12 - Lunch with Daddy - Mendekat kepada Pria Lain

Langkah Jeanny berderap ketika memasuki panti tempat ibunya dirawat. Lagi-lagi dia harus terperangah melihat kejadian yang ada di hadapannya. Namun, sebelum melangkah lebih dalam, ia menarik napas dalam-dalam. Memikirkan pemberitahuan terkait dana dari SWS yang terus mencekik lehernya tak serta-merta membuat Jeanny mau beramah-ramah pada orang lain, apalagi orang itu sudah ia tandai sebagai orang yang mencurigakan.

Di ruang bersantai, pria berkacamata itu kini berdiri dengan santai di belakang Margareth yang duduk sembari memejamkan mata. Tangan dengan jemari panjang, tapi terlihat jantan itu dengan sabar menyisir rambut hitam lurus sebahu milik Margareth. Rambut dengan warna hitam pekat.

"Aku membelikanmu ini." Mike menyelipkan sebuah jepit rambut dengan warna keemasan berbentuk ranting daun yang elegan. Begitu kontras di atas warna hitam.

Margareth membuka mata dan mengangkat cermin kecil yang sedari tadi digenggamnya.

"Ya, Tuhan! Ini cantik sekali. Mahalkah?"

Mike hanya tertawa renyah menanggapi pertanyaan itu.

"Saya rasa Anda tidak perlu repot-repot, Mr. Johansson." Jeanny masuk ke pembicaraan mereka.

Margareth menoleh dan alisnya mengerut tidak suka. "Jangan berbuat tidak sopan pada Mike, Jean! Sudah berapa kali kubilang!"

Jeanny menarik napas. "Aku tidak suka berutang budi, Mom. Apalagi sampai diberi perhiasan emas."

"Jadi kau berpikir ini emas sungguhan?" Mike tersenyum sembari mengangkat kacamatanya sedikit ke atas. Mike merasakan kesenangan tersendiri menggoda gadis itu.

Wajah Jeanny memerah. Benar juga! Kenapa dia tak berpikir kalau itu jepit rambut emas imitasi. Jeanny terlalu sering bergaul dengan Dom hingga lupa tak semua orang mampu memberikan barang mahal ke orang lain. Apalagi orang dengan gangguan jiwa seperti Margareth.

"A-aku khawatir Mom menganggapnya begitu dan merasa terganggu." Jeanny bersikeras. Dia masih menjaga jarak dengan Mike dan berdiri dengan gaya yang sengaja dibuat angkuh.

"Emas ataupun bukan, karena ini pemberian Mike, akan kujaga baik-baik." Margareth masih memandangi rupanya di kaca. Kerut-kerut sudah mulai muncul di sudut matanya. Padahal usianya baru 30-an. Beban hidup telah mempercepat laju usianya. Padahal, wanita keturunan Rusia-Asia itu sangat-sangat cantik. Hidung mancung khas peranakan Eurasia, bibir bervolume yang seksi, juga kulit putih mulus tanpa bintik cokelat membuat semua orang setuju kalau Margareth wanita yang sangat menawan.

"Mungkin ada baiknya, kita ngobrol dengan santai, Miss Valentine. Ada banyak salah paham di antara kita berdua. Mungkin makan malam berdua di tempat yang kupilih? Aku mendapat rekomendasi sebuah tempat dari temanku di LV. Sebagai orang NYC, aku ingin juga mencicipinya."

"Pergilah. Kau sudah sangat tidak sopan pada Mike." Margaret memutar kursinya dan menghadap Jeanny. "Mike sahabatku. Kuharap kau pun bisa bersikap baik padanya. Aku akan langsung tidur." Wanita itu masih berusaha memaksa Jeanny. "Semoga bisa tidur," bisiknya lirih.

Jeanny mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Beberapa hal berkecamuk di benaknya. Namun, tiba-tiba sebuah ide melintas. Jika Mike memang mendekati ibunya, Jeanny harus tahu apa tujuannya. Cinta, atau sekadar ingin mengorek-ngorek masa lalu yang bisa membawa petaka.

Dia harus bisa melindungi Margareth!

"Baiklah. Mau ke mana kita?"

Mike tak menjawab dan mengecup punggung tangan Margareth untuk berpamitan.

"Hei! Kau tak menjawab pertanyaanku!" Jeanny tak suka melihat Mike memberi kode agar mengikutinya keluar panti.

"Kejutan. Kau tidak perlu tahu sekarang."

Mobil yang dikemudikan Mike pun meluncur membelah kota Las Vegas. Jeanny tak bicara dan hanya memandang ke luar jendela. Lampu-lampu gedung mulai terlihat berkilauan seiring senja menyapa.

"Ini mobil sewaan?" Jeanny tiba-tiba angkat bicara. Memikirkan harus mengendara sejauh 2000 mil lebih dari New York ke Las Vegas lebih tentu bukan keputusan bijak.

"Kau benar-benar kritis, Miss Valentine. Aku kagum."

"Jeanny. Panggil saja begitu. Mom bilang, kita harus akrab." Sebenarnya, Jeanny tidak suka. Namun, dia harus mengalah agar Margareth tidak stres lagi.

"Kalau begitu, panggil saja aku Mike, Jeanny." Mata Mike masih terfokus ke jalanan.

"Jadi, apa mobil ini sewaan, Mr. Johansson? Aku tak kenal mereknya."

Mike menoleh sebentar sambil mengangkat satu alisnya. Namun, dia tak membantah lagi saat Jeanny masih memanggilnya dengan nama keluarga. "Iya, ini mobil sewaan."

"Kenapa kau memilih ini? Mobil impian? Karena mirip milikmu? Atau apa?" Jeanny ingin tahu cara pandang Mike dalam memilih partner bekerjanya. Gadis itu percaya kalau mobil bagi banyak pria adalah pasangan hidup. Pilihan pria terhadap mobil menggambarkan kepribadiannya. Seperti Dom dengan mobilnya yang luar biasa mewah dan gagah. Namun, bisa saja karena ini mobil sewaan, semuanya tidak akan cocok dengan sifat asli Michael.

Tawa kecil terdengar. "Aku belum pernah naik mobil ini sebelumnya. Aku ingin mencobanya."

"Tak ingin beli?"

Lagi-lagi Mike menoleh heran. "Kenapa?"

"Aku yang bertanya." Jeanny membuang mukanya.

Mike menarik napas panjang seolah berusaha menyabarkan dirinya. "Ini cukup bagus dan nyaman. Namun, harga dan fasilitasnya tidak cocok buatku."

Jeanny mengangguk-angguk. Dibanding mobil Dom, mobil yang disewa Mike terlihat murahan. Kesannya casual dan nyaman. Tidak ada aura mewah yang memancar. Mobil berwarna biru dengan logo yang asing di mata Jeanny. Jarang dia melihatnya di parkiran kasino.

Kalau Mike tidak cocok dengan harganya, artinya mobil ini,terlalu mahal baginya. Dia bukan orang kaya. Lalu mengapa mengejar Margareth?

"Nah, kita sudah sampai."

Mike memarkirkan mobilnya di 420 E Pilot Road. Jeanny melihat ke sekeliling. Mau ke mana mereka.

Mike menunjuk ke suatu tempat. Di sudut lapangan, telah parkir melintang truk makanan berwarna biru cerah dengan lampu berkerlap-kerlip di sekitarnya. Tulisan besar bertuliskan Sticky Iggies terpampang nyata.

"Food truck? Sungguh?" Setelah makan malam di restoran kelas atas, kini justru dia harus diajak makan di sebuah food truck oleh seorang pria yang katanya ingin mengambil hatinya sebagai sahabat?

"Kau tidak suka?"

"Bukan begitu." Jeanny berusaha meralat kalimatnya. "Aku tak menyangka seleramu seperti ini."

Mike tergelak. Bahunya naik turun dengan riang. "Ini hanya buka seminggu sekali dan orang-orang bilang rasanya luar biasa enak. Mumpung aku di Las Vegas, kenapa harus mencoba restoran lain yang menunya juga bisa kudapatkan di NYC?"

Jeanny tak membantah lagi.

"Kau mau apa? Pilih saja. Biar aku yang bayar." Mike mengeluarkan kartunya.

Jeanny mengamati dompet pria itu. Sederhana dan polos. Dompet kulit hitam dengan banyak ruang. Namun, hanya terlihat satu kartu kredit lain yang menyembul keluar. Bukan platinum credit card. Hanya kartu biasa saja.

Dua kartu kredit biasa. Uang cash yang tersimpan di balik ritsleting juga tak terlihat tebal. Apa dia juga banyak utang seperti dirinya?

"Chicken and waffle satu." Mike mulai melancarkan pesanannya.

"Churro waffle." Jeanny menyambung pesannya. Dia tak ingin membeli yang mahal. Memilih menu paling murah adalah cara agar tidak merepotkan orang lain.

"Chocolate dip with cheesecake." Mike menambah pesanannya.

Mereka pun duduk di meja bundar kecil yang disediakan di depan food truck. Dua kursi tanpa sandaran menjadi teman duduk mereka kali ini.

Dua soft drink juga sudah tersedia. Angin malam mengembus lembut, tapi tidak terlalu dingin. Jeanny cukup menyukai suasana seperti ini. Suara tawa dari pengunjung lain menyapa telinga. Begitu akrab dan santai. Dia bebas melakukan apa pun tanpa harus takut salah dalam melakukan etika makan. Rasanya menyenangkan dan bebas.

"Ini cheesecake untukmu. Maaf kalau aku memesannya tanpa persetujuanmu. Namun, kurasa churro tidak akan membuatmu kenyang." Lagi-lagi Mike memamerkan senyum yang begitu lembut. "Kau tidak merepotkan. Tidak perlu sengaja memesan menu yang paling murah."

Jeanny terperanjat. Bagaimana mungkin pria dengan rambut kecokelatan itu bisa menebak?

"Atau sebenarnya kau hanya takut gendut?" Mike tertawa keras. Lesung pipinya terlihat begitu jelas menambah manis wajah yang terlihat sangat puas itu.

Semua perasaan was-was yang tadi dirasa Jeanny menguap sudah berganti kesal. "Tidak! Enak saja!" Gadis itu langsung melahap semua yang ada di hadapannya.

"Jeanny, aku sungguh-sungguh ingin bersahabat dengan ibumu." Mike membuka pembicaraan tak berapa lama kemudian. " Apa aku begitu menyebalkan bagimu?"

Jeanny hanya bisa menarik napas dan mengembuskannya panjang. Karena pekerjaanmu seorang pengacara, maka aku tak bisa mempercayaimu, batin Jeanny mencerocos. Namun, mulutnya tak mengeluarkan sepatah kata pun.

"Margareth terlihat begitu rapuh saat aku pertama kali melihatnya di panti beberapa waktu lalu." Mike menatap Jeanny serius. "Aku hanya ingin melihatnya tersenyum dan tertawa. Dia wanita yang sangat cantik dan tegar. Aku tak bisa membayangkan masa lalu yang sampai membuatnya begitu trauma. Aku hanya ingin melindunginya dari masa lalu itu. Agar tak mengusiknya lagi "

"Jadi kau tidak mengorek-ngorek masa lalu ibuku?" Mata jeanny menyipit tak percaya.

"Tidak. Kita berdua sama sama tahu kalau masa lalu membuat Margareth histeris. Lalu untuk apa aku membuat keadaannya semakin buruk?"

Jeanny berusaha menggali kalimat dusta dari pria di hadapannya. Namun netra sewarna emerald itu terlihat begitu jujur dan tulus.

"Baiklah, Mike. Namun, kalau kau menyakiti ibuku, aku tak akan pernah memaafkanmu. Kau dengar?!"

Mata Mike membeliak mendengar nama depannya dipanggil. Ada sesuatu mengalir hangat di dadanya.

"Thank you, Jeanny."

Question's Time:

💋 Pernah makan di food truck? Jajanan apa yang paling kalian suka baru-baru ini?

💋 Lebih suka jajan atau bikin makan sendiri?

💋 Kira-kira Mike bakal ngapain Mommynya Jeanny yah kok nempel terus (ups)? Jangan-jangan beneran naksir?

💋 Gimana menurut kamu tentang bab ini?

Tekan ⭐ kalau kamu suka part ini! Jangan lupa bagikan ke teman-temanmu biar makin seru cerita ini!

Sweet Kiss,

💋

[31/10/2020]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top