6 - Soft Breeze of The Freedom
Malam semakin larut. Erick mengantarkan perempuan yang belum dia ketahui namanya kembali ke kamar. Sebelumnya, gadis itu memandang langit dengan mata berbinar indah seperti gemintang. Dia sampai harus mengajaknya masuk berkali-kali. Baru berhasil setelah ia berjanji akan membawanya ke suatu tempat esok.
Tak apalah. Ini demi penyelidikan, pikirnya.
“Segeralah tidur. Kau butuh banyak istirahat,” ujar Erick dari ambang pintu. Gadis itu, seperti biasanya, mengangguk sambil menyeringai polos. Dia lantas menempelkan telapak tangan di bibir, memberi kecupan jarak jauh.
Melihatnya, Erick tak bisa menahan senyum. “Selamat malam.”
Di luar kamar tersebut, suasana sangat berbeda. Lampu-lampu gas masih menyala di sepanjang koridor, tetapi tak mampu mengusir dingin. Hanya ada beberapa pelayan melintas. Salah satunya menghampiri sang pangeran, menyampaikan sesuatu.
“Aku sudah menunggu kalian sejak kemarin.” Kalimat itu menjadi sambutan bagi dua orang pria berseragam polisi yang sudah menunggu.
Seorang di antaranya tampak lebih tua, membungkuk penuh penyesalan. “Maaf, Yang Mulia. Tim kami sudah berusaha mencari informasi yang Anda minta, tetapi tidak berhasil.”
Mendesis kesal, Erick mengambil posisi di kursi kosong, sementara cangkir di hadapannya diisi teh beraroma krisan. Dia meminta kepolisian menyelidiki identitas gadis misterius tersebut, mencari keluarganya. Namun, hasil inilah yang didapatkan.
“Tentang saksi yang Anda maksud waktu itu, apakah sudah ada perkembangan?” Polisi yang satunya bertanya, setelah mengungkapkan permintaan maaf.
Erick mengembuskan napas panjang, menyesap teh. Dia tidak akan bisa berpikir jika belum mampu menenangkan diri. “Dia belum bisa memberi pernyataan. Lukanya belum benar-benar sembuh. Apalagi melihat wajah seram kalian, bisa-bisa dia pingsan seketika.”
Beberapa waktu sebelumnya, Erick sempat bertanya apakah dia benar-benar bisu sejak lahir. Gadis itu menggeleng. Dari sanalah ia menyimpulkan bahwa kebisuan tersebut berhubungan dengan trauma psikologisnya.
Sekilas, tampak ekspresi tak senang dari pria yang memberikan pertanyaan. “Yang Mulia, ini sudah memasuki minggu ketiga.”
“Jangan lupa, kalianlah yang berharap bukti akan muncul dengan sendirinya. Bersabarlah, ini harga setimpal atas kemalasan itu.” Mata sang putra mahkota memicing.
Polisi yang lebih muda itu tersentak. “Tapi, berbahaya membiarkannya di sini. Bagaimana jika dia adalah mata-mata?”
“Mengirim seseorang yang tidak kompeten? Aku tak menyangka musuh kita sebodoh itu.” Erick tertawa sinis, meletakkan cangkir. “Tidak tampil mencolok adalah esensi seorang mata-mata. Daripada harus menyamar menjadi perempuan cacat yang terluka, berbaur di antara para pelayan jauh lebih efektif.”
Sebelum rekannya kembali membalas, polisi yang lebih tua lekas mengambil alih. “Saya mengerti. Jika boleh, saya menyarankan agar dia diserahkan kepada petugas kesehatan profesional.”
“Tidak bisa.” Pria tersebut terheran. Ucapannya mendapat respons berupa gelengan tegas. “Pelaku yang sedang mengincarnya bisa menyamar menjadi siapa pun. Sedangkan aku sudah berjanji akan menjamin keamanannya. Lagi pula, ini adalah tanggung jawabku. Aku tidak akan mengingkari ucapanku sendiri.”
Erick melemparkan tatapan dingin. “Sekarang, lebih baik lakukan penyelidikan intensif. Walau pada akhirnya semua ini hanya rumor, setidaknya kita mendapat keterangan terkait para gadis yang menghilang. Negara benar-benar rugi jika terus memberi makan para pemalas seperti kalian.”
Kalimat terakhir benar-benar menusuk. Pria yang lebih muda mendelik tidak terima, tangannya mengepal geram.
“Baik. Kami permisi.” Sang senior lebih dahulu pamit, mengingatkan bawahannya lewat lirikan sekilas. Semua itu sudah cukup untuk menunjukkan bahwa pangeran tertua juga bisa berubah menjadi mengerikan jika sedang serius.
Tak lama selepas kepergian dua orang polisi tadi, Erick meneguk tehnya hingga tandas, kemudian beranjak meninggalkan pelayan yang lekas membereskan sisa-sisa pertemuan. Sebuah hari yang melelahkan lagi-lagi harus ditutup seperti ini. Rasanya ia ingin segera merebahkan tubuh, membuang pikiran-pikiran aneh agar segera terlelap.
Pintu kamar terkunci, lelaki itu perlahan melepas mantel yang tanpa sadar membuat hatinya semakin gerah. Ia menghirup dalam-dalam aroma kuat bunga anyelir putih di dalam vas kaca. Aroma yang untuk ke sekian kali membuat kekosongan dalam benak kian terasa.
“Ibunda … kenapa?”
Dia menggigit bibir bagian dalam. Bukan saatnya untuk menjadi melankolis. Besok pagi, ia harus menunaikan janji yang telanjur terlontar.
Gadis itu … tampak begitu menyukai bunga yang disisipkan di kepangan rambutnya saat pertama kali mengunjungi taman. Tidak, dia menyukai apa pun, termasuk bintang yang mereka amati bersama. Persis seperti anak-anak yang selalu antusias dengan hal baru. Sungguh perih rasanya membayangkan pengalaman seburuk apa yang harus dialami sosok sepolos itu.
Erick tersenyum hambar. Selain untuk memastikan keamanannya, ia tentu berharap bisa mendapatkan kepingan informasi demi perkembangan penyelidikan. Namun, sebaliknya, dialah yang tanpa sadar mengungkapkan lebih banyak rahasia, isi hatinya. Bercerita tentang semua perasaan berdosa, kecewa, … dan hampa.
Apa pun itu, dengan tampang tak berdosanya, gadis tersebut senantiasa mendengarkan sepenuh hati. Tidak sekalipun terlihat jemu, apalagi memintanya berhenti.
Sepasang manik biru yang selalu berbinar itu berbicara, mendesak Erick untuk berhenti sembunyi di balik kebohongan.
“Kau ini … sebenarnya siapa?”
*
Akhirnya, sesuai kesepakatan, Erick meminta kereta dari kerajaan mengantar pagi-pagi. Berkat pembelaannya, gadis itu sudah tak lagi dicurigai sebagai mata-mata musuh. Sehingga, dia menjadi lebih leluasa bergerak tanpa harus diawasi.
“Kau masih kuat?” Gadis yang kini mengenakan pakaian yang lebih santai – rekomendasi dari Erick – mengangguk antusias. Kereta kuda tidak bisa mengantar lebih jauh, medan yang harus dilalui tidak memungkinkan. Karenanya, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki.
Perlahan, jalan yang mereka lalui membawa mereka menuju daerah yang menghijau, jauh dari permukiman. Ilalang tumbuh setinggi lutut, capung beterbangan ke sana kemari. Cahaya matahari yang melewati lebatnya pepohonan membentuk garis-garis tipis. Gadis berambut hitam bergelombang yang semula terus bertanya mereka hendak ke mana kini menatap takjub.
Erick baru menghentikan langkah beberapa menit kemudian. “Inilah yang ingin kutunjukkan padamu.” Lelaki itu tersenyum lebar. Berdiri membelakangi aliran air tenang. Sungai dangkal yang tidak begitu lebar. Airnya jernih hingga ikan-ikan kecil yang tengah bermain terlihat jelas. “Karena medannya yang sulit, tempat ini jarang dikunjungi. Jadi, kelestariannya masih terjaga.”
Reaksi gadis itu? Tidak perlu ditanya. Mulutnya sudah terbuka sejak seperempat menit yang lalu.
Tanpa berpikir dua kali, ia melepas sepatu lalu berlari menuju sungai. Ujung roknya basah, tidak peduli. Beberapa saat setelah mengamati sekitar, dia kembali lagi. Menatap Erick dari dekat seolah mengajak ikut serta.
“Pergilah. Aku akan mengawasimu dari sini,” sang pangeran menjawab. Gadis itu menggeleng kuat-kuat, bersikeras. “Aku tidak bisa.” Seakan tidak mau mendengar protes, diraihnya pergelangan tangan Erick tanpa ragu.
Padahal selama ini, Erick mati-matian menjaga jarak agar tidak ada kontak fisik sembarangan di antara mereka. Namun, sebaliknya. Gadis ini tak sedikit pun tampak takut untuk menggenggam tangannya.
Pemuda itu spontan terkekeh mendapati dirinya terseret hingga tepi sungai. “Baiklah, baiklah.” Ia segera mengalah sebelum sepatu botnya kemasukan air.
Setelah meletakkan sepatu serta mantelnya di tempat aman, lelaki itu perlahan menjejakkan kaki di sungai yang hanya sebatas lutut. Erick terkesima. Airnya sejuk, tidak terlalu dingin. Sensasi yang belum pernah ia rasakan. Dia sudah beberapa kali mengunjungi tempat ini, tetapi tak pernah turun secara langsung karena khawatir dinilai tidak pantas.
Akan tetapi, lihatlah. Gadis itu sama sekali tidak peduli. Dia bahkan tersenyum lebar seraya menciduk air beserta seekor ikan kecil, seakan mencoba mengajaknya bicara. Lalu tertawa ketika makhuk kecil tersebut melompat dari kedua tangannya.
Dia benar-benar jiwa yang penuh kebebasan.
Ketika mulai tenggelam dalam lamunan, percikan air menyadarkannya. Erick refleks mundur, berlindung dengan kedua lengan ketika serangan kedua datang. Namun, gadis itu tidak berhenti. Dia kembali menyerang, memamerkan seringai seakan menantikan balasan.
Meski ragu, Erick memasukkan kedua tangan ke dalam air, melancarkan serbuan. Perempuan beriris biru itu segera memasang pertahanan, meski tak sepenuhnya berhasil. Senyum asimetris tercetak, Erick berusaha memberikan serangan yang lebih besar. Akan tetapi, lawannya melakukan lebih dulu hingga ia tak punya pilihan selain berlari menghindar.
Suara kecipak air sungai terdengar hingga kejauhan. Napas Erick terengah. Kelelahan karena terus berlari sambil tertawa. Tanpa sadar, mereka sudah melakukan itu cukup lama sampai rambut dan bagian atas kemejanya basah kuyup.
Erick melangkah ke pinggir sungai, sementara sang gadis sudah naik terlebih dahulu – membiarkan sepatunya tergeletak di atas rumput. Baru saja dia hendak mengambil mantel yang terlipat rapi, sepasang tangan ramping menggenggam kedua telapak tangannya.
Dengan wajah tak berdosa, sosok itu mengajak Erick berlari tanpa alas kaki. Rambut hitam bergelombangnya bergerak-gerak seirama dengan tariannya bersama para capung.
Lagi-lagi, lelaki itu tercengang oleh sensasi yang asing. Aneh. Kekuatan fisiknya bisa dikatakan cukup baik dalam latihan bertarung. Namun, di hadapan gadis yang mengajaknya berputar-putar di padang ilalang – yang tentu kekuatan tarikannya tidak seberapa – dia hanya ikut menari sambil tertawa.
Terlepas dari pertanyaan yang berkecamuk di benak Erick, gadis itu tersenyum semakin lebar. Kemudian karena kelelahan, tubuhnya rebah begitu saja di atas tumbuhan liar tersebut. Tak jauh berbeda, Erick ikut jatuh telentang tepat di sebelahnya.
“Aku belum pernah tertawa lepas sesering ini,” akunya dengan napas terengah-engah. Benar. Seakan-akan ia telah lupa dengan masalah yang telah lama membebani pikirannya. Semua karena senyum polos dari seseorang yang bahkan suaranya tak pernah dia dengar.
Perkataan Sophia kemarin sore tiba-tiba terngiang. “Akhir-akhir ini, Anda sepertinya lebih sering tersenyum.”
Benar, ia baru menyadarinya. Pengaruh dari gadis yang penuh kebebasan ini sungguh besar. Tak peduli siapa dirinya.
Diliriknya perempuan yang menampakkan senyum ceria seperti biasa, tengah menolehkan kepala ke arahnya. Dengan semua fitur spesial di wajahnya, siapa pun tak bisa menyangkal betapa cantiknya makhluk ini. Hanya saja, Erick menyadari satu hal.
Ia lebih dari itu.
*
23 Agustus 2022, 21:00 WITA.
Fakta yang mungkin kalian belum tau. Tertawa itu terbukti bisa membantu mengurangi stres.
Tapi tetep jangan berlebihan juga ketawanya.
Gimana menurut kalian soal chapter ini? Apakah aku sudah layak menyebut diri sebagai penulis romance fluffy? 🤭
Pas nulis ini, aku sambil dengerin musik karya Beethoven, Romance in F major. Kalian bisa sambil dengerin itu buat dapetin feel-nya.
Seperti biasa, jangan lupa vote dan comment, ya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top