4 - Discordant Noise of The Past
“Luka di seluruh tubuhnya tidak mengkhawatirkan, Yang Mulia. Hanya saja, kondisinya tampak sedikit memburuk akibat suhu dingin. Butuh waktu sampai dia kembali pulih. Tetapi, saya akan berusaha,” seorang wanita berusia paruh baya mengakhiri laporannya.
Erick mengangguk paham. “Begitu rupanya.” Dalam hal ini, dia tak bisa memercayai siapa pun untuk merawat gadis yang ditemukan di tepi pantai. Namun, kesibukan sebagai seorang pangeran membuat ia kewalahan. Karenanya, lelaki tersebut segera memberi perintah kepada pelayan yang paling setia bernama Sophia.
“Dia tampak ketakutan saat melihat pelayan lain, terutama para pria. Tetapi dia selalu antusias setiap kali saya berbicara tentang Anda,” terang wanita itu lagi.
Dua kalimat tersebut seakan menjadi sengatan listrik. Padahal, kali ini ia berharap intuisinya salah. Erick menelan ludah yang terasa pahit. “Aku mengerti. Terima kasih, Sophia.”
Wanita itu kembali membayangkan keadaan terakhir si gadis. Dia tidak bisa bicara atau berjalan dengan baik. Luka goresan juga tampak jelas di mana-mana sebelum akhirnya tertutup gaun. Sungguh memprihatinkan. “Tega sekali orang yang berani merusak gadis sepolos itu.”
Tanpa ragu sedikitpun, Erick mengangguk setuju. “Karena itulah aku segera bertindak. Jika dibiarkan, mereka hanya akan membuat dunia ini semakin ternoda. Andai saja ... bisa kumusnahkan mereka semua,” ucapnya penuh penekanan.
“Kalau begitu, saya permisi.” Sophia membungkuk hormat, dibalas dengan anggukan pelan. Namun, sebelum ia berlalu, Erick beranjak pergi terlebih dahulu ke arah berlawanan.
“Kalau seseorang mencariku, sampaikan bahwa aku ada di perpustakaan.”
Saksi penting yang akan menjadi kunci bagi kasus hilangnya para gadis kalangan bawah. Sebatas itulah Erick memandang gadis yang tak sengaja ditemukannya di tepi pantai. Tidak lebih dan tidak kurang.
Luka-luka di tubuhnya, kesulitan saat berjalan serta berbicara, fakta bahwa dia ketakutan setiap kali melihat pelayan pria. Semua itu membawa Erick ke kesimpulan bahwa dia adalah korban penculikan yang berhasil kabur dari orang-orang yang diduga terlibat kegiatan prostitusi.
Masa depan kerajaan benar-benar ditentukan dari bagaimana ia melindungi gadis itu. Erick menghela napas. Pikiran-pikiran berat yang menghantui membuat ia tidak sadar bahwa pintu perpustakaan sudah ada di depannya.
Suara ketukan sepatu menggantung di langit-langit, menarik perhatian seseorang dengan sebuah buku tebal di atas pangkuan. Senyum cerah kembali menghiasi wajah Erick yang sejak pagi menampakkan kegundahan. Itu saudari bungsunya, sang peri penjaga perpustakaan. “Mariane, sudah kuduga kau ada di sini.”
Akan tetapi, bukannya menanggapi positif sapaan tersebut, perempuan itu buru-buru angkat kaki seraya mengempit sebuah buku tebal. Dengan raut wajah ketakutan, ia memberi penghormataan kecil sebelum berjalan melewati sang pangeran.
Erick mengernyit bingung. Biasanya Mariane akan menyambut dengan senyum lebar. Mengucapkan kalimat yang sering terngiang-ngiang dalam kepala, “Kakanda, aku sudah menunggumu sepanjang hari.” Sekarang gadis itu justru tampak gelisah saat mereka bertatapan.
Seakan belum cukup sampai di situ, matanya menangkap bayangan sehelai saputangan terlipat rapi di atas meja yang baru saja ditinggalkan.
Sejak kapan Mariane menjadi sering melupakan barang penting begini?
Tanpa membuang waktu, diraihnya saputangan milik Mariane. Dia lantas membuka lipatannya dengan penuh rasa penasaran. Sedetik kemudian, lelaki itu kehilangan kata-kata. Bros dari permata berwarna violet … dengan bercak darah yang sudah mengering. Setelah menghilang berhari-hari, benda itu mengonfirmasi bahwa usaha pembunuhan tersebut bukanlah halusinasi semata.
Sekembalinya dari Vesterhaven, tak terdengar seorang pun membicarakan noda bekas ceceran darah di kapal. Berarti, si pelaku membersihkan tempat itu dengan cukup teliti sebelum darahnya mengering.
Bros tersebut bisa jadi terlepas sesaat sebelum Erick terjatuh ke laut. Namun, benda itu ada di tangan Mariane. Maka, kemungkinan ada jarak waktu sempit antara aksi penikaman dengan pembersihan tempat kejadian. Sepertinya kesempatan kecil itu dimanfaatkan Mariane – yang sejak awal sudah berada di sekitar sana – untuk mengambil bros.
Dengan kata lain, bisa dipastikan Mariane menyaksikan semua dengan mata kepala sendiri.
Erick hendak mengamati bros tersebut dari dekat saat ia menemukan secarik kertas terselip. Pada kertas tersebut tertulis pesan dalam bahasa kuno. Tintanya belum benar-benar kering. Jika dilihat dari bentuk tiap hurufnya, bisa dipastikan jika Mariane yang menulisnya sendiri dengan sedikit tergesa-gesa.
“Selamatkan aku dari kakakku.”
Tidak banyak orang di zaman ini yang memahami bahasa tersebut. Mereka berdua adalah bagian dari segelintir orang itu. Karenanya, Mariane seakan sedang berusaha memberi pesan rahasia dengan cara yang hanya dipahami oleh sang putra mahkota.
“‘Dari kakakku,’ ya?” dia bergumam. Mariane memiliki dua orang kakak kandung. Namun, ia seketika teringat satu nama. Orang yang kemungkinan besar menjadi dalang dari kejadian di kapal, kemudian menempatkan Mariane di bawah ancaman.
“Jadi, itu benar-benar kau, Raphael?” Seakan berhadapan langsung dengan orang itu, Erick memicingkan mata. “Tak kusangka kau akan melakukannya sampai sejauh ini.”
*
“Aaaah!” Sebuah teriakan memenuhi ruangan, disusul suara pedang latihan terlempar ke lantai. Seorang anak laki-laki bernapas tersengal. Bertumpu pada lantai sementara ujung pedang yang lain tertuju ke arahnya, beserta sepasang mata milik lawan yang memicing tanpa belas kasihan.
Anak itu mengeraskan rahang, menepis kasar tangan yang terulur untuk membantunya berdiri. Untuk ke sekian kali, ia terpojok.
Sesi latihan berakhir tak lama kemudian. Setelah anak laki-laki itu berjalan keluar sembari membayangkan detik-detik kekalahannya, anak yang satu lagi juga lekas meninggalkan ruangan.
Koridor nyaris lengang. Hanya ada suara para pelayan yang berjalan ke sana kemari, juga … suara-suara sumbang yang terdengar dari kejauhan.
“Pangeran Raphael payah sekali.”
“Sampai kapan pun dia tidak akan pernah bisa menandingi Pangeran Erick, ya. Aku heran kenapa masih ada yang mendukungnya.”
“Yah, kelihatan sekali. Mana yang datang dari rahim wanita berkelas dengan perempuan yang tidak punya harga diri.”
Langkah anak itu seketika terhenti, genggaman pada gagang pedang semakin erat. Seakan dirinya adalah orang yang dimaksud dalam pembicaraan itu, kemarahan dengan cepat menyala. Dia membuang napas kasar. “Kalian bertiga, hentikan ucapan tak sopan itu!”
“Pangeran Erick?! S-sejak kapan Anda ….” Ketiga orang pelayan tersebut kaget menyaksikan anak laki-laki berumur sebelas tahun memasang ekspresi serius, melabrak mereka dari ujung koridor.
Tanpa rasa gentar sedikit pun melihat orang yang jauh lebih tua darinya, Erick mendekat. “Tidak seorang pun punya hak untuk meremehkan Raphael. Dia selalu berusaha keras, belajar dari kesalahan agar bisa berkembang. Lantas apa dasar kalian memberinya cap seburuk itu?”
Ketiga pelayan tersebut refleks mundur, gemetar seperti anak kucing. Bagaimana tidak? Mereka seakan telah mengundang kematian dengan cara terkonyol yang pernah ada, yaitu memicu kemarahan seseorang yang sangat dihormati di tempat ini.
Anak laki-laki itu merendahkan nada suara. “Sekarang, sebaiknya renungkan kembali. Siapa yang sebenarnya tidak punya harga diri?” Sorot matanya tajam, mengamati para pelayan yang lekas balik kanan setelah menyatakan perasaan bersalah mereka.
Erick menghela napas, berlalu dari sana. Semoga permintaan maaf mereka tidak dibuat-buat.
Baru beberapa meter ia berjalan, sosok yang tak asing muncul dari arah berlawanan. Anak laki-laki itu berhenti, menyapa ramah. Sayang, bukan respons positif yang didapatkan. “Tidak perlu membelaku sampai seperti itu.” Gumaman pelan terdengar saat sosok itu lewat. “Anak dari selir tidak perlu dilindungi. Itu juga … bukan tugas kamu sebagai putra mahkota.”
“Tapi–”
Raphael berhenti tepat tiga langkah di balik punggungnya. Suara embusan napas berat sayup-sayup membuat Erick terbungkam. “Dibandingkan kamu yang terlahir sempurna, aku memang payah.” Terdengar lirih, tetapi rasa cemburu yang mengalir melalui penekanan pada setiap kata sungguh kentara.
Erick terpegun. Ingin memprotes, tetapi Raphael sudah telanjur menjauh. Ternyata sangat mudah mengundang rasa perih. Hanya dengan menyadarkan dia bahwa semua orang melihat dirinya sebagai figur yang tak bercela. Itu saja. Tanpa peduli walau yang mereka lihat adalah kesempurnaan semu yang didapat setelah kebebasannya dikorbankan.
Anak laki-laki itu memegangi dada. Sesak.
“Tidak boleh, Yang Mulia.”
“Sangat tidak elegan.”
“Saya harap Anda tidak melakukannya lagi.”
“Jangan mengkhianati nama Anda sendiri.”
Suara-suara dari masa lalu perlahan memenuhi setiap sudut dalam kepalanya. Memuakkan. Mengapa sulit sekali mengusir keresahan itu dari benak?
“Seorang pemimpin yang ideal harus sempurna. Tidak seharusnya Anda gagal dalam hal sepele seperti ini.”
“Bahkan Sang Ratu tak akan pernah bersikap seperti itu. Beliau pasti kecewa.”
Erick menelan ludah. “Ibunda?” Seorang wanita dengan senyum terindah yang tidak pernah absen … akan kecewa? Lubuk hatinya seketika dipenuhi perasaan aneh yang tak ia pahami.
“Pada akhirnya aku harus menjadi penggantinya. Jadi, mengapa aku dilahirkan? Kalau memang sosok Ibunda yang mereka inginkan, mengapa bukan Ibunda saja yang hidup selamanya?”
*
17 Agustus 2022, 21:00 WITA.
Sedikit trivia.
Nama Erick sebenarnya punya arti "penguasa abadi."
Dari sini aja udah keliatan banget ya seberapa besar ekspektasi Raja ke anak pertamanya yang baru lahir :")
Iyap. Sejak dulu, dia udah diharapkan menjadi raja selanjutnya yang karismatik dan bisa mengembalikan kejayaan kerajaan mereka. Kebayang nggak tuh, bebannya seberat apa.
Ini alasan kenapa ada salah satu "suara" dari masa lalunya Erick ngomong, "Jangan mengkhianati nama Anda sendiri."
Kalimat ini muncul ketika Erick yang masih kecil ragu dengan posisinya sebagai pewaris takhta selanjutnya.
Okey, jangan lupa vote dan comment, ya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top