28 - Carring Daddy - Tubuh Berotot yang Menggoda
"Good morning, Honey~"
Telinga Jeanny seketika menghangat begitu disambut oleh suara berat dan terkesan intim. Netra sewarna madu itu membius Jeanny beberapa detik. Seolah ada yang membungkus tubuh gadis itu sampai tidak bisa berkutik dari posisi berdirinya yang tak stabil. Hingga tangan berotot kukuh itu terjulur dan menyelisipkan poni Jeanny ke belakang telinga. Serta-merta tubuh si gadis doyong hampir jatuh ke belakang jika Dom tak segera menarik tangan kurus itu kembali berpijak dengan benar.
"Are you okay?" Dom kembali bersuara lagi memastikan apakah gadis di hadapannya ini masih berada di alam mimpi atau sudah bangun.
"Ah ... tidak...." Sontak Jeanny berjengit, begitu kesadarannya kembali utuh. Melihat sosok atasannya secara nyata. Kedua tangannya refleks meraba-raba wajahnya yang kumal dan masih meninggalkan aroma apak bangun tidur. Merasa tak pantas, ia tundukkan kepalanya dan melangkah mundur dengan kikuk. "Apa yang kau lakukan di sini, Sir?"
Alis Dom mengernyit tidak suka. "Beginikah caramu membalas sapaku di pagi yang cerah ini, dengan panggilan berjarak?"
Jeanny refleks menangkap sinar matahari menembus gorden yang menajamkan siluet serta lekuk tubuh Dom. Sedangkan pria itu merapatkan kembali jarak di antara keduanya. Semakin terlihat lebih jelas bagaimana kaos hitam itu mencetak volume bidang pria itu yang begitu atletis.
"B-Bukankah kau ada rapat mendesak?" Jeanny justru balik bertanya dengan mencari-cari objek pandangan lain karena Dom terus-terusan menghujani tatapan seperti jaring laba-laba. Begitu memikat erat.
Dom mendecak. "Apakah urusan PA-ku dan keselamatan hidup-mati ibunya tidak kalah penting?"
Bibir Jeanny bergetar sembari mengukir senyum kaku. "Maafkan aku, tak seharusnya kau melihatku dan Mommy seperti sekarang ini."
Dom yang awalnya bersedekap, menarik pinggang Jeanny. Sementara gadis itu masih bergeming merapat ke pinggiran kasur pesakitan Ibunya. Tangan Dom sebelahnya mengusap lembut pipi Jeanny.
"Hei, mata dan telingaku selalu ada di sini. Kau lupa siapa otoritas tertinggi di SWS ini?" Wajah Dom merendah untuk menyamai tinggi rata-rata wajah Jeanny yang mulai memerah. "Semua yang ada di sini adalah tanggung jawabku. Termasuk kau dan ibumu ini," imbuhnya sembari memberi intonasi khusus di kalimat terakhirnya.
Jantung Jeanny berdetak kencang mendengarnya. Saat ini ia merasakan kehangatan yang membuat bahunya lebih ringan, dan di saat itu juga entah mengapa merasakan dominasi Dom yang lebih intensif dari biasanya, belakangan ini.
"Si–maksudku Dom, terima kasih atas perhatian dan pertolonganmu," Jeanny memulai, kembali menemukan suaranya yang sempat serak. Namun, tiba-tiba lidahnya menjadi kelu, karena teringat dengan perkataan gadis pirang yang seharusnya mengantarkannya ke SWS. "Mommy-ku sudah membaik lagi."
Gadis itu melepaskan perlahan rengkuhan Dom yang entah sejak kapan makin kencang di pinggangnya. Posisi itu seharusnya cukup nyaman, tapi agresivitas pria itu membuatnya gelisah, apalagi di sampingnya sang Ibu masih terpejam.
Dom merasa ucapan gadis itu kurang membuatnya puas. Meski tampak enggan, pria itu akhirnya melepaskannya. Ia menarik kursi yang tadinya terdorong menjauh untuk menginstruksikan Jeanny duduk di sampingnya.
Jeanny mematung sesaat. Apakah semua perlakuan Dom pantas ia terima? Dan, bagaimana jika atasannya bosan dengannya, lalu dibuang begitu saja?
"Kenapa, Sweety? Kau tidak suka aku di sini?"
Jeanny spontan menggeleng, dan membalas tatapan Dom yang menuntut jawaban positif. "Tidak, bukan begitu, Dom. Aku hanya khawatir jika waktumu terbuang banyak dengan berada di sini."
"Sungguh? Tapi aku justru merasa kau tampak tak nyaman dengan keberadaanku di sini," tukas Dom, terdengar nada putus asa.
"Please, Dom." Jeanny tersentak melihat air muka atasannya yang muram, dan tidak biasanya atau terbilang sangat jarang ia temui Dom berekspresi seperti mendapat penolakan. Jeanny paham rasanya akan hal itu. Gadis itu secara intuitif menggeser kursi plastiknya mendekat ke samping kursi Dom. Ia melirik kursi plastik yang sejenis tengah diduduki pria itu. Pasti rasanya tak senyaman kursi di kantornya.
Keheningan mengisi sejenak, kali ini Dom memilih menunggu gelagat Jeanny hendak melanjutkan.
Sedangkan, pikiran Jeanny melanglang buana ketika bersama Mike di perpustakaan. Perkataan pria berkacamata tempo hari tentang gelar sarjana membuat hati gadis itu nyeri. Ia pun menelan ludah. "Aku tidak memiliki pengalaman bekerja di kantoran. Aku merasa sangat tidak profesional bekerja denganmu, bahkan belum benar-benar paham menjadi PA-mu. Aku lebih banyak merepotkanmu daripada memberikan apa yang seharusnya menjadi hal lebih berguna–"
Dom seketika menaruh telunjuknya di bibir Jeanny. Sementara napas gadis itu seolah terhenti beberapa detik, ketika syaraf-syaraf bibirnya yang paling sensitif merasakan sentuhan fisik itu. Sayangnya meski hanya sesaat hinggap, sensasi panas dan aroma cologne menguar lembut ke penghidu memenuhi isi kepalanya.
"Aku tidak suka kau yang rendah diri seperti ini. Mana Gadis Valentine-ku yang selalu ceria dan bersemangat?" Dom mengubah kursinya untuk berhadapan dengan Jeanny.
Jeanny hendak menyela, tapi Dom lebih dulu mendominasi ruang gerak si gadis. Mengunci kedua kaki kurus berbalut jeans usang itu dengan kakinya.
"Kau tidak bisa mendapatkan pengalaman sebelum kau memulainya dari awal terlebih dahulu." Pria itu mengusap-usap jemari Jeanny yang saling menangkup di pangkuan, lalu ia kecup punggung tangannya.
Mulut Jeanny tergaguk-gaguk, tidak tahu harus merespon bagaimana. Dom terlalu manis memperlakukannya selama ini. Meski dirinya belum memberikan hasil kinerjanya secara maksimal.
Dom menoleh ke arah Margareth. "Kau tidak mau kan membuat Mommy-mu banyak pikiran ketika terbangun dan mendapati putri semata wayangnya bersedih?" Lalu kembali mendaratkan tatapannya ke arah Jeanny.
Mata Jeanny mulai berkaca-kaca sambil memandangi wajah Ibunya. Ia mendapati kembali kekuatannya ketika ada seseorang yang masih berharap padanya.
"Terima kasih, ..." Jeanny menoleh kembali dan hatinya kembali berdebar begitu menyadari bahwa kedua tangannya masih di genggaman atasannya itu. "... Dom."
Bolehkah dirinya berharap lebih juga?
"Jadi, apa yang membuat Mommy-mu bunuh diri?"
Pertanyaan Dom serta-merta membuat hatinya seolah ditusuk pedang. Sayangnya, Jeanny hanya menyalin cerita yang ia dapatkan dari suster yang merawat Ibunya.
Ketika nama Mike ikut andil dalam penanganan Margareth, Dom menyela, "Kau mengenal siapa laki-laki itu?"
Jeanny menggeleng. "Mommy-ku yang mengenalnya, tapi dia sebelumnya tidak pernah bercerita padaku siapa Mike. Maaf Dom, hanya itu yang bisa kubagikan kepadamu."
Merasa tidak ada informasi lebih lanjut dari mulut Jeanny, Dom tidak lagi memberondong pertanyaan yang membuat suasana hati Jeanny kembali bersedih. "Jangan meminta maaf, kau tidak salah. Kau juga membutuhkan pekerjaan, Mommy-mu membutuhkan obat, dan aku membutuhkanmu."
Jeanny lagi-lagi tersipu mendengar itu langsung dari telinganya, bersamaan itu tiba-tiba perutnya bergemuruh. Menimbulkan bunyi yang membuatnya refleks menutupi wajahnya.
Dom menahan suara tawanya. Meski teredam, tetap lolos ke pendengaran Jeanny yang memekik mungil.
"Sebelum melaksanakan tugasmu sebagai PA-ku, kau harus mengisi perutmu." Dom lekas berdiri dan menarik Jeanny untuk mengikutinya.
"Terima kasih, Dom. kau tak perlu repot-repot, aku masih ada keperluan mengurus treatment lanjutan Mommy-ku."
Dom memicingkan matanya. "Kau ingin menolakku lagi?"
"B-Bu ... Bukan begitu, Dom." Jeanny yang gelagapan dan bingung bagaimana cara mengatakan kepada atasannya untuk menolak tanpa ada maksud tidak menyukai pemberiannya.
Kemudian Dom menjentikkan jarinya. Suara gagang pintu yang diputar menampilkan siluet seseorang.
Mulut Jeanny terbungkam.
Question's Time:
💋 Kira-kira kenapa Margareth suicidal?
💋 Apakah gara-gara tekanan seseorang atau sesuatu?
💋 Jika lagi down kayak Margareth, apa yang bakal kamu lakuin agar tidak suicidal?
Tekan ⭐ kalau kamu suka part ini! Jangan lupa bagikan ke teman-temanmu biar makin seru cerita ini!
Holy Kiss,
💋
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top