3 - Truth at The Bottom of The Ocean

"Sudah cukup! Kalian tidak mengerti!" Ia berbalik pergi tanpa membuang lebih banyak waktu.

Di belakangnya, lima orang perempuan menyusul, tetapi kalah cepat. "Arielle, tunggu!" salah satunya berteriak. Percuma, air laut seakan tak bisa menyampaikan gelombang suara mereka. Dengan cemas yang menumpuk, mereka memandangi sang adik tercinta yang semakin menjauh.

Salah seorang yang tertua mencoba menenangkan, merangkul keempat saudarinya. "Arielle bukan anak kecil lagi. Dia pasti akan segera mengerti."

Sayangnya, mereka tak tahu apa-apa.

Si adik bungsu bernama Arielle menceritakan semua dengan harapan akan mendapat simpati. Namun, tanpa memedulikan perasaan Arielle, kelima saudari itu menyuruhnya untuk tidak pergi ke permukaan lagi.

Bagaimana bisa saudari yang ia sayangi mengkhianatinya? Hati Arielle hancur, tentu saja. Kini dia benar-benar tak sudi melihat wajah kakak-kakaknya lagi.

Menyerah? Bagaimana mungkin? Setelah ia bisa sedekat itu, memeluknya, membelai wajahnya, mengecup keningnya. Lantas dia harus menyerah, membiarkan lelaki itu dimiliki oleh orang asing yang menemukannya di pantai, bermodalkan keberuntungan. Padahal ia telah memberikan darahnya, esensi dari hidupnya.

Arielle meringkuk di antara tumbuhan laut. Bangsanya terlahir dengan sebuah kutukan, mereka tak bisa menangis. Kutukan tersebutlah yang bertanggung jawab atas luka menyakitkan di hati, yang tak dapat disembuhkan oleh darah mereka.

Mereka hanya dapat menjerit sekuat-kuatnya ketika pilu datang. Namun, faktanya itu tidak mengurangi secuil pun rasa sakit. Sungguh tidak adil. Ditambah lagi, suara tersebut dapat mengundang badai yang kemudian mengacaukan kehidupan di atas permukaan.

Demi kehidupan yang lain, mereka lebih banyak memendam perih. Seakan-akan hal itu sudah menjadi kodratnya.

Cahaya lembut menerangi lautan dangkal. Arielle mendongak, menerawang apa kiranya yang ada di balik debur ombak. Meski demikian, benaknya tak bisa lepas begitu saja dari wajah sang pangeran. Apakah dia baik-baik saja di atas sana? Apakah dia bisa bertemu keluarganya? Apakah dia bahagia?

Jemarinya membelai tanaman yang tumbuh tepat di sebelahnya, menari-nari seirama aliran air. "Oh, Erick. Aku tahu, kau begitu sempurna. Tiada hal yang tak bisa kau lakukan. Tetapi jika sekarang kau ada di posisiku, kau akan berjuang untukku, bukan?"

"Sayangnya ..., aku tidak sesempurna dirimu." Arielle bernapas berat. Ia tak mengerti. Mengapa harus ada seseorang yang dilahirkan di atas dan di bawah? Mengapa harus ada seseorang yang terlahir dengan kaki dan yang tidak? 'Perbedaan membuat dunia lebih indah,' itu bohong. Kalau benar, mengapa hal tersebut malah membuat hatinya terkoyak?

Gadis itu menyentuh dadanya. "Apa hatiku tak akan pernah cukup pantas untuk mendambakan seorang sesempurna dirimu?" Memikirkannya saja sudah membuat sesuatu di dalam sana kian perih. "Dunia ini kejam sekali. Kau juga pasti berpikir begitu, kan?"

Meski tidak mau mengakui, perkataan saudarinya tidak salah. Tak peduli secantik apa wajahnya, mustahil dia bisa bersaing dengan seorang makhluk daratan. Arielle mengembuskan napas panjang untuk ke sekian kali. Andai saja ada mantra sihir yang bisa memberi kesempatan untuk menemui Erick sekali lagi, ia rela mengorbankan apa pun agar bisa menggunakannya.

Tunggu. Sihir?

Gadis itu sontak teringat. Rumor mengatakan bahwa di dasar laut tak terjamah, tinggal seorang wanita yang bisa melakukan apa pun dengan kekuatan magis. Dia akan mengabulkan permintaan orang yang datang, tentu dengan sejumlah imbalan. Mata Arielle berbinar. Berarti sang penyihir juga bisa mengubahnya menjadi manusia.

Nerida, si penyihir. Para penghuni laut sering membicarakannya. Konon, untuk mendatangi wanita itu, seseorang perlu melawan arus kuat di seberang ladang terumbu karang yang menghitam.

Tidak mudah melewati daerah tersebut. Beberapa kali, Arielle berniat menyerah. Namun, mengingat apa yang akan ia dapatkan, semangatnya kembali membara.

"Arielle?"

Gadis itu terheran. Setelah mengalahkan ragu untuk memasuki sebuah kastel menyeramkan minim pencahayaan, yang pertama kali terdengar adalah seseorang yang memanggil namanya. Dia bergeming, mengamati sosok dengan rambut hitam panjang dari belakang.

"Arielle, apa itu benar-benar kau?" Tidak terdengar licik seperti yang dibayangkan. Malah terdengar penuh kasih sayang.

Kerutan di kening Arielle semakin dalam. Apa benar dia Nerida, sang penyihir?

Sebelum sempat mengutarakan kebingungannya, wanita itu langsung memeluk erat. "Sudah lama aku menunggu. Akhirnya, kau datang," ungkapnya haru, membelai kepala gadis yang bersiap melontarkan ribuan pertanyaan.

"Anda ... bicara apa, Nyonya?" Arielle kaku bertanya.

Pelukan tersebut perlahan terlepas. Dengan raut kecewa, ia menjentikkan jari. Seketika, penampilannya berubah. "Aku Meriel, saudarimu." Wajah asli wanita itu tak jauh berbeda dari keempat kakaknya. Arielle terbelalak. Dengan sihir, meniru seseorang memang bukan perkara sulit, tetapi tidak dengan membuat kalung yang sama persis dengan milik keluarga kerajaan.

Meriel lekas menuntun tamunya ke tempat yang lebih nyaman. "Wajar kau tidak tahu. Waktu itu, kau baru lahir. Ayah mengusirku dari kastel. Lalu Nerida yang asli menyelamatkanku, mengangkatku sebagai muridnya," dengan wajah muram, ia menjelaskan. "Tetapi dia pergi beberapa waktu lalu. 'Ada misi penting yang harus kukerjakan,' katanya. Kemudian memintaku menggantikan perannya."

Arielle sontak terbungkam mendengarnya. "Tapi ... kenapa Ayah mengusirmu? Dan kenapa kau rela menjadi murid seorang penyihir jahat?"

"Kau bisa menyelamatkan nyawa seseorang dengan cara memberikan darahmu." Arielle tidak bisa merespons. Pipinya terasa panas, teringat apa yang ia lakukan pada Erick. Meriel tersenyum tipis, sesaat kemudian kembali murung. "Kita berbeda. Darahku adalah penawar untukku, racun bagi makhluk lain. Siapa pun yang menelannya akan mati seketika. Aku adalah ancaman bagi dunia ini."

Meriel menarik napas panjang. "Kemudian, tentang Nerida, aku berani bersumpah dia bukan penyihir jahat yang berencana menguasai dunia, seperti yang kau pikirkan. Dia hanyalah seorang genius yang tergila-gila pada ilmu pengetahuan dan eksperimen sihir. Tetapi, saat seseorang meminta bantuan, dia akan menjelaskan setiap risiko dan efek samping mantranya.

"Jika kau meminta bukti tambahan, Nerida memprediksi adanya bencana tak terhindarkan yang mengancam kehidupan kita dalam waktu kurang dari dua ratus tahun. Dia juga memaparkan padaku bukti-buktinya. Kau tahu? Dia hanya memberitahu orang-orang tertentu karena tidak mau membuat kepanikan."

"Ah, maaf." Wanita muda itu kaget. Menyadari bahwa cerita tersebut menguras semangat adiknya. "Tujuanmu pasti bukan untuk mendengar kisah lama itu, kan?"

Arielle mengangguk, menjawab begitu antusias, "Aku ingin menjadi manusia."

"Apa?!"

Sesuai tradisi, mereka yang telah berusia lima belas tahun diizinkan pergi permukaan. Maka tiga tahun lalu, segalanya berawal. Arielle yang sudah tidak bisa menahan diri berenang jauh hingga mendekati pesisir. Di tengah kesibukan orang-orang, dia melihat laki-laki itu.

Dilihat dari penampilan, dialah yang paling mencolok. Meski begitu, ia berbaur dengan keramaian tanpa ragu, riang membantu pekerjaan mereka. Tanpa sadar, Arielle tertular oleh senyum sehangat matahari sore itu.

Tiba-tiba, terdengar seorang anak perempuan berteriak-teriak. Temannya hampir tenggelam. Arielle hendak pergi menyelamatkan anak itu ketika terdengar suara seseorang yang melompat ke dalam air lebih dulu.

Siapa pemuda itu? Dia berenang cepat sekali walaupun tidak punya ekor. Gadis itu seketika bergeming di tempatnya, terkesima.

Sore yang takkan terlupakan. Esok paginya, Arielle kembali mendekati pesisir. Sayangnya, senyum indah yang diharapkan sudah tidak ada. Di pantai penuh batu karang yang hening, pemuda itu menatap sendu air laut. Sesekali mengembuskan napas panjang.

Berbagai pertanyaan berkecamuk. Tak ada yang bisa terjawab. Arielle menoleh ke ufuk timur. Suatu hari, aku akan membuatnya tersenyum kembali. Pada matahari terbit, ia berjanji.

Tak ada yang disembunyikan. Arielle membiarkan ceritanya mengalir. Meriel pun awalnya terlihat takjub. Hingga cerita tersebut mencapai bagian akhir. Tentang peristiwa malam itu. Ia menggenggam telapak tangan sang adik. "Arielle, apa kau yakin?"

Gumpalan awan kesedihan di dadanya membesar. Meriel, satu-satunya orang yang diharapkan bisa membantu, malah meragukan. "Aku tahu, manusia takkan hidup ratusan tahun. Tetapi ketika waktunya habis, mereka hidup dalam wujud berbeda. Tidak menghilang begitu saja seperti buih lautan. Dia memiliki jiwa abadi. Aku takkan pernah mendapatkan gantinya di sini."

Genggaman tangan Meriel semakin kuat. "Jika dia tulus mencintaimu, kau akan memiliki jiwa yang sama dengan dia. Sebaliknya, kalau hatinya tertambat pada orang lain, apalagi jika ia sampai mengikat janji sakral pernikahan, hidupmu berakhir. Ini sama saja dengan mempertaruhkan tiga ratus tahun sisa umurmu, Arielle."

Arielle menelan ludah. Ia paham risiko itu. Namun, kerinduan tak tertahankan membuatnya tak lagi takut pada kematian. "Aku sudah lelah menunggu tiga tahun, hanya untuk tahu namanya. Lagi pula, apa artinya aku hidup tanpa dia?" Kepalanya menunduk dalam. "Boleh, kan, Kakak?" pintanya lirih.

Meriel tertegun. "Kurasa Nerida benar. Seseorang yang sedang jatuh cinta memiliki kekuatan yang cukup besar untuk mengubah dunia." Dia tersenyum getir.

Ia lekas beranjak melakukan tugasnya, meski dengan ragu mengganjal. Sedangkan Arielle yang tenggelam dalam kegalauan hatinya hampir jatuh tertidur, tak memerhatikan apa yang dilakukan sang kakak.

"Ini." Beberapa lama kemudian, wanita itu kembali. Menyerahkan sebuah kerang dengan tali yang bisa digunakan sebagai kalung. "Ramuan itu akan mengubah total beberapa bagian tubuhmu. Itu akan sangat menyakitkan, dan mungkin membuatmu tidak bisa melakukan banyak hal. Maaf, aku tidak bisa meminimalisir efek sampingnya."

Arielle sungguh bahagia, mengangguk kuat-kuat. Seakan telah menemukan secercah cahaya matahari di tengah badai. Ia lekas menerimanya, memeluk erat Meriel. Rasa terima kasihnya terlalu besar untuk diungkapkan.

Sembari membalas pelukan sang adik, ia berbisik penuh harap, "Tolong lakukan secepatnya. Aku tidak tahu pasti kapan pengaruh ramuannya akan hilang."

"Aku tahu ini sulit. Tapi aku pasti akan membuatnya mencintaiku." Arielle mengeratkan pelukannya.

"Berhati-hatilah di atas sana. Daratan sungguh berbahaya, tidak semua manusia bisa kau percayai. Tapi, aku berharap kita bisa bertemu lagi, Arielle."

Sesuai instruksi dari sang kakak, Arielle bergegas pergi ke permukaan. Setelah meyakinkan diri, ia menenggak setetes ramuan tersebut. Sedetik berselang, sensasi panas menguasai lidah sampai kerongkongan. Perlahan menjalar ke bagian lain.

Sebuah teriakan lolos dari mulut Arielle. Efek sampingnya ternyata jauh lebih menyakitkan daripada yang dibayangkan. Sebuah ombak besar datang, dia terseret tanpa bisa melawan sampai terhempas ke tepi pantai. Sekujur tubuhnya tergores batu karang.

"Hei, ada apa denganmu?!" Terdengar seruan khawatir dari seseorang yang suaranya tak dikenal. Arielle perlahan mengangkat kepala. Matanya terbuka lebar-lebar. Erick! Lelaki itu masih hidup. Kini menumpahkan seluruh atensi padanya.

Perasaan bahagia memenuhi dada Arielle. Seakan bila dia tidak segera menghambur ke dalam pelukannya, sang pujaan hati akan kembali menghilang. Dia berusaha bangkit, tetapi kakinya masih terlalu lemah. Ia nyaris saja tersungkur jika Erick tidak dengan sigap menahan.

Dia melepas mantel untuk menyelimuti Arielle yang terlihat jelas mulai kedinginan. Dengan hati-hati menggendongnya menjauh dari pantai. Angin bertiup kencang, membuat tubuhnya gemetar.

Laki-laki itu merapatkan dekapannya. Ia berbisik penuh afeksi, "Tenanglah. Kau akan aman di sini."

*

14 Agustus 2022, 21:00 WITA

Mbak Nerida:
"I am mad scientist. It's so cool!" 😎

Twist kecil ini sebenernya berasal dari keherananku. Kenapa Sea Witch (di cerita asli) selalu dianggap jahat dan licik? Apa karena gara-gara dia, Little Mermaid nggak jodoh sama pangeran?

Padahal kan dia udah ngasi tau semua risikonya, Little Mermaid yang tetap kekeh. Tapi akhirnya dia tetep aja dianggap sebagai antagonis.

I mean, she just doing her job.

Dia hidup dari kerjaan itu. Ya wajar dong dia minta bayaran. Apalagi di versi asli dijelasin kalo pekerjaan itu kayak pedang bermata dua buat dirinya. Jadi, imbalannya juga harus sepadan.

Bayangin, nih. Dia belajar lama supaya bisa jadi penyihir profesional yang hebat. Terus ada klien datang maunya dikasi gratis. Udah gitu maksa lagi. Pake ngomong, "Ya elah, gitu doang bayar mahal. Padahal mah gampang, nenek gue juga bisa."
(Bentar, kok familiar)

Akhirnya mereka berdua ketemu lagi, ya. Apakah misi Arielle akan berhasil?

Yahh, kalo boleh jujur, bagian ini rada sulit karena aku harus "cosplay" jadi Arielle yang bucin akut. 😂 Makanya, aku berharap kalian menikmati kebucinan ini wkwkwk

Dan seperti biasa, jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan comment, ya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top