Cerpen 1 • Penyihir Bayangan
DARAH mencuar ke angkasa malam ketika seorang pemuda bertudung mencabut belati yang menusuk jantungnya. Saat itu juga, kepulan asap mengitari tubuh. Roh seakan ditarik paksa ke atas hingga melayang ke langit, bersama dengan ratusan sosok serupa yang menyeringai di balik kegelapan.
***
Vincent keluar dari kelas X-IPA-10 ketika bel baru saja berbunyi beberapa menit lalu. Pemuda itu memutuskan untuk pergi ke kamar mandi, sebelum ia benar-benar akan berakhir di rumah besar nan megah dan membosankan.
Siulan terdengar bergaung memenuhi ruangan diselingi suara air menciprat ke arah jamban yang melekat di dinding. Ia baru saja ingin melangkah keluar usai menutup ritsleting celana. Namun, tiba-tiba Vincent merasakan tatapannya berputar. Kepalanya berdentam menyakitkan seolah dihujani pedang yang menembus hingga ke dada.
Tidak! Rasa sakit itu datang lagi. Gravitasi seolah menarik lebih berat sampai kedua kakinya bahkan tak mampu menopang tubuh. Sekujur tubuh Vincent bergetar dahsyat seiring dengan bisikan-bisikan misterius yang kembali menikam pendengaran.
Tiga lagi manusia.
Hanya satu kalimat yang berhasil menembus gendang telinga dan kegelapan pun menerpa kesadarannya.
Langit sudah ditemani cahaya bulan ketika Vincent membuka mata. Tubuhnya kini disambut oleh ranjang besar kelas atas yang empuk. Tatapannya lalu tertumbuk pada aspirin dan segelas air yang diletakkan di rak sisi kasurnya.
Ada hawa mendidih yang semakin mengepul pekat ketika pemuda itu mengepalkan tangan erat. Pasti guru dan para siswa yang membopongnya hingga ke tempat sopirnya berada. Segera ia menggenggam gelas erat sebelum dilemparkannya ke lantai.
Berengsek! Seharusnya ia dibiarkan saja tergeletak di sana. Toh, papa dan mama tak akan hadir dengan kekhawatiran tersemat di wajah. Menjadi anak dari salah satu donatur sekolah benar-benar cukup membuatnya frustrasi. Ia ingin menjadi sosok yang biasa, murid yang tak diistimewakan, dan mempunyai orangtua yang mampu berpaling dari profesi yang entah di mana dikerjakannya.
"Menjadi dingin tidak membuat mereka angkat tangan, maka aku akan lebih kejam besok."
***
PRANG!
Satu hantaman pada kaca WC sekolah seketika membubarkan keheningan. Beling berhamburan di atas lantai. Murid-murid yang hendak memakai toilet akhirnya urung dan memilih menjauh.
"JANGAN PERNAH MENGGANGGU KEHIDUPANKU LAGI, DASAR MANUSIA-MANUSIA SIALAN!"
Wajah yang sekaku granit tak juga melunak meski banyak goresan luka tercipta di beberapa tempat. Pandangan yang menusuk setajam belati menyapu sekeliling ketika pemuda itu melangkah keluar. Perangai dingin yang selalu diidamkan para siswi telah hangus bagai asap. Semua orang memilih menepi, membelah jalan agar tak salah-salah mereka menjadi sasaran dari bilah kayu di genggaman.
Akan tetapi, seorang gadis yang berdiri di tengah mengalihkan perhatiannya.
***
Sekolah kembali sunyi tatkala kedua insan melangkah mendekat dan duduk di salah satu kursi yang berjejer rapi di sana.
"Kenapa? Tak terkendali lagi?" Alicia membuka bicara diselingi kekehan kecil. Plester terakhir akhirnya menutupi setiap luka yang bertaburan di lengan Vincent.
Pemuda itu sedikit mengaduh ketika giliran wajahnya yang diplester rapi. "Pasti kau yang menolongku kemarin." Suara beratnya sedikit menyentak gadis itu. Beberapa tahun lalu, suara Vincent masih lembut. Ternyata pemuda di hadapannya sudah banyak berubah.
Alicia tertawa. "Iya."
"Tolong jangan ikut campur," ujarnya dingin. "Seharusnya kau biarkan saja aku pingsan di sana ..." ucapannya terhenti sejenak, "atau bahkan mati." Ada kepedihan yang terdengar.
"Aku sudah menjadi kakakmu selama beberapa tahun, wajar aku bersikap begini kepadamu." Matanya seakan menerawang tentang peristiwa di masa silam. "Kita selalu bersama saat di panti asuhan. Meniup lukamu saat jatuh dari sepeda, mengelap sudut bibirmu yang berlepotan karena cara makanmu ceroboh, dan mengelus-"
"Stop!" jeritnya sedikit menyentak Alicia. "Aku tak ingin mendengarnya lagi." Dipandangnya sepasang netra keemasan itu. "Sekarang semua sudah berbeda. Orangtuaku bahkan tak pernah terlihat beberapa minggu terakhir. Kemarin pun yang membawakan obat dan minum hanyalah ART." Kali ini Vincent menatap nyalang pangkuannya. "Aku ragu mereka masih menginginkanku."
"Husss! Tidak boleh berbicara seperti itu." Telunjuk lentik Alicia membekap bibir tebal Vincent.
Ada kehangatan yang mengalir setiap gadis itu ada di sisinya. Membawa kedamaian yang sudah lama tak dirasakan. Urat leher yang sedari tadi menegang, perlahan mengendur seiring dengan debasan penuh kelegaan. Ketenangan yang dikenang kini bisa direngkuhnya kembali.
Akan tetapi, pemuda itu kembali merasakan ada sesuatu yang membanting kepalanya, seakan dihantam beban berton-ton secara membabi buta. Suara keresahan Alicia yang memandang cemas semakin tenggelam di balik kesadaran yang semakin menghilang.
Dua manusia tersisa.
Dengungan misterius lagi-lagi terngiang di kepala, sebelum gelap kembali menumbuk netra.
***
Ratusan penyihir mengambang di seluruh penjuru. Di mana pun Vincent memandang, hanya kelebatan mengerikan yang menghias netra. Masing-masing menggenggam sabit yang melengkung tajam dengan seringai yang terukir di bibir pucat. Saat itulah iris cokelat pemuda itu beradu dengan salah satu yang paling dekat dengannya. Hanya dia yang berbeda. Jubah keunguan yang telah robek berkibar perkasa.
Vincent seketika menjerit ketika sosok itu memelesat ke arahnya dan tanpa segan menancapkan sabit itu tepat pada jantungnya!
***
Vincent terbangun dengan alarm yang berdering bising. Paru-parunya berusaha merebut oksigen sebanyak mungkin. Peluh sebesar biji jagung terus membanjiri pelipis.
Semua terasa sama, tetapi yang membedakan adalah langit-langit kamarnya. Tak semewah dan tak seelegan kemarin. Apa yang terjadi? Tidak ada ada ornamen yang terpajang indah di atas sana. Polos.
Vincent mengerutkan kening. Ia segera turun menyusuri tangga yang asing baginya. Begitu sempit. Di bawah ternyata ada kedua orangtuanya yang sedang bercengkerama di ruang makan. Mama terlihat menyiapkan sarapan dengan senyuman teduh. Papa tetap tampan seperti awal mereka bertemu.
Apakah ini berarti mimpinya telah terkabul? Memikirkan perkiraan itu mau tak mau membuatnya melengkungkan bibir ke atas.
"Papa, Mama!" jeritnya penuh semangat.
"Vincent?!" Mama tersenyum. "Sudah bangun?"
Vincent mengangguk semangat.
"Ayo, mandi dan siap-siap sarapan." Papa menambahkan.
***
Vincent pergi ke sekolah setelah sarapan. Melihat papa masuk ke kursi kemudi sontak membuat alisnya berkerut tajam. "Papa yang mengantar?"
Papa melihat ke belakang. "Tentu saja. Papa cuma sekali tak mengantarmu, bukan?" Kekehan berat terdengar saat deru mobil terdengar bergemuruh.
Aneh. Sungguh aneh. Apa yang sedang terjadi? Jalan yang biasanya membelok kini hanya melaju lurus, menuju sekolah kecil yang tak pernah dilihatnya, tetapi ia berusaha mengempaskan seluruh keganjalan ini dan tetap mengenyam pendidikan sementara.
Sepulang sekolah, Vincent terperanjat mengamati Alicia memasuki rumah di seberang sekolah. Saat itu juga, ia berderap dan menggamit bahu kecil gadis itu. Namun, sentuhan itu seperti sengatan listrik bertegangan tinggi yang membuat Alicia menjerit sekuatnya. Ia terjatuh dengan pupil yang bergerak tak beraturan.
"APA YANG SEDANG TERJADI?!"
Mengapa kau menyentuhnya?
Derajatmu ... lebih ... tinggi.
Dua ... manusia ... tersisaaa.
Suara itu lagi-lagi hadir, tetapi kali ini tak ada nyeri yang menyerang. Vincent menjambak rambutnya ke atas sekuat tenaga. Beberapa helai rambut tercabut paksa. Mengapa keganjilan ini masih tak menyingkir?! Air mata membasahi pipi yang kini pucat pasi. Benang kibang-kibut apa yang meringkus dirinya erat?
Semua terjadi begitu cepat tatkala Vincent kembali terjaga di rumah. Dengan separuh kesadarannya, ia terseok meraih sebilah pisau dan ditancapkannya pada jantung papa dan mama. Dalam relung hati ia meraung, rasa menjijikkan dan lengket dari darah kedua orangtua membuatnya tak sanggup menahan bulir bening membasahi pipi.
Tubuhnya bergerak otomatis menuju kaca besar di kamar. Vincent memandangi pantulan dirinya sendiri. Pakaian yang menutupi raga seakan hangus terbakar, tergantikan oleh jubah yang semakin terkembang menutupi seluruh tubuhnya.
Ia kemudian berjalan keluar ke halaman.
Darah mencuar ke angkasa malam ketika pemuda dengan tudung menghalangi wajah mencabut paksa belati di jantungnya. Saat itu juga, kepulan asap mengitari tubuh. Roh seakan ditarik paksa ke atas hingga melayang ke langit, bersama dengan ratusan sosok serupa yang menyeringai di balik kegelapan.
Tak ada reaksi ketika setiap pita kenangan berputar di kepala. Ketika dirinya dikuasai oleh hawa aneh hingga berkali-kali membunuh semua orang yang disayanginya dan berkali-kali terbangun dari mimpi. Kehampaan tetap merengkuh mata. Entah apa yang menekan naluri serta perasaannya agar tak timbul menguasai jiwa. Bahkan saat pemuda itu mengetahui bahwa dari awal dia telah meninggal, bibir tebalnya tetap mengatup rapat.
Ada rindu yang menorehkan sembilu di hati ketika mengamati papa dan mama menangisi kepergiannya di pemakaman, tetapi sungguh tak ada perasaan apa pun lagi yang hadir.
Ah, ternyata semua mimpi buruk ini hanyalah campur tangan dari naungan bunga tidur. Hanya satu sentakan, ketika Vincent memelesat menembus awan kelabu dan bersatu dengan kegelapan.
Tugas mereka hanya satu. Mencari hati manusia untuk dicabik habis-habisan dan membiarkan jiwa lambat laun tercemar, sehingga penyebaran ras mereka pun semakin luas dalam diam.
====================
Penyihir Bayangan - Tamat
24 Juli 2020
====================
「Jika tertinjau kalimat typo, tidak efektif,
maupun pengoreksian lainnya,
mohon diberitahu melalui komentar.」
Cerpen ini diciptakan untuk keperluan seleksi.
Pihak yang menerima: famts_writer
♥ ~ 감사합니다! ~ ♥
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top