07 - Daddy's Fascination - Kebersamaan yang Memabukkan

Tubuh Jeanny menggelenyar dan lututnya terasa goyah akibat embusan napas Domivick yang meniup daun telinga gadis itu. Untung saja ia sedang duduk di kursi empuk yang sangat ergonomis. Jika tidak, tentu ia butuh pegangan untuk menegakkan tubuh.

"A-aku hanya tidak ingin mengecewakanmu dengan kinerja yang buruk. Aku tak punya pengalaman kerja, cigarette girl adalah pekerjaan pertamaku." Akhirnya otak Jeanny mampu menyusun kalimat dengan baik, meski tubuhnya saat ini dipenuhi oleh kabut hasrat.

"Kau bisa belajar. Tidak sulit menjadi personal assistant," yakin Dom.

Jeanny teramat tahu, Dom dengan mudah dapat mempekerjakan orang yang jauh lebih kompeten dan berpengalaman dibanding dirinya. Apa yang membuat pria itu bersikukuh?

Gadis belia itu tak menjawab, hanya mengalihkan pandangan dari tatapan intens netra sewarna emas milik Domivick. Ia memindahkan atensinya kepada hidangan daging domba tanpa tulang yang terhidang mewah di meja. Campuran aroma dari peterseli, bawang putih, dan pancetta yang membalut permukaan daging domba, terasa begitu lezat ketika masuk ke mulutnya. Ia mengunyah nikmat makanan terlezat yang baru pertama ia rasakan.

Ibu Jeanny sudah sejak lama menderita penyakit mental, sementara orang tua angkatnya bukanlah orang yang memiliki harta berlimpah. Gadis itu sudah sangat bersyukur keluarga angkatnya selalu bersikap baik dan menganggapnya bagian dari keluarga mereka. Ia tahu bagaimana seharusnya memosisikan diri dan tak pernah menuntut lebih.

"Jadi, kau mau kan menjadi personal assistant-ku?" tanya Domivick sambil meraih tangan mungil Jeanny.

Lamunan gadis bergaun putih itu pun terhenti oleh sentuhan Domivick yang tiba-tiba di tangannya. Ia tersedak karena terkejut. Jeanny batuk-batuk hingga wajahnya merah, cepat-cepat ia menarik tangannya untuk menutupi mulut yang masih penuh dengan makanan.

Domivick segera bangkit, menepuk-nepuk ringan punggung Jeanny. Kemudian setelah batuknya mereda, lelaki itu menyerahkan segelas air putih.

"Ini, minumlah!"

Jeanny mengambil gelas yang disodorkan oleh Domivick, kemudian meminum isinya. Napas gadis berambut kecokelatan itu kembali normal. Rona merah di wajahnya perlahan memudar.

"Thank you," kata Jeanny lirih.

"Never mind. Apa makanannya terlalu pedas? Atau ada sesuatu yang tidak enak? Biar aku bicara dengan manajernya." Domivick mengelus-elus punggung Jeanny.

"Eh, tidak. Makanannya sangat enak." Buru-buru Jeanny menyangkal. Ia tidak ingin Dom salah paham yang bisa menyebabkan sang manajer restoran terkena masalah. "Aku hanya terkejut dengan pertanyaanmu," aku gadis itu malu-malu.

"Maaf jika pertanyaanku mengejutkanmu. Aku hanya ingin membantumu meraih kehidupan yang lebih layak."

Gadis itu menoleh, netra birunya menatap mata emas Domivick, meyakinkan pria itu bahwa dirinya baik-baik saja. Dengan lembut Jeanny menyentuh tangan Domivick yang masih memegangi bahunya.

Pria di hadapannya ini seakan berbeda dari doktrin yang selalu diucapkan Margareth. Domivick sama sekali bukan pria berengsek. Ia sangar, tegas, dominan, tapi sekaligus lembut dan perhatian. Jeanny masih ingat bagaimana pria tampan itu meninju lelaki yang hendak melecehkannya. Juga sikapnya ketika Jeanny tersedak tadi.

"I know. Tolong beri aku waktu untuk berpikir," mohon Jeanny.

Domivick mengalah. Ia tidak ingin Jeanny merasa tidak nyaman karena ia terlalu mendesaknya. "Alright. Kapan pun kau merasa yakin, datang saja ke kantorku. Aku akan langsung menyiapkan kontrak kerjanya."

"Terima kasih."

Jeanny mungkin orang terbodoh, karena melewatkan tawaran pekerjaan bagus di depan matanya. Namun, ia memang harus memikirkan matang-matang. Apalagi jika ternyata jam kerjanya nanti membuat ia sulit merawat ibunya. Ia harus memastikan lebih dulu bagaimana jam kerjanya, bagaimana perhitungan gajinya, juga apa saja tugas yang harus ia kerjakan nantinya.

Domivick telah kembali ke kursinya dan mengambil makanan ke piringnya. Sementara Jeanny melanjutkan makan hidangan utama yang sempat terhenti karena insiden tersedak. Indera pengecapnya benar-benar dimanjakan oleh kelezatan makanan yang tersaji. Sesaat keheningan hadir di antara mereka, hanya terdengar denting sendok dan garpu yang beradu dengan piring. Untunglah seorang pelayan datang membawakan hidangan penutup dan sebotol wine jenis Cabernet Sauvignon yang diletakkan dalam wadah berisi ice cubes.

Mata Jeanny berbinar melihat hidangan itu diletakkan di atas meja. Oh, dari tampilannya saja hidangan itu sungguh menggoda. Cheesecake dengan saus stroberi yang tampak meleleh ditambah taburan buah stroberi dan raspberry yang segar. Lidah gadis itu tak tahan untuk mencicipi.

Pelayan itu rupanya tidak langsung pergi, melainkan memperlihatkan botol wine dan menjelaskan sejumlah informasi yang tertera pada label minuman itu. Domivick tersenyum mengangguk, puas karena keterangan yang diberikan oleh si pelayan sesuai dengan seleranya. Ia pun meminta pelayan itu untuk menuangkan wine ke dalam gelas berkaki di atas meja.

Jeanny menyendok cheesecake dan memasukkannya ke mulut dengan suapan besar. Rasa krim keju berpadu dengan manis asam stroberi. Ia baru ingin menyendok lagi ketika Domivick mengangsurkan gelas berisi red wine kepadanya. Ia pun meletakkan sendoknya, lalu mengambil gelas yang diberikan oleh pria bertuksedo putih itu.

Meskipun bekerja di sebuah kasino mewah yang menyediakan berbagai macam minuman beralkohol, Jeanny tak pernah mencobanya. Tentu saja, ia tak boleh sampai mabuk saat sedang bekerja. Hanya sekali Jeanny menjajal minuman beralkohol, ketika ia menghadiri pesta ulang tahun temannya di high school. Ia dipaksa meminum segelas fruit beer. Jujur saja ia kapok, meski katanya bir tersebut beraroma citrus, tetap saja rasa pahit mendominasi mulutnya. Begitu ditelan, kerongkongannya terasa seolah terbakar. Apalagi setelah itu ia terpaksa kepayahan karena pusing dan mual di kamar kecil.

Jeanny memandangi cairan merah bening di gelas berkaki yang ia genggam. Kemudian menatap pria di hadapannya yang mengangkat gelas wine-nya ke arah gadis itu.

"Toast," ujarnya.

Jeanny sejenak tampak ragu, tetapi akhirnya ikut mengangkat gelas wine-nya, lalu mendentingkan dengan milik Dom. Tentu saja tidak sopan, bukan, jika ia menolaknya. Lagi pula hanya seteguk tentu tidak akan masalah.

Dom menggoyang-goyangkan gelasnya untuk membuat cairan wine beraerasi. Setelah itu ia mendekatkan bibir gelas ke hidungnya, mencium aroma red wine yang khas. Kemudian menyesap isinya. Perlahan aliran wine menyentuh seluruh bagian mulutnya, pria itu tampak begitu menikmati rasa manis, sepat, dan asam minumannya.

Jeanny memperhatikan apa yang dilakukan oleh bosnya, lalu mengikutinya. Gadis itu menyingkirkan keraguannya, kemudian secepatnya meneguk minuman itu hingga habis. Ia bahkan tak sempat menyesap rasanya. Ia hanya ingat rasa manis dan sedikit asam ketika cairan merah itu memasuki mulutnya, lantas berganti dengan pahit dan panas begitu melewati kerongkongannya.

"Hei, bukan begitu menikmati red wine, Manis!" komentar Dom saat melihat Jeanny langsung menghabiskan isi gelasnya. "Kau harus menyesapnya perlahan-lahan, hingga semua rasanya meledak di mulutmu."

Jeanny tersenyum canggung. Ia hanya tak ingin kehilangan keberanian saat meminum anggur tadi.

"Sini, biar kuisi lagi," ujar Domivick seraya menuangkan wine ke dalam gelas Jeanny.

Gadis itu tak sanggup menolak. Ia pun mengangkat gelas, lalu mengajak Dom bersulang.

Usai bersulang, Jeanny menggoyang-goyangkan gelasnya, persis seperti yang tadi dilakukan oleh Dom. Namun, gerakan tangannya terlalu kencang hingga membuat cairan merah itu tumpah membasahi gaun putihnya.

Gadis muda itu panik, ia segera meletakkan gelasnya di meja, lalu menyambar napkin untuk membersihkan noda di bajunya. Tidak hilang, sepertinya ia harus membasuhnya dengan sedikit air.

"Maaf, aku harus ke toilet sebentar," pamit Jeanny seraya memundurkan kursi dan berdiri.

Namun, baru satu langkah berjalan, kaki jenjangnya yang memakai high heels setinggi tujuh sentimeter terkilir hingga membuatnya sedikit limbung. Dom segera bangkit dari kursi, lalu membantu gadis itu.

"Be careful, Sweety!" ucap Dom sambil membimbing Jeanny duduk ke kursinya lagi.

"Oh, Dom, maafkan aku. Bajunya jadi kotor," sesal Jeanny. Ia masih saja menggosokkan napkin ke noda di bajunya.

"Ssst...!" Dom menempelkan telunjuknya ke bibir Jeanny. "Sudah biarkan saja. Nanti akan kubelikan lagi baju-baju untukmu."

Sentuhan tangan Domivick di bibir Jeanny membuat dada gadis itu bergemuruh. Tanpa sadar ia menatap bibir tebal milik Dom dan mendambakannya.

Jeanny buru-buru menggelengkan kepala, mengusir rasa panas yang mulai menggeliat di dirinya. Mungkinkah ini efek minuman beralkohol yang tadi ditenggaknya?

Gadis itu bahkan tak tahu mana yang lebih memabukkan, wine atau Dom. 

Q- Time:

💋 Mana yang lebih memabukkan Wine or Dom?

💋 Oh, God! Jeanny oleng, kira-kira apa yang bakal terjadi selanjutnya!? Apakah akan piiiip???

💋 Apa kamu gemes so Jeanny ga jawab-jawab apa dia mau jadi PA? Dom juga!

💋 Seandainya Jeanny nolak, Dom bakal apa? Lamar aja langsung jadi istri biar nggak pake lama mungkin?

Tekan ⭐️ kalau kamu suka part ini! Jangan lupa bagikan ke teman-temanmu biar makin seru cerita ini!

Muah Muah Muah,

💋

[23/10/2020]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top