10 - Soundless Sorrow of The Restrained Soul
Erick membuang napas panjang. Karena pernikahan ini, ia takkan bisa lagi mengawasi kasus hilangnya para gadis kalangan bawah. Sebab, penyelidikan pasti akan segera dilimpahkan ke pihak lain yang tak bisa dia percayai, atas perintah Raja. Sehingga, dia tidak akan punya hak untuk kembali menemui Arielle, sang saksi kunci.
Realita ini sungguh pahit untuk ditelan.
Pikiran-pikiran yang merasuki otak membuat lelaki itu sama sekali tak merasakan letih. Meski harus berjalan seraya membopong tubuh seorang gadis yang sebelumnya jatuh terlelap di atas pundaknya.
Ia mencapai kastel setelah malam semakin larut. Dengan hati-hati, Erick membaringkan tubuh Arielle, menyelimuti hingga sebatas bahu. Akan tetapi, saat hendak menutup pintu dari luar, sesuatu menahan langkahnya.
Malam ini akan menjadi pertemuan terakhir mereka.
Maka, Erick mengurungkan niat untuk pergi. Setelah mengunci pintu dari dalam, dia mengambil posisi duduk di sisi tempat tidur. Tersenyum tipis, memandang makhluk polos yang tampak kelelahan. Jemarinya dengan lembut menyingkirkan helai rambut hitam yang mengenai kelopak mata.
Wajah Arielle yang terlelap tampak begitu damai. Mulutnya sedikit terbuka mengeluarkan dengkuran kecil.
Jika ini adalah kesempatan terakhir, dia ingin mengucapkan selamat tinggal, kepada gadis yang selalu jujur pada perasaannya. Seseorang yang membuatnya hatinya terbuka oleh embusan sejuk kebebasan.
Sembari bertumpu pada kedua tangan, Erick terus menghapuskan jarak. Jantungnya berdebar kian kuat tatkala dia merasakan napas hangat Arielle. Ia memejamkan mata, mencoba membuang semua keraguan.
Entah sejak kapan hasrat ini mulai membara. Dia ingin menghancurkan rantai yang mengekang agar dapat terus mendekap sosok itu, bersama kelamnya masa lalu yang membentuk mereka berdua. Tak peduli meski esok adalah akhir dunia. Toh baginya tak ada lagi hal berharga yang tersisa.
Sayang, Arielle yang melayang di angkasa bebas, tidak dapat diraih oleh dirinya yang terus tenggelam dalam lautan keputusasaan. Maka malam ini, biarlah ia menyerahkan seluruh hatinya yang tak akan pernah dimiliki orang lain.
Namun, tepat sesaat sebelum bibir mereka menyatu, gerakannya terhenti. Erick lekas berpaling dikarenakan matanya semakin terasa panas. “Aku tidak bisa menodaimu seperti ini,” ia bergumam.
Dia tidak menyadari beberapa tetes air matanya yang jatuh telah membangunkan Arielle. Membuat gadis itu melihat sosok aslinya yang sungguh lemah, yang bahkan tidak bisa menghentikan tangisan tak berarti.
Namun, Arielle hanya memandangnya sembari tersenyum, tanpa ragu mengusap air yang mengalir dari kelopak matanya. Sentuhannya entah mengapa terasa menenangkan. Tangan gadis itu agak dingin, tetapi menghadirkan kehangatan yang berbeda.
Oh, sungguh sayang. Takdir tak merestui. Di ujung cerita, hanya akhir tragis yang akan menemui mereka.
Satu dari mereka harus mati.
“Arielle, kumohon. Bunuhlah aku dan larilah,” pintanya sembari mengembalikan sebuah belati yang dia temukan tergeletak di atas batu karang. “Jika aku memang harus mati, aku lebih rela mati di tanganmu.”
Mata gadis itu terbelalak, menyiratkan ketakutan luar biasa. “Tidak! Aku tidak akan.” Dia menggeleng, menepis tangan Erick dengan sekuat tenaga. “Jika aku masih bisa hidup dengan tangan yang berlumuran darahmu, apa artinya … aku mengaku mencintaimu?”
Pandangan laki-laki itu berpindah ke arah belati yang terlempar jauh. “Jadi begitu? Kau lebih tega melihatku terbunuh secara perlahan?” Dia perlahan bangkit kemudian memungutnya.
“Apa yang kau lakukan?” Arielle bertanya lemah. Suara langkahnya terdengar mengisi keheningan sesaat kemudian.
Senyuman getir menjadi respons atas pertanyaan tersebut. Jika tangan Erick bergerak sejengkal saja, belati itu akan segera menembus jantungnya. “Biar kuakhiri semua ini.” Genggamannya tampak semakin erat.
“Tidak, Erick. Tolong … hentikan,” Arielle berseru tertahan. Gemetar, ia menahan belati itu. Menariknya menjauhi dada sang kekasih.
Lelaki itu membuang napas panjang. “Mungkin, tidak buruk menyerahkan semuanya pada Raphael.” Dengan mata yang telah kehilangan binar terakhirnya, Erick membalas tatapan yang tertuju ke arahnya. “Lagi pula, di tanganku, masa depan kerajaan belum tentu lebih baik.”
“Tetapi dunia pun tak lantas menjadi lebih baik dengan kematianmu,” sangkal Arielle. “Dirimu begitu berharga, Erick. Kapan kau akan menyadarinya?!”
Lelaki itu tetap membisu.
Tanpa pikir panjang, Arielle melingkarkan lengan di bahu Erick. Memeluk erat-erat, melindungi sang kekasih dari keputusasaan yang mencoba menenggelamkannya. “Kumohon … tetaplah hidup.”
Tak pernah ada seorang pun yang menganggap jiwanya berharga. Tak juga ayahnya. Karena sejatinya, ia bukanlah manusia.
Namun, bisikan Arielle terdengar benar-benar tulus. Dadanya disesaki perasaan familier. Air mata yang sempat mengering pun kembali mengalir.
Erick menjatuhkan belati ke lantai. Melupakannya demi membalas pelukan hangat dari gadis yang selalu muncul ketika dirinya menyerah untuk hidup.
“Baiklah.” Erick mengusap punggung Arielle, memejamkan mata. “Besok pagi, tunggu aku di tempat kita bertemu waktu itu.”
*
Vanessa menatap langit dari balik jendela. Besok, dia akan menikah dengan putra mahkota. Ia sungguh bahagia karena bisa sampai di tahap ini. Walaupun kalau diingat-ingat, menjadi calon ratu sangatlah merepotkan.
Akan tetapi, Erick tidak akan membiarkannya menghadapi semua sendirian. Iya, kan?
Ketukan di pintu membuyarkan lamunan. Vanessa segera membuka pintu, lantas terheran. Erick berdiri di hadapannya, masih dengan pakaian yang dikenakan saat acara makan malam. “Yang Mulia, silakan masuk.”
Setelah memastikan pintu tertutup rapat untuk mereka berdua, Vanessa berjalan ke sisi ruangan. Bermaksud menutup jendela.
“Kau belum tidur rupanya,” Erick berkata datar. Sejak melangkah melewati bingkai pintu, dia tetap bergeming di tempatnya. Sehingga, jarak antara mereka terbentang lebar untuk ukuran sepasang muda-mudi yang telah menetapkan tanggal pernikahan.
“Ya. Saya tiba-tiba memikirkan banyak hal.” Vanessa menarik daun jendela. “Anda sendiri?” Pertanyaannya tak mendapat respons. Ia semakin merasa tak nyaman dengan kecanggungan yang menyeruak.
Hingga terdengar tiga kata terucap begitu pelan. “Vanessa, maafkan aku.” Keheningan di sekitar membuat Vanessa bisa mendengar cukup jelas.
Gadis itu terheran. Melupakan jendela yang belum terkunci sempurna demi bisa menatap wajah sang pangeran.
“Untuk ap–”
Napasnya tercekat. Sebuah belati tertancap tepat di jantungnya, bahkan sebelum dia mengerti apa yang terjadi.
Sejak kapan Erick berada tepat di belakangnya? Apa yang merasuki laki-laki itu hingga tanpa ragu menikamnya, melemparkan tatapan dingin kepadanya? Bukankah mereka telah bertunangan … atas dasar cinta? Vanessa ingin tahu banyak hal … andai saja waktunya masih cukup panjang.
“Aku tidak pernah mencintaimu. Kau pun bukanlah orang yang menyelamatkanku.” Vanessa terbelalak. Pengakuan itu … jauh lebih menyakitkan daripada tusukan belati.
“Meski mengatasnamakan urusan politik, atau masa depan negeri ini, aku tak akan sudi menikah atas dasar kebohongan dan keserakahan.” Ucapan Erick terdengar dingin, berbanding terbalik dengan senyumannya di lantai dansa.
“Daripada terus mengotori dunia ini, makhluk hina sepertimu ... lebih baik lenyap saja.”
“T-tapi … ke-napa?” Setitik cairan bening mengalir dari sudut mata Vanessa. Napasnya semakin menjauh, semakin tak tergapai. Jika waktunya memang harus berakhir, dia hanya menginginkan jawaban. Apakah tidak boleh?
Darah mengucur dari tusukan tersebut, mengotori gaun tidur putih, perlahan menggenangi lantai. Sementara tubuh Vanessa ambruk tak berdaya, Erick menatap kosong tangannya yang ternodai.
Malam semakin larut. Bulan purnama menggantung di angkasa, tampak dari balik tirai yang tersingkap. Lelaki itu mengembuskan napas panjang. “Masih ada waktu.”
“Tetaplah di sana, Arielle,” ia berucap pelan sekali. Sehingga, jika ia berada di luar sana, suaranya pasti tenggelam oleh desau angin malam. “Kau tak perlu mengotori tanganmu.” Tersenyum ganjil, Erick melirik belati perak yang mampu memotong pembuluh darah seseorang dengan begitu mudah.
“Biar aku saja yang melakukannya untukmu.”
*
Kehebohan muncul di kastel sejak pagi. Semua berawal dari pelayan yang tidak mendapat jawaban meski telah mengetuk pintu, memanggil Vanessa berkali-kali. Di saat bersamaan, beberapa penjaga menyadari jendela kamar perempuan itu telah pecah. Akhirnya, setelah menimbang-nimbang, pintu dibuka paksa dari luar.
Erick baru saja siap dengan setelan rapi, menghampiri kerumunan pegawai istana yang tak berani masuk. “Apa yang terjadi di sin–” Seketika tubuhnya membeku saat melihat apa yang ada di dalam sana.
“Vanessa?” Lelaki itu menerobos masuk. Berlari menghampiri tubuh Vanessa yang telah kaku, merengkuhnya tanpa ragu sedikitpun. “Vanessa, sadarlah! Kau tidak akan meninggalkanku di hari pernikahan kita, kan?!” Setitik keputusasaan dapat terdengar dari seruannya.
“Yang Mulia, apa yang Anda lakukan?”
Erick mengabaikan seruan pelayan. Dengan ini, rencananya telah sempurna. Dia akan lolos dari kecurigaan karena orang-orang takkan mempertanyakan cintanya kepada Vanessa.
Di tengah sandiwaranya, Erick menyadari banyak keanehan. Terdapat pecahan kaca berada di dalam, sementara pintu kamar ditemukan terkunci. Sebuah jejak tampak dari arah jendela, hingga ke mayat Vanessa. Selain itu, ia yakin sekali, belati yang digunakannya semalam masih belum tercabut. Namun, sekarang sudah menghilang entah ke mana.
Dia mengernyit bingung. Seakan ada pihak ketiga yang membantunya. Membuat semua ini seolah-olah dilakukan oleh orang luar.
Tapi siapa?
Para pelayan yang berkumpul di luar masih diselimuti kepanikan. Samar-samar, Erick mendengar mereka beberapa kali menyebut nama salah satu saudaranya di sela pembicaraan.
“Raphael? Di mana dia?!”
Beberapa pelayan tampak saling melirik satu sama lan. Sebelum akhirnya, salah satu dari mereka menjawab, “Pangeran Raphael baru saja keluar dari kastel.”
Erick terbeliak.
Astaga, ini semua di luar perkiraan.
*
1 September 2022, 21:00 WITA.
Kisu-nya nggak jadi, ya, Minna. Tapi sebagai gantinya, aku membawakan sesuatu yang mungkin sama sekali nggak pernah kalian duga.
Iya, kan? Kalian pasti nggak nyangka Vanessa bakalan mati di tangan Erick, kan? 😏
Akhirnya Ichi Hikaru kembali menjadi dirinya sendiri setelah dirasuki Anne_Lichtia wkwkwk
Menurut dugaan kalian sementara, apa yang bakalan terjadi setelah ini?
Seperti biasa, jangan lupa vote dan comment, ya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top