38 - Daddy's Anger - Darah Tercurah Tengah Malam

Di tempat yang terpencil dan rahasia, terasa hawa mengerikan yang memenuhi ruangan.

Pria itu membuka mata diiringi oleh tarikan napas dalam. Kepalanya berdentam nyeri seperti seseorang sedang memukulkan palu ke kepala berulang kali. Dia segera memejamkan matanya lagi, berusaha untuk menekan rasa sakit yang nyaris tak tertahankan.

Napasnya terengah, butuh beberapa menit sampai dia terbiasa. Ketika dia membuka matanya lagi, baru dia sadar bahwa dia berada di sebuah ruangan gelap, hanya dengan sebuah lampu kecil di tengah ruangan yang cahayanya bahkan tidak bisa menyentuh batas tembok terdekat.

Dia merasakan dirinya duduk di atas kursi, dengan tangan terikat di belakang oleh sesuatu yang kasar dan kuat. Mungkin semacam tali tambang. Semakin dia meronta untuk melepaskan, kulitnya semakin terluka karena gesekan. Hingga akhirnya dia menyerah. Baru saat itu dia menyadari bahwa kakinya juga diikat dengan bahan yang sama. Beruntung, celana panjang membuat ikatan itu tidak sampai melukai kulitnya.

Menyadari bahwa dia tidak memiliki kesempatan untuk kabur, pikirannya beralih mencari tahu siapa yang membawanya ke tempat ini.

Ingatan terakhirnya adalah dia sedang berjalan menuju dari klub malam langganannya. Setelah dia menghabiskan waktu dengan penari telanjang favoritnya, dia mentraktir mereka minuman keras lalu menghabiskan waktu yang panas. Terengah dan kehabisan napas, dia ingat dia sempat tertidur dan selanjutnya, dia terbangun di tempat ini.

Keparat!

Dia mengumpat dalam hati. Seseorang di klub itu pasti telah menjualnya. Jika tidak, dia tidak akan berada di tempat ini.

Kepalanya mencari-cari pelaku yang bisa dicurigai ketika pintu terbuka dan sinar terang yang muncul dari sana membuat dirinya menyipitkan mata. Sesosok bayangan tinggi dan besar melangkah masuk sebelum pintu kembali ditutup.

"Pangeran kita sudah bangun."

Suaranya familiar, membuat mata pria itu mengerjap.

"Mr. Petrov?"

"Ternyata kau masih mengenal siapa bosmu, Victor?" Dom muncul di bawah cahaya lampu satu-satunya di ruangan itu. Victor dapat melihat seringai kejam terukir di wajah kokoh pria itu.

Victor berusaha tersenyum walau hatinya dirundung panik. "Selamat malam, Mr. Petrov. Senang bertemu dengan Anda di sini. Jika keadaan lebih memungkinkan, aku kan menyambut Anda dengan lebih baik. Seperti yang Anda lihat ...." Dia memberi kode dengan kepalanya ke arah tangan dan kakinya yang terikat.

"Jangan basa-basi lagi, Victor. Kau dan aku sama-sama tahu mengapa kau ada di tempat ini." Dom mensejajarkan wajahnya dengan Victor dan menunjukkan wajahnya yang paling kejam. "Di mana uang yang kau gelapkan dari SWS?"

Victor berusaha mempertahankan senyumnya walau dia semakin terintimidasi. "Uang apa, Mr. Petrov? Saya sudah memberikan Anda bagian sesuai dengan kesepakatan awal. Bukankah Anda sudah memeriksa laporan keuangan SWS?"

Dom berdiri dan menendang kursi Victor dari kanan hingga terjungkal. Kepala pria itu terantuk lantai membuat pandangan matanya buram dan rasa sakit kembali menyengat bagian belakang kepalanya. Perutnya terasa teraduk-aduk dan mual.

"Jawab, Victor! Aku sudah mendapat bukti bahwa kau menggelapkan uang SWS. Beraninya kau mencuri dariku!!" Dom menginjak kursi di antara kedua kaki Victor dan menunduk untuk memandang pria yang telah bertahun-tahun bekerja di bawahnya. "Jawab sekarang dan mungkin aku akan berbaik hati."

Victor terdiam sampai peningnya mereda. "Sa-saya tidak–"

Dom mengeluarkan pisau dan menyayat jari Victor hingga hampir putus. Darah mengalir dan jeritan menggema di ruangan kosong itu.

"Jawab, atau aku berjanji akan mematahkan setiap tulang di tubuhmu dan mencincang perlahan satu demi satu!" Untuk menunjukkan bahwa dirinya serius, Dom menusukkan pisau bergerigi itu ke lengan Victor yang terikat, membuat suara jeritan kembali terdengar.

Napas Victor terengah menahan sakit. Mata buram tapi memandang ke arah Dom dengan tajam, menolak menyerah.

"Bagaimana? Sudah siap berbicara?"

Victor akhirnya mendapatkan tenaga setelah dia mulai terbiasa dengan rasa sakit. Perlahan dia tertawa. "Bahkan jika itu benar, apa yang bisa kau lakukan, Mr. Petrov?" tanyanya dengan nada lebih mengejek. Topeng lemah dan penurutnya hilang di tengah-tengah rasa sakit yang menerjang.

Dom menyipitkan matanya penuh bahaya. Dia memainkan pisau ditangannya di depan mata Victor tapi lawannya itu tidak merasa takut.

"Aku sudah menggunakan uang itu untuk bersenang-senang. Apalagi yang bisa dilakukan pada uang haram? Tentu saja aku menikmatinya hingga sen terakhir." Tawa gila terdengar dari mulut Victor bercampur rasa putus asa. "Kau pikir aku tidak mempersiapkan segala sesuatunya?"

Dom tidak menjawab dan menghujamkan pisau ke betis Victor membuat pria itu melengkingkan jeritan.

"Aku mempunyai banyak waktu, tapi kau tidak, Victor. Kita lihat berapa lama kau bertahan hingga seluruh darah mengalir keluar dari tubuhmu? Jadi lebih baik kau berbicara selagi aku berbaik hati."

"Kau tidak memiliki pilihan selain melepaskanku, Dom." Dia menyeringai di tengah rasa sakit. Keringat mengalir deras di dahinya. "Jika aku mati, seluruh rahasiamu akan terbongkar. Kau pikir aku bodoh dengan membiarkan aku ditindas olehmu?"

Pisau menghujam dada Victor tapi kali ini pria itu menggigit bibirnya hingga berdarah untuk menahan sakit. Dia menolak tunduk pada Dom.

"JAWAB!" seru Dom semakin tidak sabar.

"Bunuh aku, Dom! BUNUH! Dan kita akan terbakar bersama!" seru Victor kesetanan sebelum tertawa lepas.

Dom berdecak dan melayangkan tinjunya ke wajah Victor.

Sekali.

Dua kali.

Tiga kali, hingga darah mengalir dari pelipis pria yang kehilangan kesadarannya.

Dom mengatur napasnya yang terengah. Amarah yang dingin terlihat jelas di matanya, menjalar hingga ke seluruh tubuhnya. Pria terkutuk itu telah berani menjebak dan mengancamnya. Dom membuang ludah sebelum keluar sambil menekan angka di ponselnya, sebelum berbicara dengan seseorang.

"Mom, bagaimana kalau kita pindah?" tanya Jeanny yang sedang menemani ibunya yang duduk dekat jendela di kamarnya. Matanya kosong memandang keluar, seakan tidak mendengar suara Jeanny.

Namun, walau ibunya tidak memberikan respon, Jeanny hanya merapikan baju wanita itu sambil berkata, "Pekerjaanku sudah lebih baik, jadi aku memiliki uang untuk memindahkan ibu ke tempat lebih bagus." Jeanny terdiam, dia memandang sekeliling, menyadari bahwa selama beberapa hari dia di sini, dia sama sekali tidak melihat Victor, pun pesan dari pengurus yang menagih uang pengobatan di luar uang rutin yang diberikan Jeanny untuk biaya tinggal ibunya di sana.

Ada yang aneh, tapi Jeanny justru bersyukur karena dia bisa lepas dari teror Victor. Kepala pengurus itu selalu memiliki alasan untuk meminta uang lebih dari dirinya, bahkan setelah biaya bulanan Margareth di sana sudah naik.

Itulah alasan mengapa Jeanny berpikir untuk memindahkan sang ibu ke tempat lain. Namun, jika tidak ada Victor yang merongrong, Jeanny mungkin akan kehilangan alasannya untuk memindahkan Margareth. Bagaimana pun juga, ibunya sudah bertahun-tahun di sana. Jeanny khawatir jika ibunya pindah, justru membuat kondisi ibunya tidak stabil.

Jeanny menyiapkan air untuk diminum Margareth, menikmati suasana damai yang sangat jarang terjadi sambil bertanya-tanya, ke mana Victor pergi. Mungkin lebih baik jika Victor tidak pernah kembali ke tempat itu.

Gadis itu tersenyum akan keinginannya yang terasa begitu jauh, tanpa menyadari bahwa betapa dekatnya keinginan itu menjadi kenyataan.

Question's Time:

💋 Kira-kira apa rencana cadangan Victor sampai dia berani menantang Dom?

💋 Emang Dom kenapa sampai Victor aja punya back up rencana menghadapi Dom?

💋 Apakah Jeanny akan memindahkan Margareth keluar dari SWS?

Tekan ⭐ kalau kamu suka part ini! Jangan lupa bagikan ke teman-temanmu biar makin seru cerita ini!

Holy Kiss,

💋

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top