11 - Final Decision of The Fate

“Tunggu aku di tempat kita bertemu waktu itu.”

Sesuai dengan apa yang dikatakan Erick semalam, Arielle keluar dari kastel pagi buta. Dengan pakaian yang belum diganti sejak kemarin, dia menunggu sendirian. Membiarkan kakinya basah oleh air laut.

Di sini, tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Tak peduli mana yang akan datang terlebih dahulu. Erick, limit dari mantra Meriel, atau akhir hidupnya.

Walau untuk opsi pertama, sudah tidak ada lagi harapan. Langit semakin terang. Mungkin sekarang lelaki itu sedang bersiap-siap mengucapkan sumpah setianya sebagai suami sang putri bangsawan. Sehingga, kecil sekali kemungkinan dia akan datang kemari.

Namun, Arielle sudah menguatkan diri. Meskipun kisah ini takkan pernah berujung indah, pernyataan cinta dari Erick sudah cukup untuk membuat ia merasakan kebahagiaan di saat-saat terakhir hidupnya.

Asalkan dia terus hidup untuk menciptakan kebahagiaannya sendiri, tak masalah, bukan?

Tiba-tiba, terdengar suara langkah mendekat. Betapa terkejutnya Arielle – yang sempat tersenyum haru – ketika melihat yang datang bukanlah pujaan hatinya. Melainkan seseorang yang sepantar dengan Erick tengah menatap penuh amarah.

“Pangeran Raphael?” Dia merasakan kebencian yang begitu kuat dari laki-laki itu, perlahan mundur dengan wajah pias hingga air laut mencapai lutut.

“Pasti kamu yang membunuh Vanessa!” sergah Raphael tanpa basa-basi, membuat nyali lawan bicaranya semakin ciut.

Arielle tak mengerti. Saat meninggalkan kastel, dia yakin tidak mendengar apa-apa kecuali suara pelayan yang sibuk bekerja. Lantas, mengapa orang ini tiba-tiba datang mengatakan bahwa Vanessa terbunuh?

“Aku tahu, kamu begitu mencintai si sialan itu. Karena itu, kamu menggagalkan pernikahan agar bisa bersamanya.” Tanpa merasa perlu menjelaskan situasi, laki-laki itu terus berjalan mendekat.

“Apa maksudnya?” tanya Arielle setelah berusaha keras menggerakkan lidah yang kaku.

“Oh, mencoba bertingkah polos, ya. Kuakui kamu cukup pintar. Tapi, takkan kubiarkan kamu hidup.” Raphael menghunuskan pedangnya dengan mata berkilat penuh dendam. “Beraninya kamu menghilangkan nyawa kekasihku. Sekarang, terimalah akibatnya!”

Di saat yang sama, Arielle seketika merasakan rasa sakit yang membakar. Dadanya mendadak sesak. Ketika kesadaran kembali pulih, matanya terbelalak. Dia telah kembali ke wujud aslinya dengan separuh badan berada di dalam air.

Kenapa efek mantra Meriel harus habis sekarang?!

“K-kamu ….” Raphael tampak begitu syok hingga nyaris melepaskan gagang pedangnya.

Tidak peduli apa yang akan terjadi setelah ini. Arielle mencoba menggunakan kesempatan itu untuk kabur. Celaka, rok yang berlapis-lapis menjadi berat karena terendam air, membuatnya kesulitan bergerak.

“J-jangan kabur, kamu makhluk terkutuk!” Meski belum sembuh dari keterkejutan, Raphael menodongkan pedangnya. “Kalau sampai berteriak, akan kubuat kamu menyesalinya,” ancamnya.

Bagaimana ini? Tidak ada seorang pun yang tahu sejauh apa Raphael akan bertindak jika dia mencoba kabur atau mengundang ombak besar dengan suaranya. Akan tetapi, manusia lain akan segera menemukannya kalau ia tetap di sini. Sekarang, dia benar-benar tidak tahu harus mengharapkan bantuan dari siapa.

Erick? Tidak! Laki-laki itu tak boleh melihatnya dalam wujud ini.

Raphael yang sekilas menampakkan kengerian mengangkat pedangnya. Arielle menutup mata, tak berani melihat. Kalau leher sudah terpenggal, darahnya tidak akan bekerja.

Berakhir sudah.

Beberapa saat berlalu setelah berpikir ia akan mati. Arielle kaget karena hanya lengan kiri yang terasa tersayat. Keterkejutannya semakin menjadi-jadi ketika melihat Raphael dengan darah mengalir lewat mulut, sementara pedang yang dia gunakan telah terlepas.

“Dia benar-benar tak bersalah, Raphael,” seseorang di belakangnya berucap, “akulah yang melakukannya.”

Suara itu? Mustahil.

Mata Raphael terbelalak, mencoba melirik orang yang menusuknya dari belakang. “Erick, k-kamu ini ….”

“Akhirnya. Aku sudah lama menunggu kau menyebut namaku.” Dia menikamkan pedangnya lebih dalam.

“Tidurlah, Raphael, saudaraku tercinta. Hidup sembari membawa kebencian yang diwariskan oleh ibumu pasti melelahkan. Tetapi, seandainya esok kita bertemu kembali di realita yang lain, mari menjadi rival lagi.” Tubuh Raphael jatuh segera setelah benda yang menembus dadanya tercabut.

Arielle terperangah saat menyadari Erick tengah menatapnya. Dia buru-buru menyembunyikan ekornya di balik gaun, walaupun sekarang sudah terlambat.

Namun, meski telah menyaksikan semua, tidak tampak sedikit pun ketakutan di wajah Erick. Dia tetap terdiam melemparkan sorot mata yang entah hendak menyampaikan emosi apa.

Laki-laki itu mengambil sesuatu dari dalam saku kemudian melemparnya. Kalung dari Meriel waktu itu.

“Pergilah, atau mereka akan melihatmu.”

*

Arielle sendiri tak mengerti mengapa dia kembali lagi ke pantai itu keesokan paginya. Dengan pakaian basah, kedinginan menunggu di atas karang. Meski telah mendapatkan kakinya kembali berkat sisa-sisa ramuan Meriel, mana mungkin Erick akan tertipu dua kali.

Dia berusaha melupakan semua pujian, atau perlakuan penuh kasih sayang yang pernah diberikan lelaki itu. Sebab, ia begitu yakin. Mulai hari ini, Erick akan melihatnya sebagai makhluk terkutuk yang menakutkan. Sayangnya, semakin dia berusaha, ingatan itu semakin sering berputar di dalam benak.

Namun, karena dia adalah makhluk mengerikan, artinya Erick tidak akan sudi menemuinya lagi, kan?

Salah.

Pemuda itu kembali datang. Kali ini tidak langsung mengambil posisi di dekatnya. Melainkan berdiri di jarak dua meter dari tempat ia duduk. “Mungkin, aku takkan bisa menemuimu lagi setelah ini.”

Arielle mengernyit. Akan tetapi, sebelum bertanya, Erick lebih dahulu menjelaskan. “Pengadilan akan segera memutuskan hukuman apa yang pantas untuk seluruh dosaku. Entah sekadar pengasingan atau hukuman mati, aku tidak tahu.”

Berbagai emosi bercampur aduk dalam pikiran. Gadis itu menunduk.

“Sebenarnya, aku sudah lama menduga siapa dirimu. Tetapi jangan khawatir. Aku tak pernah membocorkannya, bahkan kepada seekor semut.” Erick kembali bicara tanpa intonasi berarti.

“Kau pasti ketakutan karena kejadian kemarin, ya. Maaf, aku tidak tahu bagaimana caranya agar Raphael tidak menyebarkan identitas aslimu.” Pemuda itu membuang napas panjang. “Sekali saja manusia tahu kau bukan hanya legenda, mereka pasti akan memburu bangsamu. Darah dengan kemampuan pemulihan itu akan menjadi harta karun yang sangat bernilai.”

Semua itu dilakukan untuk melindunginya? Sungguh tidak masuk akal. Apa keuntungan bagi Erick jika dirinya tetap hidup dan identitasnya menjadi rahasia? Ya, tidak ada. Sekarang justru hidup pemuda itulah yang berada di ujung tanduk.

“Bagaimanapun, terima kasih untuk semuanya, Arielle. Indahnya ketidaksempurnaan, dan kebebasan yang kau tunjukkan, semua sungguh berarti.” Arielle terperanjat. Suara lelaki itu berubah menjadi lebih lembut. Persis seperti Erick yang dikenalnya. Erick yang selalu dirindukannya.

“Percayalah. Di mataku, kepedulian itu selalu membuatmu tampak cantik … dalam wujud apa pun.”

Gadis itu tertegun. Tanpa pikir panjang, ia berlari menuruni karang, mengabaikan telapak kakinya yang seperti teriris. Jika ini memang kesempatan terakhir, dia hanya ingin melihat wajah kekasihnya dari jarak sedekat mungkin.

“Di dunia ini, ada seseorang yang aku cintai. Seseorang yang membuatku tak ragu berkorban.” Erick menarik sudut bibir ke atas. Senyuman pertamanya dua hari terakhir. Lantas meraih telapak tangan Arielle, menggeggamnya erat. “Arielle, itu kau.” Dia mengangguk, berbisik meyakinkan. “Tak peduli makhluk apa pun dirimu, aku mencintaimu, selalu.”

Kata-kata tersebut merasuk ke dalam dalam lubuk hatinya, bagaikan komet yang pernah dia lihat. Indah, menghangatkan hati. Semua ini begitu rumit, tidak dapat ia mengerti.

Sama seperti alasan mengapa napasnya seketika terasa sesak bersamaan dengan bayangan kekasihnya yang mengabur. Namun, penglihatannya kembali normal setelah berkedip, dan tangan kanan Erick bergerak mengusap pipinya.

“Ini … air mata?” Arielle terkesiap, refleks membekap mulut. “Suaraku … kembali?”

Erick tampak terkesima. Ia tak berucap apa-apa, hanya tersenyum senang. Namun, seakan bisa mengerti apa yang sedang lelaki itu pikirkan, Arielle lekas menghambur ke dalam pelukan. Menangis sejadi-jadinya.

Satu hal yang ia tahu, air matanya jatuh bukan karena kesedihan, tetapi sebaliknya. Dia begitu bahagia hingga tidak tahu bagaimana mengungkapkan.

“Erick, terima kasih untuk semuanya.”

*

4 September 2022, 21:00 WITA.

Arielle nggak butuh ciuman untuk jadi manusia seutuhnya. Dia cuma butuh cinta yang tulus.

Karena apalah arti dari sebuah ciuman mesra atau sumpah suci pernikahan tanpa rasa cinta yang tulus.
//eaa 😆

Tapi kalo gitu, kenapa dia nggak jadi manusia sejak naik ke daratan? Bukannya Erick juga diem-diem suka dari awal?

Okey, mari sini kujelaskan.

Mencintai seseorang secara tulus artinya menerima diri orang itu apa adanya. Sedangkan, kita nggak mungkin bisa benar-benar menerima kalau kita belum mengenal seseorang sepenuhnya.

Satu hal yang kupelajari dari dongeng The Little Mermaid karya HC Andersen, "Kau tidak akan mendapatkan penerimaan yang seutuhnya dengan menyembunyikan dirimu yang sesungguhnya."

Dalam kasus ini, mereka berdua sama-sama menyembunyikan jati diri mereka yang sebenarnya. Mereka saling jatuh cinta cuma karena melihat sisi luarnya. Erick belum bener-bener yakin dengan identitas Arielle. Sedangkan, Arielle belum tau kalo Erick juga punya sisi lemah.

Jadi, rasa ketertarikan mereka belum bisa disebut sebagai cinta yang tulus.

Barulah di babak akhir ini, mereka sama-sama saling menunjukkan diri mereka yang selama ini disembunyikan. Walaupun begitu, perasaan mereka berdua sama sekali nggak berubah. Tetap sayang.

Itu kenapa bisa muncul keajaiban tepat di bagian akhir.

Sekian, semoga kalian paham. Maaf kalo penjelasannya agak belibet. 🙂

Jangan lupa vote dan comment, ya.

Sampai jumpa di epilog. ☺

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top