03.

03

Harold melakukan pemeriksaan rutin pada yang tuan yang terduduk di atas tempat tidur. Tubuh Henry yang makin kurus dengan kantung mata menggantung tebal. Kerutan tampak dalam menggores kulit wajahnya. Sisa-sisa semangat yang pernah ada nyaris tak terlihat dari tubuh renta pengusaha yang pernah mengelilingi Inggris dengan kereta kebanggaannya.

Henry tampak begitu merana. Kesedihan telah menggerogoti kesehatan dan tenaganya.

"Semua baik, Mr. Myrtle," seru Harold seraya tersenyum setelah mendengarkan detak jantung Henry dengan stetoskop. "Memang jantung Anda terasa makin lemah tapi itu bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Anda harus lebih sering terkena sinar matahari dan olah raga."

Henry tersenyum kecil. "Akan kucoba besok, jika aku ada tenaga."

Harold menghela napas dalam. Alasan yang sama dari hari ke hari hanya untuk dibatalkan esok harinya. Tenaga Henry semakin merosot dua tahun belakangan seiring dengan isolasi yang dipilih. Akhir-akhir ini hanya dirinya dan Akio yang bertemu langsung dengan Henry. Tuannya itu memilih membiarkan Akio yang mengatur manor.

"Baiklah." Pria itu mengeluarkan sebotol kecil cairan berwarna hitam. "Minum ini, untuk kesehatan Anda, Mr. Myrtle."

Henry menerima botol itu di bawah pengawasan Akio yang tidak bergeser dari tempatnya di samping tempat tidur utama dan menegaknya dalam sekali minum. Akio dengan sigap menyodorkan air mineral pada pria tua itu, sebuah kebiasaan yang dilakukan selama dua tahun belakangan.

"Harold, bagaimana dengan eksperimenmu .... Apakah John ...." Henry tidak melanjutkan kata-katanya dan menutupnya dengan helaan napas panjang membuat tikaman rasa bersalah menghujam dada Harold.

"Maaf, Mr. Myrtle ... belum ada perkembangan berarti sejak ritual memanggil jiwa terakhir. Saya masih mencari cara untuk mengikat jiwa yang dipanggil ke tubuh fana," jelas Harold dengan wajah menyesal.

Henry hanya terdiam tidak menjawab, membuat Harold semakin gelisah. Perkembangan eksperimennya mengalami stagnasi selama lima tahun terakhir walau telah didukung penuh baik dengan dana maupun bahan baku yang dipasok setiap beberapa bulan sekali. Satu-satunya yang terlihat ada perkembangan adalah pembuatan eliksir, cairan berwarna hitam itu menunjukkan tanda-tanda berhasil yang dia berikan kepada Henry tiap malam, berharap memperpanjang umur pria itu.

"Aku ... ingin istirahat," ucap Henry memberi tahu pada kedua orang itu untuk segera keluar kamar.

Harold mengangguk dan segera membereskan tas dokternya. Akio menyusul dengan menutup gorden dan melepaskan kelambu yang mengelilingi tempat tidur. Namun ketika sang Butler itu hendak melangkah pergi, Henry melarangnya.

"Tunggu, temani aku berbicara sebentar, Akio," pintanya sambil menyandarkan punggung ke bantal.

"Baik, Master." Akio dengan sigap melangkah ke samping Henry dan duduk di kursi di samping tempat tidur, tempatnya berjaga kalau-kalau Henry butuh perhatian medis sepanjang malam.

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Henry yang dibalas dengan tatapan datar Akio.

"Baik," jawabnya seakan diprogram membuat Henry tertawa lemah. Dia sudah menduga jawaban Akio.

"Kalau begitu beri aku laporan keadaan manor."

Permintaan yang tepat. Dari mulut sang butler mengalir secara akurat apa yang terjadi selama seharian penuh, melanjutkan laporan kemarin. Siapa yang melakukan apa, pembelian yang dilakukan, korespondensi yang diterima dan bagaimana Akio membalas semuanya sebagai ganti Henry, serta berbagai macam hal lainnya. Henry mendengarkan dengan seksama seperti biasa, tapi hari itu dia menatap Akio dengan rasa sayang yang dulu pernah dia tunjukkan pada John.

Entah sejak kapan dia merasa Akio seperti anaknya. Walau umur pria asia itu lebih tua dari John, cara sang butler yang membutuhkan bimbingan detil membuat Henry merasa perlu mengambil peran orang tua untuk menuntunnya. Mulai dari belajar tersenyum, sampai membantu Akio mengenal perasaan. Walau yang terakhir tidak terlalu berhasil, Henry menyadari dia menikmati mengajar Akio. Dia membekali pria itu dengan cara-cara berbisnis dan membiarkan Akio mengatur surat menyurat yang menentukan nasib perusahaan kereta apinya.

Hal sederhana itu menjadi penghiburan bagi Henry tapi juga menaburkan garam pada luka yang tak kunjung sembuh dari benaknya. Setiap melakukan itu, dia akan mengingat John dan perlahan tenggelam dalam kesedihannya.

"Terima kasih," ucap Henry di akhir penjabaran Akio. "Kerja bagus," tambahnya sambil menepuk pundak pria itu.

Akio mengangguk sambil melebarkan senyum, hal yang diajari oleh Henry setiap kali dia dipuji.

"Pertahankan hal itu." Henry terdiam sejenak. "Menurutmu, apakah Harold akan berhasil?"

Akio memandang ke arah Henry dan tidak menjawab. Pertanyaan itu tidak terdaftar dalam pikirannya karena seharusnya Harold lah yang menjawab.

"Aku mulai merasa semua ini sia-sia. Lima tahun dan John tidak kembali. Mungkin rohnya sudah tak mungkin digapai sementara aku semakin lemah." Henry menatap kedua tangannya yang kurus. "Bukan tidak mungkin aku yang menyusul John, bukan dia yang kembali."

Pria itu tersenyum lemah. "Aku rasa itu bukan hal buruk, aku sudah terlalu lelah, Akio. Jika aku yang pergi, aku bisa bertemu dengan anak istriku." Dia menarik napas kalah.

Ruangan menjadi hening sesaat selagi Henry tenggelam dalam pikirannya sementara Akio berusaha memahami maksud sang atasan dengan kalimat-kalimat abstrak yang tidak dia pahami.

"Akio, jika aku pergi, aku ingin kamu melanjutkan hidupmu."

Akio memandang Henry dengan tatapan penuh tanda tanya. "Anda akan pergi, Master?"

Henry kembali tertawa lemah hanya untuk menyadari dirinya terlalu lelah.

"Aku ingin beristirahat. Kamu juga kembalilah ke kamarmu."

Akio mengangguk sebelum berdiri dan memberi hormat. Setelah memastikan Henry berbaring nyaman dan seluruh kelambu tertutup tanpa ada celah, baru butler itu beranjak pergi, tanpa menyadari itu adalah terakhir kalinya dia melihat Henry membuka mata.

END

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top