5 - Strong Scent of The Red Carnation

"Saya belum pernah melihat gadis secantik dirimu," puji Sophia saat menyisir rambut panjang Arielle beberapa hari yang lalu.

Gadis itu hanya termenung. Selain karena tenggorokannya sakit setiap kali ingin bersuara, dia tahu pernyataan Sophia tidak berlaku tanpa mantra dari Meriel. Alih-alih terpukau, semua manusia akan menatap ngeri pada makhluk aneh sepertinya. Ia tidak akan sanggup, apalagi jika tatapan itu datang dari sang pujaan hati.

Arielle menggeleng cepat, mengusir jauh-jauh mimpi buruk itu.

Dikurung di dalam kamar perlahan membuatnya bosan. Tidak peduli walaupun sekarang ia bisa mengenakan satu set gaun berwarna lembut. Dia ingin segera keluar, melihat tempat-tempat indah. Sayang, Erick sibuk menghadiri berbagai kegiatan sosial di luar kastel, atau belajar di perpustakaan. Barulah saat sore tiba, laki-laki itu mengecek keadaannya.

Tidak tahu harus melakukan apa, Arielle menyingkap selimut. Turun dari dipan. Ia ingin mencoba kaki barunya setelah lama bergeming di atas tempat tidur. Satu langkah, tubuhnya langsung ambruk. Dia merintih, bagian pinggang ke bawah seperti teriris.

Jika ini efek samping dari mantra Meriel, tiada pilihan selain menerima rasa sakitnya, bukan? Mustahil ia terus-menerus bergeming, menunggu dilayani Sophia.

Arielle bangkit, mengambil langkah berikutnya. Meski jatuh berkali-kali, semua rasa sakit itu akhirnya terbayar saat ia mencapai jendela besar di sudut ruangan.

Laut tampak dengan jelas. Tidak, dia tidak peduli. Sosok di seberang jendela jauh lebih menarik untuk dipandangi.

Erick mengayunkan pedang seakan benar-benar menghadapi musuh negara, melancarkan setiap serangan dengan gagah dan anggun. Dia memang tampan sejak awal, tetapi entah mengapa tampak semakin memesona saat poninya disingkirkan. Meskipun keringat mulai membasahi pakaian.

Tanpa sadar, ujung bibir Arielle terangkat. Jangan tanya apa kabar jantungnya. Sudah berdebar-debar tidak terkendali. Saat tersadar dari lamunan, lelaki berambut cokelat itu sudah mengakhiri latihan, menyeka peluh di dahi. Lalu tanpa diduga menoleh ke arah jendela tempatnya berada, membalas senyuman.

Meski singkat, hal itu sukses membuat dunianya melambat. Atau bisa dikatakan, terhenti sempurna. Apa itu? Senyum sehangat matahari sore, masih sama dengan tiga tahun lalu, saat pertama kali melihat lelaki tersebut di pantai.

Erick memasukkan pedang ke dalam sarung, meninggalkan tempat latihan. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti. Dia melemparkan tatapan heran ke jendela itu lagi. Entah apa yang terlintas dalam otaknya. Sedetik berlalu, ia sudah melesat, menghilang dari pandangan.

Arielle mengembuskan napas, menopang dagu bersandarkan bingkai jendela. Baru saja tenggelam dalam kejenuhan, pintu kamar tiba-tiba terbuka lebar oleh seseorang yang memasang ekspresi khawatir sambil mengatur napas.

"Kau?" Erick lekas menghampiri, menahan Arielle yang hampir terhuyung. Rambutnya tampak berantakan, mungkin karena berlari dengan kecepatan yang sangat tinggi. "Jangan memaksakan diri. Istirahatlah sampai benar-benar pulih."

Sementara tubuhnya diangkat kembali ke tempat tidur, dia memberengut. Tidak mau melepaskan pegangan pada lengan baju Erick. Enggan berdiam seorang diri di sana, kecuali jika sang pujaan hati mau menemani.

Pemuda itu tertahan hingga lebih memilih duduk di sebelah Arielle. "Kau bosan di sini, ya?" Yang ditanyai begitu takjub menyadari betapa pekanya Erick, segera mengiyakan. "Tapi ... apa tidak masalah kalau harus berjalan sendiri?" Ia kembali mengangguk, kali ini lebih kuat.

"Baiklah. Tolong beritahu kalau kau tidak sanggup," laki-laki itu berujar setelah berpikir sejenak.

Senyum di wajah Arielle melebar, tak kunjung pudar. Setelah menunggu Erick berganti pakaian, dia bisa menikmati waktu berkeliling istana bersamanya.

Ia nyaris terjatuh beberapa kali, saat itu juga Erick menawarkan lengannya untuk dipegang. Tindakan tersebut tampak benar-benar tulus, tanpa didasari keinginan berbuat yang aneh-aneh. Seperti rasa sayang seorang kakak, mungkin.

Perhatian Arielle teralihkan pada sebuah lukisan di dinding. Tampak potret seorang wanita berusia dua puluhan tahun mengenakan tiara serta gaun berwarna senada. Wajahnya tampak teduh, senyum penuh rasa keibuan membuat siapa pun betah memandangi.

"Ini Ratu Anneliese. Permata di tiaranya indah sekali, ya. Tampak seperti warna matamu." Erick ikut berhenti. "Oh, ya. Apa menurutmu dia tampak familiar?"

Arielle memerhatikan sosok wanita itu lebih teliti. Ya, dia merasa pernah melihatnya di suatu tempat.

Erick tertawa kecil. "Semua orang berkata aku terlihat hampir sama persis seperti beliau."

Arielle tertegun. Benar, selain gender, dua orang ini hampir tidak memiliki perbedaan. Tatapan mata, serta aura yang dipancarkan. Benar-benar seperti hasil duplikat.

"Kau sepertinya lebih muda dariku, ya." Dia tersenyum lembut. "Dia benar-benar Ratu yang luar biasa. Semua orang mengaguminya. Sayang, dia harus pergi ... dua minggu pasca kelahiranku." Suaranya terdengar melemah. Dari jarak sedekat itu, dapat terdengar ia berucap lirih, "Ibunda."

Arielle terheran. Cepat sekali suasana berubah.

Akan tetapi, ketika menyadari perhatian tertuju padanya, Erick mencoba tersenyum. "Lupakan saja. Itu tidak penting," ia berujar santai.

Arielle semakin kebingungan. Bagaimana mungkin hal menyangkut perasaannya sendiri disebut "tidak penting"?

Samar-samar, suara langkah terdengar. Keduanya spontan menoleh. Suasana sekitar benar-benar sepi. Sehingga, mereka bisa dengan mudah bersitatap dengan seseorang di atas tangga. Tanpa merasa perlu memberi penghormatan atau meninggalkan sepatah kata, ia segera berlalu dengan wajah masam.

Dari caranya menatap, dia seakan-akan ingin menumpahkan darah sekarang juga.

Arielle ketakutan, menarik lengan baju lelaki di sebelahnya. "Itu Nyonya Rosemarie. Ibu dari saudara tiriku, Raphael. Sejak dulu, dia memang seperti itu." Gadis itu tersentak. Siapa sangka, kehidupan sempurna sang pangeran harus dibayangi sosok wanita menyeramkan seperti demikian.

"Kau ingin bertanya apakah dia membenciku? Entahlah," jawab Erick seakan bisa membaca pikiran. Arielle memiringkan kepala. Sungguh aneh. Lelaki itu mampu memahami apa yang dipikirkan seorang gadis bisu, tetapi tidak dengan wanita yang sudah dikenalnya selama bertahun-tahun.

Erick mengalihkan pandangan pada lukisan di dinding. "Baiklah." Lagi-lagi seakan ia bisa mendengar perkataan Arielle. "Keempat saudaraku adalah anak selir. Sebagai anak tertua dan satu-satunya dari sang ratu, sejak kecil aku menjadi kandidat pewaris takhta terkuat. Sekaligus penghalang bagi para ibu tiriku yang ingin putranya mendapatkan posisi itu."

Dia kembali mengembuskan napas panjang. "Padahal, aku rela melepaskan posisi ini. Daripada harus berkonflik dengan saudaraku sendiri." Menyadari ekspresi Arielle yang berubah suram, ia kembali menunjukkan senyumnya. "Ini persoalan rumit. Itulah mengapa aku enggan memberitahumu."

Arielle semakin terlarut dalam pikirannya. Sebelum ia sempat mengingat suara sang ibu, Erick harus dilibatkan dalam masalah orang dewasa. Namun, dia menyimpan semua sendiri agar orang yang mendengar tidak ikut bersedih. Sudah berapa lama ia melakukannya?

"Sudahlah, itu bukan apa-apa," Erick berucap lembut.

Seketika Arielle ingin membalas, Bagian mananya yang bukan apa-apa?!

Tempat yang mereka tuju selanjutnya adalah halaman belakang istana. Hamparan tanah luas ditumbuhi tumbuhan yang disusun sedemikian rupa. Tepat di tengah-tengah, terdapat kolam jernih dengan air mancur yang menjadi tempat minum bagi gerombolan burung merpati.

Mata Arielle berbinar, tanpa sadar melepaskan pegangan pada lengan Erick. Seakan sudah bisa melupakan sakit luar biasa di kakinya. Bagaimanapun, semua ini di luar ekspektasi. Hal yang ia tahu tentang "taman" adalah sekumpulan rumput yang bergerak gemulai. Bukan tumbuhan yang berdiri tegak dengan sesuatu berwarna-warni di atasnya.

Perlahan langkahnya membawa ia kepada rumpun bunga mawar yang tampak sangat terawat. Puluhan kuntum mulai bermekaran. Masih tampak sisa-sisa embun di antara kelopaknya. Mereka seakan membisiki Arielle untuk meraih dengan tangannya sendiri.

"Awas, ada durinya!" Teriakan Erick memecah kesunyian. Burung-burung merpati terkejut karenanya, beterbangan meninggalkan kolam. Namun, tidak berhasil menghentikan gerakan tangan Arielle yang terulur, kemudian spontan tertarik ketika berhasil menyentuh salah satu batang tanaman.

"Kau tidak apa-apa?" Erick meraih kedua tangan perempuan itu, memastikannya tidak terluka. Setelah itu menghela napas panjang. "Kau boleh berkeliling, melihat-lihat. Tapi, hati-hati. Jangan asal sentuh bunganya."

Arielle mengangguk patuh. Sedetik kemudian, ia sudah berlari ke sisi lain taman seperti anak kecil. Perih di kaki serta telapak tangan belum menghilang. Akan tetapi, pemandangan yang terhampar di depan mata membuatnya tak lagi terasa.

Kupu-kupu menari ceria di antara bunga berwarna-warni. Burung-burung merpati mengepakkan sayap putih bersih mereka kembali ke kolam. Kombinasi yang sungguh memikat, membuat gadis itu terpana. Dari dasar lautan, dia bahkan belum pernah membayangkan tempat seindah ini benar-benar ada di dunia.

Perhatiannya baru teralihkan ketika terdengar suara langkah mendekat. Erick menyusul, dengan beberapa tangkai bunga anyelir merah terang untuk disisipkan pada kepangan rambutnya.

"Cantik." Terdengar gumaman samar.

Arielle merasakan pipinya memanas. Sentuhan di wajahnya meninggalkan kesan yang takkan hilang dalam semalam. Sensasi yang tak jauh berbeda seperti saat labium mereka bertemu. Terlebih dari jarak yang kurang dari selangkah itu, bisa ia dengar lelaki pujaan hatinya bernapas teratur.

Tadi, Erick benar-benar memujiku, kan? Gumaman barusan bukan untuk bunga-bunga ini, kan? Arielle tertunduk menyembunyikan wajah yang tak sanggup menahan gelora aneh ini. Ketika padangan perlahan terangkat, didapatinya senyuman sang pangeran tengah mengembang. Membuat ia semakin tersipu.

Bahkan setelah semua masalah yang membebani, laki-laki itu masih tersenyum ... hanya untuknya. Harus Arielle akui. Tanpa hal itu, keindahan taman ini tak ada artinya.

Ah, andai waktu dapat berlanjut seperti ini saja. Di antara antara tarian anggun kupu-kupu, hanya mereka berdua.

*

20 Agustus 2022, 21:00 WITA.

Gara-gara Spy x Family, kata "anggun" tidak lagi terdengar sama. 🙃

Buat yang sebelumnya bertanya-tanya, "Kenapa Erick nggak nyerahin aja takhtanya ke Raphael supaya dia bisa bebas?" Ya karena saudaranya Erick bukan cuma Raphael.

Kalau Erick nyerahin posisinya ke Raphael, anak-anak yang lain (minus Princess Mariane) bakalan berantem lagi, dong.

Okey, jadi sekarang aku bakal mencoba ngejelasin secara detail kenapa suara Arielle bisa hilang.

Kalo kita kembali ke part 3, di sini kita akan menemukan salah satu dialog Meriel yang akan memaparkan semuanya.

Di sini, Meriel ngomong kalo mantranya bakal mengubah total beberapa bagian tubuh Arielle. Dia kemudian minta maaf karena nggak bisa meminimalisir efek sampingnya.

Penjelasan ini nyambung ke apa yang terjadi di sini. Di mana Arielle ngerasain sakit yang luar biasa setiap kali dia jalan. Karena seperti yang Meriel bilang tadi, perubahan total secara mendadak di beberapa bagian tubuhnya itu menimbulkan semacam "luka."

Mungkin kalian nggak sadar. Inilah juga yang jadi alasan kenapa suara Arielle bisa hilang.

Selain kaki, bagian lain yang bakal berubah total karena ramuan dari Meriel pastinya adalah sistem pernapasan. Dan di saluran pernapasan, ada organ yang namanya pita suara (yang ya kali kalian nggak tau fungsinya apa)

Nah, berhubung di saluran pernapasannya ada "luka", makanya Arielle juga kesakitan tiap kali mau ngomong.

Okey, sepertinya cukup untuk kali ini. Semoga kalian bisa menikmati chapter penuh gula ini.

Dan yang terpenting, jangan lupa vote dan comment ya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top