20 - Daddy's Charisma - Getaran yang Memuaskan

Begitu baling-baling helikopter berhenti, seorang bodyguard berpakaian kasual membukakan akses keluar.

"Aku ingin mengundang Victor Kromm makan malam empat mata. Perintahkan para staf untuk menghidangkan makanan laut mediterania terbaik," titah Dom menatap serius seorang butler paruh baya yang turut menyambut kedatangannya. "Malam ini, pukul sembilan. Hanya Victor Kromm," imbuh pria itu memberi aksentuase pada nama calon tamunya.

Si butler mengangguk hormat usai mengiyakan perintah, dan segera turun dari rooftop melalui lift.

Sementara, Dom pun menyusuri setapak selasar atap yang ditanami rumput hijau segar sembari melepaskan kacamata hitamnya kepada seorang maid. Ia letakkan kacamata itu lantas mengambil champagne dingin di atas nampan.

"Air hangat sudah siap, Tuan. Apakah ada kudapan yang Anda inginkan menjelang sore?"

Dom memandang miring maid bermata biru langit itu. Sepintas saja, wajah Jeanny terpatrikan dengan halus, menggantikan wajah latin pelayan berapron itu. Gambaran makan malam romantis kembali berputar. Jeanny yang menggemaskan seperti anak kecil ketika mengunyah cheesecake stroberi dan tercecer sedikit di sudut bibir, hingga kegagapannya menumpahkan wine merah ke gaun putih. Dom sedikit menyesali, kenapa tidak mengundang Jeanny ke gubuk homy-nya saat itu juga. Barangkali hubungan mereka jauh lebih dekat lagi sekarang.

"Cheesecake dengan saus stroberi," kata Dom tegas, lebih serupa perintah.

Lalu pria itu memasuki sebuah bilik bersekat kaca. Dikelilingi jendela kaca besar anti peluru yang membiaskan lanskap metropolitan Las Vegas dari perbukitan. Kamar mandi kering menuju sebuah sunken tub yang sudah mengepulkan air hangat. Otot kukuh yang membentuk bodinya mengilap bermandikan cahaya pukul setengah lima terpampang jelas ketika ia melucuti pakaiannya satu demi satu. Sembari melangkahkan kaki memasuki bibir jacuzzi, sensasi hangat menjalar begitu merelaksasikan seluruh syaraf tubuh.

Debas panjang terlepas dari mulut Dom. Ia memejamkan mata, menikmati setiap semburan air yang membuat rendaman air hangat itu saling menghantam tubuhnya. Namun, bayangan yang muncul justru reaksi tak bersahabat dari ibunya Jeanny.

Dom memang tidak sering mengunjungi SWS, tetapi ia selalu memperhatikan Margareth termenung dari kejauhan. Kiranya kondisi yang tampak membaik akan memberi peluang dirinya untuk memperkenalkan diri di depan ibunya Jeanny. Terlebih mengapa pria berkacamata itu justru bisa mengambil hati satu-satunya wanita Eurasia di SWS. Sayang, tidak sesuai harapan.

Begitu kelopak mata terbuka, sepasang netra keemasan itu menjumpai sosok yang selalu berlari-lari di kepalanya.

Sosok itu hanya berbalut sehelai handuk tipis. Salah satu tangannya menggenggam erat ujung handuk, yang amat disayangkan Dom tak bisa melihat lembah dari aset kembar empuk nan indah itu. Kendati demikian, lekuk gitar spanyolnya tak bisa kabur dari jangkauan mata berkilatnya. Dom tersenyum miring ketika sosok itu mencelupkan salah satu kaki jenjangnya ke guyuran air hangat.

Seketika temperatur kolam air hangat pria itu makin meningkat.

Tiba-tiba salah satu tangannya terjulur, mendarat di bahu bidang Dom. Jemari kecilnya sesekali menggelitik hingga pria itu berdecak. Sentuhan tipis itu perlahan memberi tekanan tertentu maju mundur. Pijatan demi pijatan membuat otot-otot kaku leher belakang Dom mengendur. Ia tak menduga sosok itu memiliki keterampilan melemaskan urat syaraf. Ketika tangan kecil satunya bergerilya ke bahu dan merayap ke area dada, Dom justru menarik tangan nakal si sosok itu hingga terseret ke dalam hantaman arus jacuzzi.

Dom mengurung sosok itu pada dinding bathtub dengan kedua lengan kukuhnya. Pria itu tidak akan membiarkan sosok itu kabur lagi. Ia condongkan wajah mendekat. Wajah sosok itu semerah tomat.

Semakin dekat, hingga sosok itu tidak bisa memberontak. Malahan justru menekan punggung Dom agar semakin maju.

Apakah sosok itu menginginkannya juga, Dom menerka-nerka.

Kesunyian pun melingkupi. Hanya terdengar kecipak air hangat lembut yang memenuhi sekeliling master bathroom-nya.

Namun, ketika Dom hendak menyentuh bibir tebal dari sosok yang selama ini mengusik gairahnya, tiba-tiba telinganya mendengar deringan ponsel. Otak Dom tengah mencerna beberapa detik ketika wajahnya nyaris mencium ujung pancuran jacuzzi.

"Shit!"

Dom beranjak seraya menyambar handuk. Sekali lalu mengangkat panggilan itu begitu nama Victor Kromm tertera di layar.

Usai konversasi singkat dengan Kepala SWS, jemari panjang Dom menggulirkan nomor kontak. Abjad J menjadi tujuan untuk mencari gadis itu.

"Kau punya waktu? Aku ingin mengajakmu keluar," ucap lugas Dom saat penerima telepon menyapanya dengan gugup. "Aku akan segera menjemputmu. Pastikan kau sudah siap," lanjutnya tanpa memberi waktu si penerima beralasan menolak.

Setelah memilih double rider jacket untuk membalut kaos yang mencetak dada kekarnya dan jeans senada hitam di walk-in-closet, Dom dikejutkan oleh troli makanan yang membawakan sepotong cheesecake stroberi indah. Namun, tak ia indahkan.

Keluar dari bilik ruang basah privatnya, Dom menghampiri maid latinnya.

"Kau habiskan saja cheesecake-nya. Aku akan keluar sekitar dua jam," perintah Dom.

"Baik, Tuan. Semoga perjalanan Anda menyenangkan." Pelayan wanita itu mengangguk hormat tanpa ada pertanyaan balik apalagi menolak.

"Apa yang membuatmu menemuiku?" Setiba di lapangan kosong berpasir sebelah apartemen, Jeanny mengusir kegugupan dengan berlagak tegas.

"Apa aku tidak diizinkan menemuimu?" Alis Dom terangkat sebelah.

Namun, lagi-lagi pertahanan Jeanny runtuh mendengar suara dalam atasannya. "B-Bukan begitu. Maksudku, kau orang sibuk. Apa kau tidak menyia-nyiakan waktumu ke sini? Kupikir kamu tidak ada janji temu dengan kolega akhir pekan."

Salah satu sudut bibir Dom terangkat. Ia melangkah maju, sementara Jeanny refleks mundur.

"Kau benar, memang tidak ada pekerjaan di akhir pekan." Arah padang Dom menjelajahi dari ujung kepala hingga kaki Jeanny.

"Kenapa memandangiku seperti itu?"

"Kapan terakhir kali kau naik bianglala?" Tak menjawab, Dom malah balik bertanya.

Jeanny tergugu sejenak. "A-Apa?"

"Kau mendengar dengan jelas," tukas Dom.

"Eh, bianglala? Ehm, tidak ingat. Itu sudah lama sekali, mungkin ketika SD."

"Bagus. Aku menginginkan insight-mu dengan membawamu ke taman ria."

"Sekarang?"

Dom tak menjawab dan justru berjalan ke kuda jingkrak lalu membukakan pintu kursi sebelah kemudi. "Masuk."

"Eh, tu-tunggu. Aku ambilkan tas dahulu."

Dom bersedekap menantinya.

Tak sampai lima menit, pria itu dapat mendengar kunci pintu terdengar dari bawah, mengingat lokasi kamar Jeanny paling ujung. Lalu gadis itu berlarian turun.

Ketika supercar Dom membelah jalan alternatif yang cukup lengang, Jeanny melirik pria itu diam-diam.

"Apa yang kita lakukan di sana nanti?"

Dom terkereseng mendengar pertanyaan kaku itu. "Aku ingin tahu seberapa menariknya taman bermain di matamu."

Jeanny terdiam, mencoba menyelami pikiran atasannya itu. Kemudian ketika hendak bertanya, Dom lekas memotongnya.

"Santai saja. Aku hanya ingin kesanmu terhadap taman ria."

"Apakah ini untuk pekerjaan? Kau mau membuat taman ria?"

Dom menoleh sejenak. "Bisa dibilang begitu."

"Astaga!" pekik Jeanny. "Kenapa tidak bilang dari awal? Aku seharusnya membawa tablet kerjaku dan buku agenda khusus PA ini.'

Dom terkekeh renyah. "Sudah kubilang, santai saja. Aku tidak ingin membebani penilaianmu sebagai tugas formalitas, melainkan aku ingin kesanmu sebagai pengunjung, Sweetheart."

"Baiklah ...."

"Bagaimana jika anggap saja kita sedang berkencan?" celetuk Dom sekonyong-konyong.

Kepala Jeanny mendadak dilandai badai. Saling berkecamuk. Gadis itu sontak menoleh. Apa ia salah dengar barusan? Pikirannya bergejolak. Demi Tuhan? Berkencan dengan Dom? Seorang Raja Kasino seantero Nevada?

"Jeanny?" Dom tiba-tiba menjentikkan jarinya di muka gadis itu. "Sudah sampai. Mau sampai kapan duduk di situ?"

"Oh, maaf, aku sering tidak sadar menggunakan mobilmu, tiba-tiba selalu saja sudah sampai," ucap Jeanny gelagapan.

"Are you okay?"

"I'm okay." Senyum Jeany bergetar, merutuki tingkah noraknya.

Padangan Jeanny lekas teralihkan. Melalui tempat parkir khusus, ia dapat melihat kemeriahan taman ria. Spot ikonis paling besar dan tinggi merenggut atensi gadis itu.

"Kau tahu, kenapa taman ria selalu memiliki bianglala?" ucap retoris Dom mengapit tangan mungil itu.

Jeanny terperanjat ketika Dom menggandeng tangannya.

Dom menarik Jeanny menuju loket karcis bianglala. Mata gadis itu membeliak.

"Tunggu, aku akan bayar milikku."

"Sudah terlambat," goda Dom yang menyodorkan selembar tiket naik bianglala.

"Aku akan menggantinya."

"Tidak perlu." Dom menahan Jeanny yang hendak mengambil dompet dari dalam tas. "Hanya $20."

Jeanny refleks menutupi mulutnya karena memekik. "Karena 20 dolar, aku harus mengembalikannya."

"No!" tegas Dom.

Jeanny bergeming. Mulutnya tergaguk-gaguk. Suara Dom begitu berat dan tak terbantahkan. Seketika bulu kuduknya meremang.

"Make it simple. Kau bisa membayarnya dengan memberi krisar mengenai kesanmu terhadap taman ria ini," kata Dom cepat. "Buat laporan dan besok kirimkan ke surel. Okay?"

Jeanny mengangguk. "Baik, mengerti."

"Jadi, bersantailah sekarang denganku, okay?" Dom yang mendapati ketakutan gadis itu terlihat dari tangannya yang bergetar, membelai pipi dengan lembut. "Aku hanya ingin kau menikmati akhir pekan. Kulihat kau tampak kurang bersenang-senang sebagaimana usiamu sekarang."

"Iya. Thank you." Perlahan hati Jeanny menghangat. Perkataan Dom mengingatkannya pada Mommy yang khawatir karena dirinya jarang bersenang-senang.

Ketika bilik bianglala yang dinaiki mulai bergerak ke atas, Jeanny refleks mencengkeram lengan Dom.

"Are you okay, Jeanny?" Dom turut menggenggam tangan Jeanny. "Wajahmu tampak pucat. Jangan bilang kau takut ketinggian?"

Jeanny mendongak. Matanya bertatapan langsung pada netra keemasan Dom. Seolah dirinya tenggelam di tengah pusaran samudra.

"B-Bukan," sahut Jeanny sambil menelan ludah. "Aku sedikit takut, tadi ketika akan naik kakiku seperti melayang dan lemas, membuatku kepikiran bagaimana jika ini jatuh."

Dom mengusap-usap bahu Jeanny yang semula tegang, kini tampak mengendur. Seiring goyangan bianglala itu mulai stabil.

"I see. Kupikir hentakan ketika naik agak kasar, begitu?" tangkap Dom.

"Kupikir begitu." Jeanny mengangguk.

"Lihat aku, Jeanny." Tangan pria itu terjulur, mengusap pipi gadis.

Ketika netra sebiru langit musim panas itu memasuki jeratan netra keemasannya, giliran Dom yang menyelami mata Jeanny. Sejenak mereka bertatapan cukup lama.

"Semuanya akan baik-baik saja."

Telinga Jeanny memang mendengar perkataan sederhana itu, tetapi matanya justru tertumbuk pada bibir bervolume milik Dom.

Tanpa sadar kaki Jeanny berjinjit. Mulut Jeanny terbuka hendak ingin mengatakan sesuatu. Di saat itu pula, Dom mencondongkan wajahnya ke bawah.

Napas mereka saling bertautan seiring tubuh mereka tanpa sekat.

Jeanny seolah lupa berpijak, tubuhnya oleng. Ia menjerit dan tubuhnya doyong di dada kekar Dom.

"Astaga, apa itu tadi!?" Tatapan Jeanny jelalatan sekeliling.

"Ah, sepertinya ini putaran terakhir sebelum kita benar-benar turun," sahut Dom yang melirik ke bawah, di mana beberapa penumpang satu demi satu keluar dari sangkar bilik bianglala.

"Cepatnya ...."

Dom menoleh, mendapati wajah Jeanny yang sepertinya tidak rela jika turun sekarang.

"Aku bisa beli tiketnya lagi, kita bisa habiskan malam akhir pekan sampai taman ria ini tutup."

"Jangan, please. Jangan habiskan 20 dolar sia-sia begini," tukas Jeanny memelas.

"Tidak ada yang sia-sia bila bersamamu, Honey," balas Dom membelai pipinya lembut.

Refleks Jeanny menangkup punggung tangan Dom yang besar itu. Ia dapat merabai betapa berototnya tangan hangat pria itu. Jantung Jeanny pun bertalu-talu nyaring, seolah merespons hasrat tersembunyinya.

Entah mengapa ia menginginkan sentuhan Dom lebih dari ini.

Sesaat giliran bilik bianglala mereka melandai, Jeanny dipersilakan keluar dahulu oleh Dom. Namun, sepatu hak pendek gadis itu terjepit pada besi yang menyambungkan kerangka badan bianglala. Kakinya yang tak siap menahan beban tubuh, terpelecok.

"Jeanny!" Sontak Dom menahan agar Jeanny tidak terjerembab.

"I-I'm okay. I'm okay." Namun, meski berkata demikian, rintihan Jeanny tidak terelakkan ketika mencoba berjalan sendiri.

"Really?"

"Aku masih bisa berjalan sendiri." Gadis itu memaksakan senyumnya. Ia mati-matian menyeret kakinya, melewati Dom.

Melihat Jeanny terseok-seok, Dom langsung mengangkat tubuh Jeanny dari belakang.

"Kita ke rumah sakit sekarang."

"Astaga, Dom!" Jeanny tersentak dirinya sudah melayang digendongan atasannya itu. "Tidak perlu. Ini hanya terkilir."

Dom tak mendengarnya dan terus menggendong Jeanny menuju bangku taman.

"Dom, please. Aku bisa mengompres ini," ucap Jeanny menyentuh rahang tegas Dom hingga pria itu menatapnya. "Aku tidak mau kau lagi-lagi menghabiskan selembar dolar untuk kakiku yang hanya terkilir ini. Lagi pula dokter mungkin hanya akan memberikan kompres juga."

"Kuantar kau pulang," respons Dom.

"Itu lebih baik."

Lagi-lagi Jeanny tercekat. Napasnya tertahan sejenak ketika Dom mengangkat tubuhnya, lalu menggendongnya menuju kuda jingkrak merah menyala.

Untung saja jarak menuju parkir khusus supercar tidak jauh. Jika tidak, Jeanny akan menahan napas sambil meremas kaos Dom. Betapa tidak, tubuhnya menjadi panas dingin dalam dekapan pria itu sepanjang jalan.

Setelah mengantarkan Jeanny kembali ke apartemen, bahkan tetap menggendongnya naik ke dalam bilik kamar, Dom segera berpamitan dengan meninggalkan jejak, kecupan di punggung tangan Jeanny.

Seketika sensasi senyar pada kakinya lenyap entah ke mana.

"Take care yourself, Sweetheart."

Ada perasaan membuncah, Jeanny mulai mempertanyakan, kenapa Dom tidak memilih pipinya untuk dikecup alih-alih hanya punggung tangannya?

Tak sampai empat puluh menit, Dom tiba di rumah megahnya, di atas lahan tinggi, di mana gurun disulap menjadi lapangan hijau segar.

Sekelabat ia menjala siluet yang tengah duduk di sofa tamunya. Sebagian besar dinding kaca dengan pencahayaan malam dari dalam ruang tamu membiaskan bahwa ada orang yang tengah menunggunya.

"Bersenang-senang dengan mainan barumu, Tuan Petrov?" sapa seorang pria paruh baya, begitu Dom melewati pintu utama kaca kediamannya. "Aku harap kau tak keberatan aku datang di awal janji. Aku hanya takut terjebak macet akhir pekan," sambungnya seraya mengepulkan asap cerutu hingga membubung.

Question's Time:

💋 Apa pendapatmu tentang part ini?

💋 Kira-kira apa yang bakal diperbincangkan Dom dan tamunya ya? Siapa nih tamu Dom? Axel kah? Atau malah Mike?

💋 Pernah naik bianglala? Gimana kesanmu naik bianglala?

💋 Wahana favoritmu apa ketika main ke taman ria?

Tekan ⭐ kalau kamu suka part ini! Jangan lupa bagikan ke teman-temanmu biar makin seru cerita ini!

Holy Kiss,

💋

[14/11/2020]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top