Bye My First (1)
Raina, maaf dan sampai jumpa lagi.
***
[Brian Adjisaka]
Sepuluh menit berlalu begitu aja. Gue nggak memiliki niatan untuk beranjak, bahkan ketika matahari menggantung di ufuk barat ingin segera membenamkan diri. Di tepi pantai, gue duduk menghadap ke arah tempat terbenamnya raja siang. Dengan mata terpejam dan kedua tangan berada di samping tubuh agak ke belakang. Gue bangga karena gue selalu menemukan cara untuk menikmati pantai, entah pagi, siang, sore, atau malam.
"Bri, ayo sini!" teriak seseorang yang gue yakini adalah Raina. Kalau ingin tahu dia seperti apa, rambutnya sebahu dan tubuhnya lebih pendek dari gue. Kalau gue berdiri, puncak kepala gadis itu sampai di dagu. Kata orang, wajahnya baby face. Lalu, ada tahi lalat kecil di bawah sudut bibirnya.
Gue mengubah posisi, membelakangi matahari dan duduk bersila menghadapnya. Bukannya beranjak buat menghampiri, gue justru menyengir, menunjukkan gummy smile yang katanya selalu berhasil membuat jantung Raina berdetak nggak karuan. Dia alay emang, jangan ditiru.
"Brian, ayo sini!" ucap Raina lagi dengan senyum cerianya.
"You come here first." Gue merentangkan kedua tangan, memberi isyarat agar Raina mau masuk dalam dekapan.
Namun sayang, kepala gadis itu menggeleng cepat. Bukannya tersinggung, gue justru terkekeh. Gue menggerakkan rentangan tangannya sambil menganggukkan kepala, kembali meminta agar Raina menghampiri gue.
"Nggak mau, Brian. Kamu yang ke sini!"
Gue tetap di tempat, belum mau menyerah terhadap Raina. Namun, melihat bagaimana Raina tertawa di ujung sana, membuat gue berdiri tegak dengan tangan yang masih setia direntangkan, terus saja berharap Raina berlari lalu memeluk gue dengan erat.
"Oke-oke, gini aja." Raina berkacak pinggang. Gue bisa lihat kalau dia melipat bibir dan bola matanya melirik ke sekitar. "Kita saling maju satu langkah. Aku maju, kamu juga maju, gimana?"
Ini yang gue suka ketika sedang bersama Raina. Gue merasa seperti kembali kepada masa di mana gue tertawa lepas tanpa ada beban. Iya, masa kecil. Meskipun usia gue dan Raina sama-sama 20 tahun, gue nggak akan menyangkal jika ada yang mengatakan bahwa karakter Raina seperti anak-anak.
Kali ini giliran gue melipat bibir dan meletakkan jari di dagu. Kemudian diketuk-ketuk beberapa kali supaya kelihatan kalau gue sedang berpikir. Nggak butuh waktu lama, keputusan gue meluncur. "Oke, deh. Kamu dulu yang ambil langkah."
Senyum gadis itu mengembang. Dengan semangat empat lima, dia mengambil langkah super lebar yang bisa ia buat dengan kakinya. Tanpa ia duga sama sekali, gue udah merencanakan sesuatu. Gue mengambil langkah paling kecil, yang otomatis membuat Raina mendelik sebal.
"Curang! Apa-apaan tadi itu?"
Gue tertawa lepas. Rasanya puas banget setelah melihat wajah Raina yang ditekuk sebal. "Makanya, ke sini aja!" kata gue sambil kembali merentangkan kedua tangan.
Nggak butuh isyarat apa-apa lagi, Raina langsung berlari ke arah gue. Detik demi detik, jarak kita berdua semakin terkikis. Gue dengan tangan yang terentang lebar, 100% siap menyambut Raina ke dalam pelukan. Pelukan yang mungkin akan sangat gue rindukan.
"Aaaa, Brian!"
Seperti adegan dalam film romantis berlatar pantai, gue menangkap tubuh Raina, mengangkatnya tinggi-tinggi lalu berputar beberapa kali.
"Pusing, Brian!" keluhnya, tetapi bukan Brian Adjisaka namanya kalau nggak menjahili Raina. "Brian, stop it!" ucapnya lagi.
Pada akhirnya gue mengalah. Gue menurunkan Raina dengan perlahan sambil tertawa puas.
"Oh my God, my head was shaking." Raina memegangi kepalanya. Kemudian dia terduduk, tanpa peduli pakaian putihnya akan kotor karena pasir.
"Mau lagi?"
"Nggak mau!"
Gue berjongkok di depan Raina. Nggak ada tatapan jahil seperti tadi. Gue tersenyum tipis. "Raina," panggil gue pelan sambil mengusap pipi gadis itu.
Raina balik menatap. Binar maniknya nggak lagi cerah. Seiring tenggelamnya matahari di ufuk barat sana, sorot Raina meredup. Nggak ada Raina yang ceria, nggak ada Raina dengan senyum lebarnya, hanya ada Raina yang murung, seperti kali pertama gue melihatnya dulu.
Tangannya terangkat untuk menggenggam tangan gue yang mengelus pipinya. "Barusan kita buang-buang waktu, Bri. Sebentar lagi, papa pasti datang buat jemput aku," katanya.
"Sst, it's okay, Na." Gue tahu betul apa yang ada dalam pikiran gadis ini. Bibir gue tetap tersenyum, gue mau menunjukkan kalau gue baik-baik aja meskipun sebentar lagi Raina nggak akan ada di samping gue kayak sebelum-sebelumnya. "Kita baru aja senang karena dikasih liburan sama papa kamu. So, don't be sad, Na. Aku nggak bisa lihat kamu kayak gini."
"Bri, ayo janji sama aku."
"Janji apa?"
"Janji kalau kamu akan bahagia walaupun tanpa aku."
"Iya, aku janji, Na."
"Aku yakin, suatu saat kamu akan menemukan wanita yang lebih baik dari aku, yang nggak bakal ninggalin kamu kayak aku."
Sembari menyeka sisa-sisa air mata di pipi Raina, gue tertawa ringan. Di saat seperti ini, gue nggak mau bersedih. Gue harus terlihat kuat untuk Raina.
"Brian-"
"Raina!"
Suara yang amat gue kenal kini mengudara, memenuhi gendang telinga kita berdua. Berbeda dengan Raina yang air matanya siap tumpah kapan saja, gue justru menyengir lucu. Tangan yang awalnya menggenggam tangan mungil Raina, sekarang bergerak untuk mengelus puncak kepala gadis itu. Dengan ini, gue harap bisa menyalurkan kekuatan buat Raina.
"It's okay, Na." Tiga kata itu berhasil membuat air mata Raina tumpah. Rasanya hati gue kayak ditusuk ribuan paku karena berhasil menyentuh titik paling sensitif dalam diri Raina.
"Brian, aku nggak mau ikut papa. Aku nggak mau, Bri, aku nggak mau. Kalo aku ikut papa, kemungkinan buat ketemu kamu tuh, kecil banget!"
"Ra-"
"Raina, ayo berdiri!"
Belum selesai bicara, papanya Raina menarik lengan Raina. Gue otomatis melotot, bisa-bisanya seorang ayah menarik paksa putrinya. "Om, tolong jangan kasar sama Raina."
"Kamu diam. Urusan saya cuma sama putri saya, bukan sama kamu."
Setelah itu, tubuh Raina ditarik agar mengikuti pria dewasa itu. Raina berulang kali menengok ke belakang, ke arah gue. Sejujurnya, gue nggak terima ketika melihat Raina diperlakukan seperti itu oleh ayahnya sendiri. Tetapi detik itu juga, gue sadar, gue bukan siapa-siapa.
Dengan tatapan sendu, gue melambai. Bisa gue pastikan kalau senyum yang gue lemparkan kali ini sarat akan kesedihan. Melihat punggung kecil itu menjauh, rasanya gue ingin menariknya kembali ke dalam pelukan. Tapi sayang, gue nggak boleh melakukan itu.
Ah, belum apa-apa, gue udah rindu sama senyum Raina. Sayang sekali, gue nggak bisa mempertahankan senyum gadis itu sampai akhir. Gue malah membiarkan dia pergi dengan air mata.
"Raina, maaf dan sampai jumpa lagi," gumam gue dengan seulas senyum. "Dan untuk mama, maaf. Aku nggak mau orang yang kusayangi menderita karenaku. Aku melepaskan Raina agar dia nggak menderita kalau bareng aku, Ma."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top