34 - Daddy's Sexy Mind - Memory from the Past
Dengan membusungkan dada bidangnya yang berbalut jaket kulit, Dom memasuki SWS, seolah gedung lawas nan hening itu taman ria bermainnya. Tanpa perlu presensi kunjungan, tidak ada pula pegawai SWS bagian pencatat tamu memprotes. Bahkan sambutan hormatnya diabaikan oleh pria penguasa koin judi Las Vegas itu.
Namun, langkah tegapnya tidak berbanding lurus dengan rona mukanya yang tampak masam. Bibirnya terkatup rapat, dan sorot mata terfokus pada anak tangga menuju lantai dua. Beberapa kali ia lirik layar ponselnya yang tidak kunjung memberikan notifikasi dari Jeanny. Dalam kurun waktu tiga jam tidak ada tanda-tanda bunyi lonceng khusus dari gadis itu, membuat Raja Kasino tersebut mengakhiri agenda pertemuan dengan rekannya tiga puluh menit lebih cepat. Sementara sisi tangan lainnya ia sembunyikan di balik punggung, menggenggam sesuatu beraroma harum.
Laju kakinya merapat ke lorong tempat kamar Ibu Jeanny. Tentu saja, pikir Dom, kamar mana lagi yang sering didatangi gadis itu. Sekali lagi, Dom melirik arloji mewahnya, ia sengaja mengambil jam menuju istirahat makan siang seperti ini dengan harapan bisa memergoki Jeanny tengah bersantai bersama Ibunya.
Mungkin ia akan memberinya sedikit pelajaran karena absen dari laporan per jam kepadanya dan membuat gadis itu memohon dengan ekspresi menggemaskan khasnya. Lebih-lebih, frekuensi Si Pengacara Kacamata membesuk Margareth semakin meningkat. Dom tak mau rivalnya mendahuluinya mencuri hati Margareth.
Ketika hendak menyusuri koridor berjendela besar yang dihujani sinar terik, Dom mempersiapkan diri. Ia ingat betul bahwa Margareth telah siuman. Merapikan beberapa helaian anak rambut yang menyapu jatuh menuju alis legam tebalnya.
Langkah kakinya ia lambatkan untuk meredam suara sepatu berkilaunya. Namun, seiring kenop diputar dan kayu pintu berderik, netra keemasan itu hanya menangkap sebuah siluet yang tengah duduk di kursi roda.
Sebersit suara decak lolos dari gumaman Dom. Margareth yang semula duduk membelakangi sambil menonton televisi, memutar kursinya.
"Ada yang tertinggal, Nak?"
Bibir Margareth sesaat menorehkan senyum riang, tetapi ketika netranya menjala sosok tinggi tegap, membelakangi cahaya terik tengah hari, kelopak matanya seketika melebar. Bahunya menegang, seperti ada besi dingin yang dijatuhkan di punggungnya.
"Ma'am? Di mana Jeanny?" Dom menyunggingkan senyum keramahtamahan yang jarang. Namun Margareth hanya melihat sosok gelap yang silau.
"T ... ti dak ... me ... en ... jauh ...." Napasnya entah sejak kapan bergejolak cepat. Ia menggeleng kebingungan. Sekelebat bayangan akan masa lalu kembali mengudara.
Sosok lelaki tinggi kekar, membawa rantai besi berkarat. Margareth berjengit ketika pandangannya jatuh tangannya yang kecil. Tubuhnya yang berbalut kaos dan celana compang-camping. Pergelangan kakinya dihiasi luka basah dan borok yang membentuk pola acak.
"Ma'am, Are you okay?" Alis Dom mengernyit kebingungan. Tubuhnya mencoba merendah untuk menurunkan atmosfer dominasi, ia hendak menyentuh kedua tangan Margareth.
Akan tetapi, Margareth justru menjerit bebar seketika. Dom mendelik, sepintas ia beranjak membekap mulut wanita itu. Beruntung ia sempat menutup pintu tadi, sehingga suara yang keluar agak teredam ditambah dengan suasana siang yang tidak sepeka malam.
"J-Ja ... Ja-angan SENTUH AKU!"
Dom tampak belingsatan, dan matanya menjala buru-buru apa pun di meja nakas. Namun, ia tidak familier dengan beberapa botol kaca dan plastik tablet mana yang tepat untuk diberikan kepada Margareth.
Sementara, histeria Ibu Jeanny yang malah menjadi-jadi, wanita itu mendorong Dom menjauh sambil meneriaki sesuatu.
"JA ... JJA ... AN ... GAN ... JU ... AL ... AK ... U!"
Sepotong kalimat itu membuat Dom meyakini diri bahwa kegilaan Margareth kambuh, pria itu mencoba pendekatan amatir secara halus. Sangat berisiko apabila mengambil salah satu obat untuk diminumkan. Praktis Dom paham apa yang dialami Margareth. Bentuk traumatis semacam itu cukup akrab baginya.
"Tenang, Ma'am, siapa yang akan menjualmu?" Dom mengajak berdialog. Ia menatap intens kedua bola mata kuyu wanita itu.
Margareth yang terengah-engah, menutup rapat matanya kembali. "JAU ... HI ... AKU ... T-TO ... LONG ... JA ... NGAN ... JU ... AL ... AA ... KU!" Tubuhnya meronta ketika Dom berusaha merengkuhnya.
"Tenanglah, tidak akan ada yang menjualmu. Kau aman di sini. Aman." Dom memberikan penekanan pada kata aman sambil mencoba meraih pucuk kepala Margareth.
Kendati remasan Margareth pada remasan Dom masih liat, racauan wanita itu yang semula mengeras luntur perlahan, ketika sentuhan Dom yang lembut.
Akhirnya kedua mata Margareth terbuka perlahan. Pandangan mereka berdua pun berserobok.
Dom mengusap-usap kepala Margareth. Sedangkan, bahu wanita itu masih tegang, ia menjatuhi pandangan ke sekeliling memastikan dia sekarang ada di mana.
"Tidak akan ada yang bisa menyakitimu di tempat ini," mulai Dom kembali. "Aku menjamin keselamatanmu, termasuk Jeanny."
Margareth sontak kembali bertumpu pandangan pada Dom. "Jeanny! Apa dia baik-baik saja?! Katakan!" desak Margareth, mendorong tubuhnya bangkit tanpa sadar.
Dom tampak memandangi jendela belakang Margareth. Sembari memikirkan jawaban selain ia belum berkabar dengan Jeanny selama tiga.
"J-Jangan biarkan ... mereka mengambil Jeanny-ku! Jangan biarkan ... mereka merusak Jeanny, ... aku mohon!"
Racauan Margareth kali ini membuat Dom memiringkan kepalanya. Sembari mengusap bahu Margareth, Dom melakukan usapan demi usapan seiring membuat wanita itu mulai mengendurkan ketegangan.
"Apa yang terjadi dengan kalian berdua?" Rasa penasaran tercetak kuat di wajah rupawan Dom.
Bibir Margareth bergetar. Ia menunduk dan menjatuhi tatapan ngeri ke titik kain selimut. "To-tolong ... jangan biarkan orang-orang itu mengambil Jeanny ... dariku."
"Orang-orang?"
"M-Meereka ..."
Dom menjulurkan kepalanya mendekat ke bibir Margareth ketika suara wanita itu hampir lenyap karena berselimut isak tangis.
Mendengar kelanjutan kalimat itu, Dom mendelik.
"Aku tidak mau Jeanny rusak sepertiku ... aku mohon lindungi Jeanny-ku ...." Semakin surut pula suara Margareth hingga seperti gumaman tidur.
Dom mundur dan menatap tajam tepat ke dalam netra Margareth penuh air mata. Sesaat ia membisu. Tangannya meraih pundak Margareth dan memeluknya perlahan, seolah tubuh rapuh nan renta itu siap pecah kapan saja.
Sosok lain yang lebih muda berdiri di gawang pintu entah sejak kapan. Dirinya turut mematung melihat atasannya mendekap Ibunya yang histerianya sempat kambuh.
Air matanya kontan menetes. Begitu kepalanya menoleh, ia mendapati sebuket bunga mawar merah mewah dengan pita emas dibalut kertas putih bertuliskan Jeanny, My Sweetheart tergeletak di kursi, di mana biasanya ia duduk menunggu Ibunya siuman.
"Dari mana saja kau?"
Jeanny nyaris tersedak isak tangis harunya ketika mendengar suara dominan itu berhasil menggelitik telinganya.
"Kenapa selama tiga jam menghilang?"
Pipi gadis itu memerah seketika ketika suara arogan itu mencuat, aroma white musk turut hadir menggoyang kakinya hingga tidak sadar hampir terpelecok jika Dom tidak menangkup tubuh kecilnya.
"Memang, kau selalu ceroboh."
Jeanny kehabisan kata-kata.
Question's Time:
💋 Hyaaa what happen aya naon?
💋 Apa hubungan dom dengan margareth?
💋 Apa jangan-jangan.... Jangan-jangan.....?
Tekan ⭐ kalau kamu suka part ini! Jangan lupa bagikan ke teman-temanmu biar makin seru cerita ini!
Holy Kiss,
💋
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top