02 - Daddy's invitation - Langkah yang Mendamba

"Akhirnya kau keluar juga. Dari tadi aku menunggu di dalam mobil, tetapi tidak ada dirimu di dalam rombongan karyawan shift malam yang melewati gerbang ini."

Suara berat nan seksi milik Domivick menghanyutkan angan Jeanny, hingga sesaat ia tidak dapat membedakan kenyataan dan khayalan.

"Siapa namamu, Manis?" tanya Domivick sambil mengangsurkan tangannya dengan sopan tepat ketika ia berada selangkah di hadapan gadis belia yang berdiri kaku.

Tangan kukuh Domivick yang terulur di depan wajah Jeanny menyentak kesadarannya. Dengan gagap, ia menyambut uluran tangan pria gagah yang terbalut jas mahal itu.

"Jeanny Valentine," ucapnya. "Terima kasih sekali lagi atas bantuan Anda tadi Tuan Petrov."

"Dom," ralat Domivick cepat.

Domivick masih menggenggam erat tangan mungil Jeanny. Lalu ia mengecup punggung tangan gadis itu. Sensasi hangat menyebar ke seluruh tubuh Jeanny, hingga ia menggigit bibir bawahnya tanpa sadar.

Ya, Tuhan! Hanya sentuhan ringan seperti ini saja membuatnya limbung sampai menginginkan lebih. Lantas bagaimana rasanya ciuman panas dari bibir seksi pria itu?

"Kuantar kau pulang!" seru Domivick. Senyuman cerah dari pria matang itu seolah dapat mencairkan es di Alaska.

Pandangan Jeanny beralih ke mobil merah metalik yang terparkir hanya semeter di depannya. Seumur hidup ia belum pernah naik mobil mewah seperti itu. Jika menuruti keinginannya, gadis belia itu tentu akan setuju naik mobil yang nyaman dan serba canggih bersama seorang pria tampan. Namun, kejadian di ruang ganti tadi pagi menciutkan nyalinya. Sebisa mungkin ia ingin menghindari masalah dari July dan kawan-kawannya.

"No, thank you, Sir." Jeanny menggeleng. "Sebaiknya saya naik bus saja, saya tidak ingin mengganggu jadwal Anda yang padat dengan mengantar saya."

Gadis dengan rambut berwarna kecokelatan itu pun melangkah menuju halte bus yang tak jauh dari tempat kerjanya. Sekuat tenaga Jeanny mencegah dirinya menoleh ke belakang. Logikanya terus mengingatkan betapa rumitnya berurusan dengan pria. Terlebih pria itu Domivick Petrov.

Halte terlihat cukup ramai, sepertinya ada rombongan wisatawan. Mengingat ini hari Minggu, deuce biasanya sepi di waktu pagi. Jeanny merasa lega setelah tiba di halte bus, tetapi kelegaan itu tak bertahan lama. Seorang pria gagah dengan rahang yang ditumbuhi rambut-rambut halus berdiri di belakangnya sambil tersenyum.

"Astaga, Tuan Petrov! Mengapa Anda di sini?!" serunya terkejut.

Domivick mengedikkan bahu, kemudian menyunggingkan senyum tipis penuh intimidasi. "Kau kabur saat pembicaraan kita belum selesai."

Jeanny menghela napas, jelas pria seperti Domivick Petrov tidak bisa menerima penolakan.

"Ma-maaf, Tuan, saya buru-buru karena ibu saya sudah menunggu," kilah Jeanny.

Memang sudah menjadi rutinitas Jeanny untuk pergi ke panti rehabilitasi sepulang kerja. Di sana ia merawat dan menemani ibunya hingga siang hari. Usai makan siang, biasanya dia akan pulang untuk beristirahat kemudian bersiap-siap kerja lagi. Lelah sudah pasti, tetapi melihat senyuman di wajah teduh ibunya setiap Jeanny datang, membuat kelelahannya menguap.

"Kalau begitu kita lanjutkan pembicaraan kita di sini," ujar Domivick di telinga belakang Jeanny.

Tengkuk Jeanny meremang ketika merasakan embusan napas mint dari pria itu. Ada desiran aneh di dadanya seiring detak jantung yang kian cepat. Jeanny menggeser tubuhnya menjauh sedikit dari pria itu, lantas berpura-pura biasa saja dengan mengambil ponsel dan mulai membaca portal berita.

Sebuah deuce - sistem transportasi umum berupa bus di Las Vegas - datang, Jeanny bersiap untuk menaikinya. Di belakangnya, Domivick masih setia berdiri mengikuti bagaikan sebuah bayangan.

"Anda bisa menelepon saya untuk bicara. Mengapa Anda harus mengikuti saya?" Jeanny memutar bola mata, heran dengan kekeraskepalaan pemilik kasino termegah tempatnya bekerja.

Domivick hanya tersenyum miring. Senyuman angkuh yang justru membuat gadis belia itu semakin tidak enak hati.

"Bagaimana dengan mobil Anda? Sebaiknya Anda turun saja di pemberhentian berikutnya." Sorot mata Jeanny penuh permohonan.

"Tenang, Manis! Mobilku biar menjadi urusanku. Sekarang mari kita fokus dan nikmati perjalanan ini," kata Domivick sembil mengendurkan dasi di lehernya.

Usai mengatakan itu, Jeanny melihat Domivick mengeluarkan ponsel dan menelepon seseorang. Ia mendengar pria itu menyuruh orang yang diteleponnya untuk mengambil kunci cadangan mobil lalu mengendarainya mengikuti jalur utara deuce ke arah Fremont Street sampai ada instruksi selanjutnya.

Tampak jelas pria dengan pakaian serba bermerek itu sebenarnya tidak nyaman berada di dalam bus. Penyejuk udara yang ada seolah tak mampu menahan panasnya udara Las Vegas. Ditambah lagi dengan kaum wanita yang ada di bus ini, mereka melihatnya begitu intens seakan-akan ia seorang aktor Hollywood yang sedang melakukan syuting.

Pria bertubuh six pack itu mencondongkan tubuhnya ke arah Jeanny, hingga ia menyadari gadis itu lebih manis hanya dengan polesan make up tipis.

"Kau berutang terima kasih kepadaku, Sweetheart."

"Maksud Anda?" ujar Jeanny terkesiap. Seingatnya sudah berkali-kali ia mengucapkan kata itu kepada bosnya.

"Temani aku makan malam. Kau libur hari Senin, bukan?"

"Makan malam?!" pekik Jeanny terkejut seraya memalingkan wajah tiba-tiba ke arah Domivick.

Sebuah tindakan yang salah, karena gerakan itu membuat pipinya terasa panas oleh hela napas pria yang bibirnya hanya berjarak dua jari ke wajah Jeanny. Gadis belia itu mengerjap. Buru-buru ia mundur, mengambil jarak dari pria matang itu.

"Kau keberatan? Hanya makan malam sebagai tanda terima kasih," ulang Domivick.

Lidah Jeanny terasa kelu. Ia tidak mengira harga yang harus dibayar oleh sebuah pertolongan yang bahkan tidak dimintanya. Tidak mungkin Tuan Domivick Petrov yang terhormat makan malam di kedai burger langganan Jeanny, bukan? Sedangkan ia tahu daftar harga menu set lengkap di restoran papan atas Bourbon le Miracle setara dengan gajinya sebulan.

Domivick melihat perubahan di wajah Jeanny. Gadis itu seperti sedang mengkhawatirkan sesuatu.

"Jeanny, are you okay?" tanyanya sambil menyentuh lembut tangan Jeanny.

Sentuhan tangan pria itu seringan kapas, tapi mampu menyentak Jeanny. Seakan ada arus listrik yang menjalar di tubuhnya.

"Ya, ya. I'm okay." Jeanny menarik tangannya. "Saya hanya berpikir akan mengajak Anda makan malam di mana. Saya tidak sanggup jika menggunakan standar gaya hidup Anda yang begitu tinggi."

Domivick terkekeh mendengar penjelasan polos Jeanny. "Aku hanya memintamu untuk menemaniku makan malam. I didn't ask you to treat me."

Astaga, ternyata ia salah tangkap! Jeanny menunduk malu, lalu ikut tertawa pelan.

"Tapi, Tuan ...."

Jeanny hendak memprotes lagi, tetapi Domivick segera memotong ucapannya. Pria itu tidak mau dengar lagi kalimat penolakan.

"Tidak ada tetapi. Aku punya tawaran pekerjaan yang lebih cocok untukmu. Namun, aku tidak bisa menjelaskannya di sini."

Gadis berusia delapan belas tahun itu menatap mata emas Domivick yang berkilat. Rahang pria itu mengeras, menampakkan keseriusan.

Hanya makan malam, tentu bukan sesuatu yang sulit. Tawaran pekerjaan baru itu menggelitik rasa ingin tahu Jeanny. Ia tidak punya pilihan selain menjawab "iya". Lagi pula ia memang sudah seharusnya berterima kasih, kan. Jika tidak ada Domivick tentu semalam Jeanny sudah menjadi korban pelecehan pria kaya hidung belang.

"Baiklah, saya bersedia. Dengan satu syarat, Anda tidak mengikuti saya lagi," kata Jeanny menerima ajakan bosnya.

Domivick hanya tertawa pelan menanggapi persyaratan Jeanny.

Tanpa terasa, deuce sudah hampir tiba di halte Las Vegas Boulevard. Tempat Jeanny seharusnya turun. Gadis itu berdiri dari bangkunya, untuk bersiap berjalan ke depan pintu. Domivick yang duduk di sebelah lorong bus, ikut berdiri. Selain memberi jalan bagi Jeanny, ia juga harus turun untuk kembali mengurus pekerjaannya.

Bus mengerem ketika tiba di halte, membuat Jeanny yang belum sempat berpegangan hilang keseimbangan.

"Hati-hati, Manis!" Suara berat Domivick terdengar seiring lengan kukuhnya yang sigap menangkap punggung Jeanny, hingga gadis itu tidak terjerembab.

"Trim's," gumam Jeanny salah tingkah.

Dada Jeanny bergemuruh, punggungnya seakan lumer di bawah dekapan pria berjas itu. Reaksi tubuhnya benar-benar di luar kendalinya setiap ia berdekatan dengan Domivick.

Ketika keluar dari deuce, Jeanny sekali lagi berterima kasih. Mereka berjalan bersisian keluar dari halte. Sesuai janjinya, Domivick tak lagi mengikuti Jeanny. Pria itu menelepon sopir pribadinya dan menjelaskan posisinya. Sementara sang gadis terus berjalan ke arah tujuannya.

The Shade Women's Shelter, sebuah yayasan sosial yang menyediakan tempat tinggal bagi para wanita korban kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, pelecehan orang tua, serta perdagangan manusia. Yayasan tersebut memberikan berbagai sumber daya yang dibutuhkan untuk membantu pemulihan dan penyembuhan hingga mereka dapat lepas dari traumatik dan bisa hidup mandiri.

Di sanalah Margareth, ibu kandung Jeanny, tinggal.

SWS merupakan kompleks bangunan dengan dominasi warna cokelat. Bangunan tersebut meliputi tempat tinggal bagi penghuni, rumah hewan bagi penghuni yang memiliki peliharaan, taman, kantor administrasi, training center, juga ruang perawatan. Selain itu, SWS juga menyediakan layanan konsultasi psikologis dan hukum.

Jeanny menyapa petugas keamanan yang menjaga di pintu masuk dengan ramah. Mereka sudah mengenalnya, hingga tak ada lagi yang bertanya tentang kartu identitas ataupun keperluannya.

Gadis belia itu melirik arloji di lengannya, sudah hampir pukul sepuluh. Ia terlambat lima belas menit. Biasanya Margareth sedang berjalan-jalan di taman, usai sesi sarapan pagi. Dengan mantap Jeanny berjalan ke arah taman.

Taman itu tidak terlalu luas, tetapi cukup bagi para penghuni di rumah penampungan ini untuk mencari udara segar. Pepohonan rindang dan bunga-bunga cantik yang ditanam memberi efek menyejukkan. Jeanny mengedarkan pandangan, mencari sosok ibunya.

Mata awas Jeanny menangkap seorang wanita paruh baya dengan rambut digelung, duduk di atas kursi roda. Wanita itu tampak bahagia, senyuman lebar tersungging di bibir yang tak pernah lagi tersentuh pulasan lipstik. Jeanny ikut tersenyum menyaksikannya. Namun, senyum gadis itu pudar ketika mendapati seorang pria asing berkacamata tengah berbincang akrab dengan ibunya.

Question time

💋 Menurut kamu kenapa sih Dom kok nempel terus ke Jeanny? Kira-kira pesona apa yang membuat Dom terus-terusan ngekor gadis itu?

💋 Pernah enggak kamu merasa dikuntit atau benar-benar diikutin orang asing sepulang sekolah atau kerja? Lalu apa solusimu biar terlepas? Main kabur lari atau ke tempat ramai dan berbaur seperti ketemu teman?

💋 Lebih seru nge-date sama crush atau kopdar sama teman, nih?

💋 Part mana yang paling impres menurut kamu?

Tekan ⭐ kalau kamu suka part ini! Jangan lupa bagikan ke teman-temanmu biar makin seru cerita ini!

With Hotty Kiss,

💋

[14/10/2020]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top