menunjukkan itu padamu, menunjukkan kalau nggak semua yang kamu lihat adalah hal yang sebenarnya."

Itu adalah kata-kata yang terlontar dari mulut wafi ketika Aira menangisi kembali kejadian malang yang menimpanya. Dia masih ingat persis bagaimana senyum tipis menghias bibirnya. Bayangan bagaimana Wafi menatap jalanan yang basah karena hujan bahkan masih terekam di otaknya. Yang sewaktu-waktu dapat terputar berulang-ulang seperti kaset rusak.

"Wafi, ini udah dua bulan. Setiap hari di jam yang sama, aku selalu nyempatin diri buat ke sana. Tapi kamu tetap nggak ada, kamu nggak datang." Dari balik jendela kamarnya, Aira hanya memandangi kursi kayu yang basah sehabis ditetesi air hujan di taman kecil rumahnya. Air matanya menumpuk bahkan siap untuk tumpah. Aira nggak tau kalau ternyata efek Wafi dalam hidupnya akan sebegini parah.

Buku diary biru muda yang terbuka dalam pangkuannya adalah saksi kerinduan Aira terhadap Wafi selama ini. Pensil yang sudah sangat tumpul di tangan kanannya adalah pembicara di antara rintik hujan, yang membantu Aira mengutarakan segala kegundahannya.

Jam tiga sore, seharusnya aku ke sana. Tapi hari ini mama nggak kasih izin. Mama bilang, firasatnya nggak enak. Jadi, aku nggak boleh ke mana-mana.

Tangannya berhenti bergerak, digantikan dengan kepalanya yang terangkat dan kembali memandangi kursi basah di luar sana. Lalu dia mengubah arah tatap pada jalanan di balik pagar rumahnya. Di sana ada tiga anak kecil yang sedang bermain-main di bawah derasnya air hujan. Satu di antaranya terlihat sangat mirip dengan Wafi. Tanpa sadar, Aira menarik sudut bibirnya. Lalu ia meninggalkan buku dan pensilnya. Dengan benak yang terus membatin tanpa henti.

Papa, aku ingin bahagia. Aku ingin kembali bertemu dengan Elwafi Auriko. Papa, bisakah papa berbisik pada Tuhan agar membawa kembali Wafi ke hadapanku? Kalau tidak bisa, bisakah papa mengganti bisikannya agar Tuhan membiarkan aku yang menemukannya terlebih dulu?

"Aira, mau ke mana kok pake jas hujan?"

Mendengar suara mama, Aira lantas menoleh. Senyumnya terbit, lalu ia melangkah cepat ke arah wanita luar biasa yang pernah ada dalam hidupnya itu. Dengan tiba-tiba, pelukan hangat diterima sang mama. Aira memeluk erat tubuh mama sambil menggoyangkan ke kanan dari ke kiri perlahan.

"Aku mau ke luar sebentar, mau main sama anak-anak di depan rumah," katanya yang belum melepas pelukannya dari mama.

Mama melepas pelukannya, dia memegangi kedua bahu putrinya dan menatapnya khawatir. "Hujannya cukup deras, Sayang. Kalau kamu sakit, gimana?"

"Ma, aku udah dua puluh tiga tahun. Mama nggak usah khawatir, aku bisa jaga diri," ucapnya meyakinkan mama yang rautnya masih sama seperti tadi. Hanya dengan begitu, mama menghela napas kemudian mengangguk sebagai perizinan untuk putrinya.

"Makasih, Ma. Aku sayang mama." Setelah itu, Aira berlalu dengan berlari kecil. Sosoknya menghilang di balik pintu, menembus kekhawatiran mama lalu tertawa riang bersama anak-anak tadi. Walau pikirannya masih dipenuhi oleh Wafi, setidaknya dengan cara ini ia dapat tertawa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top