7 - Sickening Grin of The Lady from Nowhere

"Apa kau percaya reinkarnasi?"

Arielle tersentak. Pasalnya, Erick yang berdiri tepat di sebelah batu karang tempatnya duduk melontarkan pertanyaan tersebut setelah terdiam lama, menonton ombak berkejaran.

Itu pertanyaan yang sungguh pelik. Ia berpikir sejenak. Neneknya pernah menjelaskan, meski manusia berumur sangat pendek, jiwa mereka takkan lenyap begitu saja setelah kematian. Sebab itu, bangsanya sering menyebut penghuni daratan ini sebagai pemilik jiwa abadi.

Jadi, haruskah ia mengangguk?

"Memang tidak ada bukti kalau jiwa manusia bisa kembali setelah kematian." Erick menghela napas dalam-dalam. "Tetapi, jika kita bisa terlahir kembali, aku ingin hidup di dunia di mana kita tidak perlu saling membunuh, kemudian menelan kebohongan satu sama lain."

Gadis itu semakin bingung ingin menanggapi seperti apa, ia tersenyum simpul. Selama tiga minggu terakhir, tak terhitung berapa kali Erick mengungkapkan sesuatu yang sulit dipahami.

"Ah, apa yang kubicarakan." Melihat ekspresi Arielle, Erick ikut tersenyum. "Daripada itu, aku punya pertanyaan penting untukmu."

Spontan, Arielle memperbaiki posisi duduk. Jika ini penting, maka dia harus mendengar baik-baik. "Di dunia ini, apakah ada seseorang yang kaucintai? Seseorang yang membuatmu tak ragu berkorban."

Arielle semringah. Akhirnya, kesempatan untuk menyatakan perasaan tanpa perlu bersuara. Dengan begini, impiannya akan segera terwujud. Tanpa ragu, dia mengangguk. Menunjuk seseorang yang memenuhi kriteria.

Sang pangeran tampak terbelalak. Akan tetapi, beberapa saat kemudian dia kembali tertawa seperti yang biasa dilakukannya untuk meredakan kecanggungan. "Ah, bukan 'cinta' yang seperti itu."

Tak mengerti, Arielle memiringkan kepala. Apa yang salah? Dia rela meninggalkan keluarganya, lalu menahan sakit luar biasa demi sepasang kaki. Apa itu belum termasuk pengorbanan?

Benar juga. Mungkin itu karena dia belum memberikan hadiah apa pun.

Arielle meraba lehernya. Di sana masih ada 'kalung' pemberian Meriel. Dia segera melepas benda itu, menyerahkan kepada lelaki di sebelahnya. "Untukku?" Ia mengangguk mantap. "Terima kasih. Aku akan menjaganya."

Gadis itu menelan ludah. Dadanya menghangat oleh suara dan senyuman yang akan selalu dirindukan. Semoga saja, dengan begini impiannya akan terwujud.

"Arielle!"

Sekujur tubuhnya seketika membeku. Ia mengenali suara tersebut. Itu pasti saudari-saudarinya. Namun, dia tidak sedikit pun menoleh.

"Kalian mau apa setelah membohongiku?! 'Aku tidak bisa bersaing dengan makhluk daratan,' hah? Aku bisa mendapatkan seluruh perhatian Erick, sebelum gadis pirang itu," Arielle mengomel tanpa bisa didengar siapa pun.

Pada saat bersamaan, muncul rasa takut. Bagaimana jika mereka melapor pada Ayah?

Arielle lekas bangkit. "Ada apa?" Ia hanya menarik lengan pakaian pujaan hatinya sebagai respons sembari menunduk dalam-dalam.

Meski begitu, Erick dengan kepekaannya yang luar biasa lekas mengusap bahu Arielle. "Aku mengerti. Ayo kita pergi."

*

Keesokan paginya, setelah didandani Sophia, Arielle berdiri di depan jendela. Meski tak ada siapa pun di seberang sana, ia bisa membayangkan kehadiran Erick yang tengah berlatih.

Bicara soal lelaki itu, tadi malam dia tidak sempat mendengar ucapan selamat tidur yang membawanya ke dalam mimpi indah. Setelah mendapat panggilan dari Raja, Erick tidak pernah kembali. Gara-gara memikirkan itulah ia hampir tidak tidur.

Dia menguap lebar. "Huaaaah." Respons spontan itu seketika terhenti. Ia menyadari suatu kejanggalan. "Suaraku?"

Tenggorokannya sudah tidak sakit. Begitu pula dengan kakinya. Bahkan, saat melompat-lompat dan berseru kegirangan.

Di tengah euforia tersebut, pintu tiba-tiba terbuka. Arielle tanpa pikir panjang berlari menghampiri. Dia tahu siapa itu, dan ingin segera memamerkan apa yang terjadi pada tubuhnya. "Selamat pagi!" sapanya girang.

Tindakan itu membuat orang yang datang terpaku di depan pintu. "Y-ya ... selamat pagi." Erick membalas canggung, belum sembuh dari keterkejutan. "Kau sudah bisa bicara rupanya."

Dengan antusiasme tak terbendung, dia memperkenalkan diri. Hal yang ingin sekali dilakukannya sejak lama. "Aku Arielle. Mulai sekarang, panggil aku dengan nama itu."

"Arielle?" Erick mengangguk pelan. "Itu nama yang cantik," ungkapnya seraya berjalan masuk, lalu menutup pintu. "Nama keluargamu?"

Arielle terdiam. Bagaimana dia harus menjawab? Di tempat asalnya, orang-orang hanya memakai satu nama. Jika dia menjawab jujur, Erick pasti akan menganggapnya aneh. "Aku ... tidak terlalu mengingatnya."

Tetap saja, balasan itu membuat sang pujaan hati terheran. "Be-begitu, ya?"

Akan tetapi, tampaknya Erick tidak mau ambil pusing. Dia segera memperkenalkan diri, walau sebenarnya tidak terlalu diperlukan. "Seperti yang kau tau, namaku Erick. Sebenarnya, aku takkan marah jika kau memanggil dengan nama saja. Tetapi saat ada orang lain, tolong sebut gelar juga, ya. Supaya tidak menjadi masalah."

"Baiklah." Meski tak begitu mengerti, Arielle mengangguk patuh.

*

Lagi-lagi, ia ditinggal sendirian. Erick mengaku harus pergi membicarakan hal penting dengan ayahnya. Namun, Arielle tidak banyak protes, berjanji akan menunggu hingga urusan itu selesai.

Dia melenggang menuju taman—ia diizinkan selama bersikap anggun dan sopan. Langkahnya kemudian terhenti di depan bunga-bunga anyelir. Arielle menghirup udara dalam-dalam. Aroma bunga itu membuatnya tersipu. Teringat bagaimana Erick tersenyum hangat seraya menyisipkan setangkai di rambutnya.

"Saya sudah pernah mendengar cerita tentangmu," ujar seseorang bersamaan dengan suara langkah mendekat. Arielle menoleh.

Tampak perempuan dengan postur ideal mengenakan gaun berwarna cerah. Rambut pirangnya diatur sedemikian rupa, dihiasi beberapa aksesori. Arielle terbeliak. Tidak salah lagi. Itu adalah gadis yang secara kebetulan lewat di tepi pantai tempat dia meninggalkan Erick.

Mau apa dia di sini? Arielle ingin melontarkan banyak pertanyaan, tetapi kemudian teringat bahwa dia harus menjaga sikap.

Langkah perempuan itu terhenti dua meter dari Arielle. Lengkungan di bibirnya tampak aneh sebab matanya tidak ikut tersenyum. "Kau belum menemukan keluargamu, ya. Saya ikut bersedih. Semoga kau bisa segera kembali ke rumah."

Sembari terus bertanya-tanya apa yang diinginkan orang ini, Arielle menanggapi dengan anggukan sopan.

Namun, perlahan senyuman itu menjadi semakin tidak simetris. "Soalnya, kalau Pangeran terus bermain dengan seorang gadis kotor yang asal-usulnya tidak jelas, bagaimana perasaan istrinya nanti?" Siapa pun bisa mendengar kedengkian dalam nada bicaranya.

Tangan Arielle terkepal geram. Siapa pun orang ini, dia tak seharusnya menampakkan diri. "Kau sebenarnya siapa?" tanyanya hati-hati.

Sembari meletakkan telapak tangan di dada, gadis itu kembali menampakkan senyum anehnya. "Vanessa Walther, tunangan dari Pangeran Erick."

Bagai mendengar guntur, Arielle tersentak, refleks mundur selangkah. "Tunangan"? Apa yang dia bicarakan? Itu pasti bohong, kan? Jika itu benar, kenapa Erick tak pernah memberitahu?

Vanessa menutup mulut dengan telapak tangan, tertawa pelan. "Kau tak terima? Saya adalah orang yang menolong Pangeran Erick waktu itu. Bukankah wajar jika dia memilih menikahi penyelamat hidupnya?" ia berujar bangga.

Arielle semakin tak tahan. Perasaan aneh bergumul mempercepat detak jantungnya. "Tidak, akulah yang menyelamatkan Erick! Kau hanya kebetulan menemukannya di pinggir pantai." Dia menggigit bibir agar teriakan marahnya tetap tertahan. Hingga kemudian yang dapat terucap hanya kalimat, "Maaf, aku harus pergi."

Tidak ingin membuang banyak waktu, Arielle angkat kaki. Masa bodoh dengan kupu-kupu yang masih menari. Keindahan itu telah hancur berkat kehadiran Vanessa. Terlebih, ketika dia lagi-lagi bicara. "Pernikahan kami resmi dilaksanakan minggu depan, tidak akan dibatalkan."

Arielle bagai tersambar petir. Tubuhnya lemas, siap tumbang kapan saja.

Hidupnya akan segera berakhir. Bagaimana ini?

*

26 Agustus 2022, 21:00 WITA

Bagi yang ingin menghujat Vanessa, waktu dan tempat dipersilakan.

Cukup ironis. Karena sebenernya arti nama Vanessa itu sendiri adalah kupu-kupu. 🙂

Sejauh ini semua berjalan hampir sama seperti dongengnya.

Apakah Arielle akan berhasil menghindari bad end-nya? Atau pada akhirnya semua akan sama saja?

Menurut kalian gimana?

Seperti biasa, jangan lupa vote dan comment, ya. ☺

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top