Bye My First (3)
Suara yang dirindukan.
***
[Brian Adjisaka]
Kurang dari satu menit sebelum tanggal di ponsel berganti menjadi 5 Februari 2025, lamunan gue tentang hari itu langsung berpencar, hanya karena gue melihat gadis manis yang rambutnya sedikit bergelombang mencapai pinggang, yang tatapannya murung ketika membuka pintu cafe. Matanya kelihatan sembab, gue tebak dia habis menangis. Setelah itu, gue mencoba untuk nggak peduli. Hal kayak begitu udah biasa di cafe ini.
Oh iya, khusus hari ini Cafe Forget Me Not ini buka 24 jam, nggak masalah mau ada atau nggak ada pelanggan. Alasannya, karena hari kelima di bulan Februari adalah hari di mana manusia bernama Brian Adjisaka dilahirkan. Hari di mana gue mengenang lebih dalam sisa-sisa kenangan mama di sini—walaupun gue nggak pernah berinteraksi langsung sama mama. Hari di mana gue melangitkan harapan: Semoga mama nggak merasa sia-sia karena telah merelakan nyawa untuk menyelamatkan gue.
Yah, bukannya gue berdoa demikian cuma di hari ulang tahun, tapi ketika hari ini datang, gue sangat, sangat, dan sangat berharap mama bahagia melihat gue semakin tumbuh dengan baik.
"Kak, ada Americano?" Tepat ketika ponsel gue berdering, menandakan hari telah berganti, dia berucap. Gue jadi melewatkan waktu paling krusial dalam hidup gue gara-gara kedatangan perempuan itu yang benar-benar cuma beberapa detik sebelum jam 12 tepat.
But, it's okay, gue harus profesional. Gue mendongak, menatap tepat pada manik jernihnya. Entah kesaktian apa yang dia punya, gue nggak bisa memalingkan wajah. Gue kayak kutub magnet yang ketemu sama kutub lainnya. Dia berhasil menarik gue buat menjelajah lebih dalam makna tersirat dari sorot matanya.
Gue nggak punya kekuatan supranatural, gue cuma pandai dalam membaca ekspresi seseorang dari matanya. Dan di mata gadis itu, ada sesuatu yang nggak bisa gue jelasin. Semacam kelegaan, kesedihan, dan keraguan? Kurang lebihnya kayak begitu. Semuanya bercampur, sampai-sampai gue ikutan bingung dan mau nggak mau, satu pertanyaan muncul di otak gue, "Dia siapa?"
Seharusnya pertanyaan 'dia kenapa?' yang keluar, tapi apa pun alasannya, gue merasa nggak perlu tahu. Gue cuma pengin tau dia siapa. Soalnya, dia mirip Raina ketika pertama kali ketemu sama gue. Tatapan itu mirip banget sama tatapan Raina dulu.
"Kak, melamun, ya?"
Dia melambaikan tangan tepat di depan wajah gue, yang otomatis kesadaran gue langsung menyerang. Gue mau merutuk diri dengan memukul kepala, tapi diurungkan ketika sadar kalau ada pelanggan di depan gue.
"Oh, maaf. Tadi mbaknya mau pesan apa?"
"Americano, ada? Pakai enam—"
Entah mendapat dorongan dari mana, gue malah memotong ucapannya. Rasa-rasanya gue tau kalau dia mau minum Americano yang kayak punya Mas Regan, pahit bener. "Nggak coklat hangat aja, mbak? Udah tengah malam gini, udaranya dingin pula."
Sebenarnya, agak sangsi memanggil dia dengan sebutan 'mbak'. Karena mau dilihat dari sisi mana pun, dia kelihatan lebih muda dari gue yang usianya udah seperempat abad—sejak beberapa menit yang lalu.
Mengingat hal itu lagi, membuat gue kesal. Emang sih, tiap tahunnya gue nggak ada acara tiup lilin. Tapi seenggaknya gue harus make a wish. Untuk mama yang harus kehilangan nyawa demi mengizinkan gue melihat dunia. Untuk papa yang nggak pernah gue lihat tampangnya secara langsung. Untuk ketiga kakak gue, yang gue pastikan lagi kesel karena nggak tau tentang keberadaan gue tiga tahun terakhir. Serta untuk adik-adik panti di bawah naungan yayasan yang didirikan tiga tahun lalu atas nama gue.
Pasti ada yang membuat kesimpulan 'Brian is a rich man' setelah tahu bahwa gue mempunyai sebuah yayasan. Haha. Gue nggak mau menyombongkan diri karena kekayaan bukan cuma soal uang. Punya tubuh yang sehat itu juga termasuk kekayaan. Bayangin deh, kalo ginjal, jantung, paru-paru, dan segala tetek bengeknya dijual. Kaya kan, lo? Haha, peace.
"Iya, deh. Aku pesan coklat hangat."
Dia mengiyakan saran gue. Lantas, pilihan itu membuat gue tersenyum bangga. Sebelum memulai pekerjaan, gue mempersilakan dia duduk dulu. Baru gue langsung sat-set-sat-set mengerjakan tugas alias make a hot chocolate for those girl.
Nggak butuh waktu lama, gue menghidangkan coklat hangat ke meja yang menempel pada dinding kaca yang menghadap jalanan. Gue juga memberikan churros beserta selai coklatnya, sebagai bonus supaya dia nggak sedih lagi. Tapi dipikir-pikir lagi, gue jadi orang sok tau banget, ya.
"Kakak lagi senggang? Aku boleh ngomong sesuatu?"
Baru berbalik dan ingin mengambil langkah, suara perempuan itu mengudara. Gue kembali menghadapnya. Nampan putih yang ada di tangan, gue taruh di meja lalu entah kemasukan setan apa, gue malah duduk di sampingnya.
"Butuh teman cerita?"
Dia menoleh dengan sarat keraguan yang tebal di matanya. "Emangnya nggak pa-pa? Aku ini orang asing, loh."
"Kamu yang panggil saya, kok kamu yang ragu?" Kayaknya gue mulai nggak waras.
"Lucu ya, sebelumnya aku nggak pernah ngobrol secara langsung sama kakak dan setiap ke sini selalu ada harapan buat bisa ngobrol. Giliran ada kesempatan ngobrol, aku malah nggak tau harus ngomongin apa."
Gue nggak tau harus merespon apa dan bagaimana. Dari kalimatnya barusan, itu artinya dia pernah ke sini dan melihat gue, atau mungkin dia udah jadi pelanggan tetap Forget Me Not. Sayangnya, gue nggak pernah mengingat kalau pernah ketemu dia.
"Kakak pasti nggak ingat aku, soalnya aku nggak pernah punya kesempatan buat order pas kakak yang jaga. Setiap datang ke sini, kalau nggak Mas Aksa, pasti Mas Narayaka. Sedangkan kakak, kalau nggak duduk di tempat ini, pasti lagi di dekat tangga sambil main hp."
Kepala gue manggut-manggut, terjawab sudah pertanyaan gue.
"Oh! Maaf, Kak!" Dia tiba-tiba menatap gue. Tatapannya begitu dalam, membuat gue harus menahan napas gara-gara kaget.
Masih dengan tatapannya yang diarahkan ke mata gue, dia berucap, "Kakak pasti berpikir kalau aku ini orang aneh, tapi aku bukan orang yang kayak gitu. Maaf, kalo kakak nggak nyaman."
Gue memalingkan wajah. Gue menatap lampu-lampu dipinggir jalan sambil tersenyum tipis. Gue kayaknya udah benar-benar gila.
"Santai, saya nggak masalah. Udah biasa," kata gue. Terdengar menyombongkan diri, tapi emang itu kenyataannya. Sejak memutuskan untuk jaga di sini, banyak siswi SMA dan mahasiswi tahun awal yang sering mampir gara-gara mau nyamperin gue—oke, level kepercayaan diri gue udah di atas rata-rata. Saking terbiasanya, gue nyaris hapal jam berapa mereka bakal datang.
"Kak, aku mau minta izin."
"Izin apa?" Gue tertawa kecil tanpa mengalihkan atensi dari jalanan yang lengang. Gue membenahi duduk menjadi menopang dagu dengan kedua tangan.
"Buat mendekati kakak."
Detik itu juga, gue tercekat. Rekaman percakapan Raina dan gue yang terakhir kali terputar di otak gue. Suara manis yang sangat gue rindukan kembali terngiang di telinga.
"Bri, ayo janji sama aku."
"Janji apa?"
"Janji kalau kamu akan bahagia walaupun tanpa aku."
"Iya, aku janji, Na."
"Aku yakin, suatu saat kamu akan menemukan wanita yang lebih baik dari aku, yang nggak bakal ninggalin kamu kayak aku."
Dari banyaknya perempuan yang mencoba mendekati, baru kali ini gue merasakan hal yang berbeda. Sulit buat menjelaskannya. Yang jelas, gue merasa dunia gue yang flat sejak kepindahan Raina, bakal berubah 180 derajat. Mungkin dunia gue bakal jadi bundar dengan banyak jurang dan pegunungan, naik turun kalau mau sampai di tujuannya.
— The End
🌼 Cerita Brian cukup sampai di sini. Ayo kita ketemu lagi di part End To Start selanjutnya! Di part depan, ada Wafi dan Aira! ^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top