1 - Flawless Azure Eyes of The Dream

Muak pada kehidupan di kedalaman, terdengar mustahil bagi gadis yang tumbuh sebagai putri penguasa lautan. Namun, itulah yang terjadi. Menyebabkan ia begitu bersemangat berenang ke permukaan ketika bintang-bintang di langit bersinar.

Meski daratan tidak terlihat dari tempatnya sekarang, malam ini benar-benar sempurna. Langit tanpa awan, air laut pun cukup tenang. Gadis itu berandai-andai. Kapan kiranya ia bisa berdiri di tepi pantai, memandangi keindahan tersebut seraya bersandar di bahu sang kekasih yang tulus mencintainya.

Ah, impian kecil yang indah. Ia mengamati bagian bawah tubuhnya yang bergerak pelan. Layaknya permata yang tertimpa sinar rembulan, susunan sisik berwarna biru cerah berkilauan masih terlihat dari atas air. Seandainya ada makhluk yang bisa menukarnya dengan kaki, gadis itu rela menemuinya meski harus ke palung terdalam.

Deru kapal mendekat membuyarkan lamunan gadis itu. Tanpa membuang banyak waktu, ia lekas menyembunyikan tubuh ke dalam air. Berharap kapal tersebut segera pergi jauh agar ia bisa kembali menikmati waktu berhaga di permukaan.

Akan tetapi, terdengar sesuatu jatuh ke dalam air tak lama kemudian. Rasa penasarannya memuncak dengan cepat. Dia bergegas meluncur menuju sumber suara. Barangkali ada benda-benda yang terjatuh dan bisa menghiasi ruang koleksinya.

Air laut diterangi oleh cahaya bulan. Kala itulah dia menyadari keberadaan makhluk daratan yang selalu membuat dadanya berdesir. Lelaki yang seringkali ia lihat menyendiri, menatap sendu lautan dari atas karang hingga petang. Layaknya dalam mimpi, kini raganya begitu dekat.

Diraihnya lengan dari laki-laki itu agar tidak tenggelam lebih dalam. Bahkan dalam kondisi demikian, ia tampak sempurna. Tanpa sadar, jemari lentik gadis itu terulur menyentuh pipinya, kemudian mengusap lembut bibir pucatnya. Diam-diam membayangkan sosok yang kini terpejam dalam keputusasaan itu membalas senyuman bahagianya.

Dia terbelalak saat menyadari adanya cairan merah segar yang mengalir dari luka menganga, kemudian larut dengan air laut. Gadis itu baru mengerti beberapa saat kemudian. Pertama, manusia tidak bisa bernapas dalam air. Kedua, jika dibiarkan, luka tersebut akan membuat ia kehilangan sosok sempurna itu selamanya.

Perempuan itu menarik tubuh sang pangeran ke dalam pelukan. Takut menerima fakta bahwa menyelamatkannya adalah hal paling mustahil untuk dilakukan. Ia tak menguasai sihir penyembuh atau sejenisnya. Tidak juga ramuan penawar yang bisa mengobati segala jenis luka dan penyakit. Kecuali … yang mengalir dalam darahnya.

Bangsanya berumur panjang karena terlahir dengan darah yang mampu memulihkan sel-sel tubuh dalam waktu singkat. Lalu, kekuatan itu akan memudar seiring bertambahnya usia. Sekarang yang menjadi masalah adalah bagaimana membuat sang pangeran menerima darahnya walaupun hanya beberapa tetes.

Gadis tersebut mencoba berpikir cepat. Tidak ada cara lain yang terlintas di kepala. Tanpa berpikir panjang, dia menggigit ujung lidah keras-keras hingga terluka. Perih menjalar membuatnya spontan meringis pelan. Meski begitu, sakit sedikit tidak mengapa. Takkan seberapa dibandingkan duka yang akan menimpa jika lelaki itu sampai mati dalam dekapannya.

Senyum getir terlukis. Hanya ini harapan terakhir yang tersisa. Jika tidak berhasil, tak dapat terbayang bagaimana hidupnya akan berlanjut tanpa lelaki yang telah membangkitkan perasaan sedalam lautan.

Sekali lagi, tangan gadis itu membelai wajah sang pangeran. Meyakinkan diri sekali lagi. Kedua lengannya melingkar di pundak lelaki itu. Perlahan menghapuskan jarak antara tubuh mereka, sebelum akhirnya mengecup lembut bibir pucat yang mendingin karena suhu air laut, membiarkan darahnya mengalir masuk. Segenap perasaan seketika tertumpah ruah, tak terbendung. Menghentikan waktu.

Gadis itu tak bisa merasakan debar jantung sang pangeran menyatu dengan miliknya yang berpacu kencang. Namun, sesuatu yang belum pernah dia lihat membuat dadanya kian menghangat semakin lama ia bertahan. Sungguh aneh jika harus disebut kenyamanan, ketika hanya ada jenuhnya rasa darah.

Terlarut dalam pekatnya hasrat, gadis itu mengeratkan pelukan. Seakan-akan mereka benar-benar akan mati bersama jika ia melepasnya sekarang.

“Kumohon …, tetaplah hidup,” bisiknya dalam hati.

Pada akhirnya, ia tak bisa bergeming lebih lama lantaran tenaga yang hampir habis terkuras. Sang pangeran tetap tidak membuka mata. Gadis itu perlahan menjauhkan wajah, menampakkan raut sendu. Betapa sesaknya membayangkan jika momen di mana waktu berhenti tersebut tak lain adalah ciuman selamat tinggal kepada raga yang sudah tak lagi bersama jiwanya.

Ingin rasanya ia menjerit sekeras mungkin. Tak peduli meski itu akan mengundang badai yang secara tiba-tiba mengguncang lautan. Dia hanya berharap makhluk lain mengerti seberapa dalam nelangsa yang melanda kalbunya saat ini.

Saat itulah, sebuah cahaya menyilaukan membawa kembali harapannya hampir pupus. Rahang bawahnya turun. Baru pertama kali ia melihat bagaimana penawar yang terkandung dalam darah melakukan tugasnya. Secara ajaib, lubang yang berada tepat di dada sang pangeran menghilang, seakan tidak pernah ada. Begitu juga dengan wajah yang pucat, kini tampak lebih hidup.

Gadis itu tersenyum lega. Dengan luapan kebahagiaan, ia mengeratkan dekapan kemudian berusaha berenang ke permukaan. Beruntungnya malam ini ombak tidak terlalu tinggi. Juga tidak banyak kapal yang melintas. Gadis itu berusaha berenang secepat mungkin melewati ombak, seraya menjaga agar kepala sang pangeran tetap berada di atas air.

Kalau boleh jujur, hatinya masih ingin menghabiskan waktu lebih lama dengan sang pangeran yang telah lama hidup dalam mimpi indahnya. Meski demikian, dia tidak boleh egois saat ini.

Napas laki-laki itu lebih berharga daripada apa pun.

Ia berhasil mencapai pesisir tepat ketika awan jingga pertama muncul di ufuk timur. Perlahan perempuan itu meletakkan tubuh sang pangeran dengan posisi telentang. Untuk ke sekian kalinya, dia mengusap perlahan wajah yang selamanya akan selalu ia rindukan. Tersenyum lembut. Sungguh berat jika harus mengucapkan salam perpisahan.

Dia perlahan mendekatkan bibir. Kali ini mendaratkannya di bagian dahi yang terekspos setelah rambut bagian depan tersingkap.

Perlahan kelopak mata pemuda itu bergerak lemah. Ketika sang gadis mengakhiri kecupan, menjauhkan jarak, netra biru langit itu beradu dengan manik sewarna lautan miliknya.

Keduanya diam membeku, saling memberi tatapan penuh arti.

Akan tetapi, momen tersebut tidak berlangsung lama. Didorong spontanitas, laki-laki itu berbalik badan. Dengan bertumpu pada kedua tangan yang masih lemas, ia terbatuk keras. Memuntahkan sisa-sisa darah dan air laut yang mengganggu jalur napas.

Di lubuk hati terdalam, gadis itu ragu meninggalkan sang pangeran sendirian dalam situasi demikian. Ia ingin menemani lebih lama. Akan tetapi, wujud aslinya pasti akan tampak segera setelah lelaki itu melihatnya sekali lagi. Setelah hal tersebut terjadi, tidak ada yang tahu nasib apa yang menunggu di ujung cerita.

Dia lekas beringsut. Buru-buru menyembunyikan diri di balik buih ombak. Bagaimanapun, identitasnya tak boleh terungkap kepada manusia daratan.

Meski begitu, sesuatu yang mengganjal dalam hati membuatnya tidak bisa pergi begitu saja. Ia diam-diam mengintip dari balik batu karang setelah mengawasi sekitar. Kini tampak sang pangeran dalam posisi telentang seperti sebelumnya lantaran tidak punya cukup energi untuk bangkit.

“Ya Tuhan! Apa yang terjadi?” Seruan seorang perempuan muda di antara debur ombak pelan mengejutkan sang putri penguasa lautan. Ia spontan bersembunyi di dalam air, beberapa saat kemudian kembali mengintip.

Si perempuan berambut pirang itu sangat panik hingga tak sempat melirik ke arah laut. Dia duduk bersimpuh di atas pasir basah. “Yang Mulia, Anda baik-baik saja?” tanyanya khawatir. Tidak ada respons. Sang pangeran hanya menatap langit dengan mata yang nyaris terpejam. Semakin gelisah, perempuan itu menoleh ke sana kemari. Sayangnya, tidak ada orang yang bisa dimintai pertolongan.

Tanpa berpikir panjang, diangkatnya ujung gaun yang hampir menyapu tanah. Perempuan itu berlari secepat mungkin hingga bayangannya tak terlihat lagi.

Sang gadis lautan yang masih bersembunyi di balik karang diam-diam merasakan cemburu membakar dada. Kenapa dia tidak terlahir dengan sepasang kaki? Ia ingin berlari di atas lembutnya pasir, memakai gaun yang terlihat indah ketika mengembang lebar tertiup angin, kemudian … berdiri di samping sang pangeran.

“Nona, mohon jelaskan apa yang terjadi.” Dua pria dewasa mengikuti gadis bersurai pirang dari belakang. Mereka tampak masih syok dengan kedatangan sang nona muda yang terburu-buru, dengan napas tersengal meminta bantuan.

Gadis itu berbalik cepat. Memandangi kedua pengawalnya bergantian. “Saya yakin kalian sudah mendengar berita bahwa dia menghilang. Saya tidak sengaja menemukannya di pantai,” ujarnya dengan wajah panik. “Tolong, segera selamatkan dia.”

Salah satu pria itu bertanya, “Siapa itu, Nona?”

“Yang Mulia Pangeran Erick.”

Sembari mencoba mengabaikan kepanikan yang terjadi di daratan sana, sang putri lautan tersenyum lega. Dia memandang pantai sekali lagi, mengucap salam pamit dalam diam. Lelaki itu akan selamat, pasti. Dengan perasaan bahagia bercampur sedih karena harus berpisah, ia berenang kembali ke laut dalam.

Lengkungan tipis terbit di bibir gadis itu. Semakin melebar ketika mengingat wajah sosok sempurna yang telah mendapatkan ciuman pertamanya. “Erick. Jadi, itu namamu?”

*

8 Agustus 2022, 21:45 WITA

Mari kita ucapkan terima kasih kepada mbak rambut pirang karena sudah berbaik hati menyelamatkan karakter utama kita.

Iyap. Pertemuan pertama mereka aku buat beda dari versi asli.

Kenapa?

Ada beberapa alasan. Salah satunya adalah karena Erick adalah introvert sejati yang kalo diajak party bakalan stres duluan 😂

 
 
Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan comment, ya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top