8 - Silver Dagger of The Sacrifice

Jauh dari keramaian, seorang gadis dengan rambut sekelam malam duduk di atas batu karang. Apalah arti kemeriahan pesta besar di istana seminggu terakhir, atau kesenangan yang bergema di setiap sudut kota. Orang-orang itu seakan sedang merayakan kematian dirinya.

Malam-malam berlalu, terasa begitu dingin. Jika saja Sophia – yang anehnya masih setia melayani – tidak mendesak dia kembali ke kastel, seluruh waktunya akan dihabiskan di tempat itu. Lagi pula, siapa yang akan tahan melihat lelaki yang dicintainya bermesraan dengan perempuan lain.

Arielle memeluk kedua kakinya, membenamkan wajah di antara lutut. Bergeming di sini sesungguhnya membuat hati kian perih. Sebab masih terbayang begitu jelas kenangan saat pemuda itu menemukan dirinya hanyut terbawa ombak. Menyelimuti kemudian mendekap tubuhnya yang menggigil, berbisik menenangkan, "Kau akan aman di sini."

Gadis tersebut menghela napas berat. Lalu mengapa akhirnya harus seperti ini? Jika memang tak pernah mencintaiku, kenapa dia membiarkanku berharap?

Bagaimanalah cara meredakan kepedihan ini, jika dirinya tidak bisa menangis?

Di tengah kegalauannya, Arielle terlonjak dengan suara ombak aneh yang menabrak batu karang. Tanpa pikir panjang, ia berlari menuju sumber suara. Ketika ia menatap ke bawah, matanya sontak terbelalak. "Kakak?"

Sembari menyingkirkan rambut basah yang mengenai mata, Meriel menyeringai tipis. Ekornya tampak menyembul dari dalam air. Walau tempat ini jarang dikunjungi manusia, Arielle tetap panik. "Apa yang kau lakukan? Di sini berbahaya."

"Akan jauh lebih berbahaya kalau aku tidak datang," ungkap Meriel sembari menatap serius. "Kau sudah menghabiskan ramuan yang kuberikan?" Melihat sang adik yang menggeleng, perempuan itu membuang napas panjang. "Sudah kuduga. Di mana kalung itu sekarang?"

"Soal itu ...." Arielle memilih bungkam.

Kedua kalinya, Meriel membuang napas panjang. "Dengar, Arielle. Aku ingin memberitahu, pengaruh mantraku semakin melemah. Hanya bertahan sampai besok pagi. Jadi, segera selesaikan tugasmu," jelasnya, bersiap kembali ke lautan.

"Kakak," panggil Arielle lemah dengan tatapan sendu. "Dia akan segera menikah."

Meriel terbeliak tak percaya, gerakannya terhenti. "Apa yang kau bicarakan?!" tanyanya setengah berteriak.

Arielle menarik napas dalam-dalam. Namun, dadanya tetap terasa begitu sesak. "Gadis yang waktu itu .... Dia mengaku bahwa dialah yang menyelamatkan Erick."

Arielle terduduk seraya memeluk lutut. Kakinya sudah tidak kuat berdiri. "Aku seharusnya memberitahu Erick dari awal ... bahwa akulah yang menyelamatkannya. Tapi, kenapa ... kenapa aku mendadak bisu? Kenapa suaraku baru kembali setelah mereka bertunangan ..., setelah aku tidak bisa berbuat apa-apa?"

Seketika, Meriel tampak tergugu. Mengingat kalau ini semua disebabkan efek samping mantranya, hatinya bagaikan terkena duri. Bahkan walaupun sudah mati-matian melarang dan menjelaskan risiko kepada Arielle, ia tidak bisa terbebas dari perasaan bersalah.

"Arielle, kau tidak boleh mati," gumam perempuan itu penuh penekanan.

Arielle tetap bergeming di posisinya. Bahkan kepedulian yang ditunjukkan sang kakak tak mampu memulihkan hati yang telah remuk tak terbentuk. "Tapi bagaimana? Besok adalah hari pernikahannya. Apa yang bisa kuharapkan?!"

Setelah terdiam lama, memerhatikan sang adik, Meriel akhirnya berbicara. "Sebenarnya ... ada satu cara terakhir."

Arielle mengangkat kepala, secercah cahaya kembali hadir. Sebelum kemudian ia melihat sesuatu di tangan saudarinya. Ragu-ragu, dia menerima benda itu, membukanya perlahan. Sebuah belati berwarna keperakan, berkilau ditimpa cahaya bulan.

"Bunuh lelaki itu."

*

Begitu banyak hal yang tidak diketahui Arielle seminggu terakhir. Salah satunya, pembicaraan rahasia Erick dengan Raja.

"Ayah sudah dengar semuanya. Tentang kasus itu, Ayah kagum pada keseriusanmu. Tetapi, tidak peduli walau perempuan itu takut pada semua pria kecuali dirimu, kau tak perlu bertanggung jawab. Dia adalah saksi kunci, itu saja." Seorang pria paruh baya menautkan jemari. "Sebagai anggota keluarga kerajaan, kau berhak mendapatkan yang lebih baik daripada barang rusak."

Erick menekuk alis ke bawah. Meski merupakan seorang pangeran, dia tak bisa terang-terangan menunjukkan ketidaksukaan pada orang nomor satu di kerajaan. "Tetapi, Ayahanda, Vanessa adalah tunangan Raphael," ia hati-hati menyampaikan protes. "Lagi pula, aku belum mau menikah."

Sang raja berdiri kemudian berjalan menjauh. "Mereka sudah resmi membatalkan pertunangan."

Satu kalimat tersebut membuat Erick seketika terpaku. Aneh sekali. Mustahil Raphael yang cinta mati pada putri bangsawan itu setuju untuk melakukannya, batinnya.

Pria itu berhenti di depan jendela besar, membelakangi putranya. "Erick, kau bukan lagi anak-anak. Terlepas dari mau atau tidak, kau harus melakukannya." Ucapannya terdengar dingin, tanpa emosi. "Waktumu satu minggu untuk mempersiapkan diri."

Mengembuskan napas panjang, Erick bangkit dari duduknya. "Baiklah, Ayahanda."

*

Setelah pembicaraan itu, malam seakan tiba lebih awal.

Seorang gadis dengan mata kehijauan memberikan penghormatan. Ia tampil dengan gaun lebar berwarna peach yang membuatnya bersinar di bawah cahaya kandelir, berkilau di tengah aula. "Yang Mulia, sungguh sebuah kehormatan bisa berjumpa dengan Anda lagi."

"Vanessa Walther, senang bertemu kembali denganmu." Erick tersenyum. Pakaiannya berwarna gelap, kontras dengan lawan bicaranya. "Kau telah menyelamatkan hidupku. Aku berutang budi."

Ada perasaan aneh yang terasa mengganjal. Ia menghela napas dalam. Seharusnya, dia lebih siap daripada ini.

Tidak. Bagaimanapun, sandiwara ini tidak boleh gagal.

Pemuda itu mengulurkan tangan, berkata dengan lembut, "Malam ini, bersediakah kau berdansa denganku?"

Vanessa tersenyum, menyambut uluran tangan sang pangeran. "Tentu, saya bersedia."

Musik waltz dimainkan. Para tamu yang berasal dari kalangan bangsawan berkumpul di sekeliling mereka, menatap kagum. Saat itulah, di pertengahan dansa, Erick menyadari keberadaan Raphael di antara kerumunan undangan. Menatap tajam seolah-olah ingin menghabisinya sekarang juga.

Dia buru-buru mengembalikan fokus pada pasangan dansanya yang tampak semringah.

Sudah kuduga. Perempuan ini pasti telah mencampakkan Raphael.

*

26 Agustus 2022, 21:05 WITA.

Aku double update, Minna! ✨
Kaget, nggak? Seneng, nggak?

Aku sengaja publish ini barengan sama chapter 7. Selain karena chapternya emang akan pendek, aku nggak mau merusak mood kalian di hari Senin yang suram (?) dengan kelakuan Vanessa. 😊

Jadi, gimana menurut kalian tentang chapter ini? Aku pengen denger pendapat kalian.

Dan seperti biasa, jangan lupa vote dan comment, ya. ☺

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top