Part 32 - We don't Talk Anymore


Peristiwa ini terjadi sebulan kemudian.

Di mana Angela telah kembali pada kehidupannya semula bersama Mick yang merecokinya tentang lemak dan penambahan lingkar pinggang. Di mana Angela mulai hidup dalam kesendiriannya lagi meski luka itu tetap ada dan semakin dalam. Saat di mana ia mulai skeptis dan baru saja akan mengucapkan sumpah untuk tidak mempercayai siapapun lagi.

Berita itu datang.

Angela berjalan tergesa-gesa di sepanjang lorong rumah sakit dengan kecemasan yang semakin berlipat ganda setiap kali ia berhasil melewati satu langkahnya. Ia baru saja menjalani penerbangan dari Sydney ke Indonesia dan langsung menuju kemari tanpa singgah kemana pun. Angela bahkan meninggalkan semua kopernya di lobby rumah sakit.

Semoga ia belum terlambat.

Ia tiba di depan pintu yang dicarinya dan mengetuk tiga kali dengan cepat. Angela sudah pasrah jika harus bertemu orang itu lagi. Tapi ia merasa lega bahwa yang membukakannya pintu bukanlah orang itu, melainkan seorang wanita paruh baya yang cantik dan berpakaian elegan. Seorang wanita berambut ikal sebahu dan memiliki raut wajah yang bersahabat. Angela merasa mengenalnya sekilas, tapi ia tidak bisa mengingatnya.

Wanita itu memandangnya dengan keterkejutan yang sama, namun dengan cepat kembali pulih. "Kau pasti Angela, bukan?"

Angela hanya mengangguk sekali.

"Ayo." Wanita itu menggandeng lengannya. Angela mengikutinya masuk dan menuju tempat tidur di mana seseorang dirawat di sana. Ayah angkatnya. "Dia sudah menunggumu sejak beberapa hari lalu, Angela."

Angela memandang pria yang biasanya berdiri dengan tegap itu kini tergolek lemah di tempat tidur. Tubuhnya dipasang infus dan kabel-kabel yang terhubung dengan bed side monitor. Selang pernafasan melilit di wajahnya yang terlihat pucat. Ia membuka mata yang tadinya terpejam dan menatap Angela.

"An..ngela..." Ryan tersenyum.

Angela berlutut di samping tempat tidur dan menggenggam sebelah tangan ayahnya. "Aku datang, Pa..."

Ryan hanya mengangguk-angguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ia tersenyum bahagia melihat Angela.

"Apa yang terjadi, Pa?" Angela mencoba bertanya dengan tenang meski ia masih merasa khawatir.

Ryan tidak menjawab dan menggerakkan kepalanya yang lemah ke arah wanita yang berdiri di sebelah Angela. Wanita itu mengerti apa yang diinginkan Ryan dan ikut berlutut di sebelah Angela.

"Angela..." Ia memegang kedua bahu Angela. Angela menoleh padanya. "Papamu terlalu lemah saat ini untuk bercerita. Jangan memaksanya sekarang. Jika kau ingin tahu biar dokter yang akan menjelaskan padamu nanti."

Angela hanya mengangguk dengan pasrah lalu kembali menatap ayahnya.

"Angela ada di sini, Pa. Papa pasti akan baik-baik saja." ucap Angela kembali.

Angela sesungguhnya ingin berteriak histeris agar mendapat penjelasan saat ini juga, tapi ia tidak mungkin melakukan hal itu. Ia berusaha bersabar sambil terus menggenggam tangan ayahnya. Berarti apa yang dikatakan kakaknya beberapa bulan yang lalu adalah benar, bahwa ayah mereka sakit. Sekarang Angela hanya bisa berharap bahwa penyakit yang diderita ayahnya bukan penyakit yang berat.

Tentu saja tidak...Ayahnya selama ini selalu terlihat sehat. Ia tidak mungkin memiliki penyakit berbahaya. Pasti...

Bunyi pintu yang terbuka dan menutup membuat Angela menoleh. Ada seseorang yang datang

"Sudah pulang?" terdengar suara wanita tadi.

Tubuh Angela langsung berubah waspada. Orang terakhir yang paling ingin ditemuinya di muka bumi kini ada di hadapannya. Angela tahu cepat atau lambat ia pasti akan bertemu lagi dengan orang itu. Sungguh suatu kenyataan yang tragis bahwa seumur hidup ia akan selalu terhubung dengan kakaknya itu karena mereka terikat pertalian keluarga secara tidak langsung.

Rayhan juga memandang Angela tapi dengan cepat ia berpaling dan mengambil tangan wanita yang menyambut Angela tadi lalu menyentuhkannya ke dahi. "Aku pulang lebih dulu dari kantor dan sudah sempat beristirahat di rumah tadi, Ma."

Ma...?

Kesadaran seketika menerpa Angela detik itu juga.

Jadi wanita itu adalah mantan istri ayah angkatnya dan sekaligus ibu kandung dari kakaknya tersebut. Ini pertama kalinya Angela bertemu dengannya. Pantas saja tadi ia merasa familiar. Ternyata mereka adalah ibu dan anak. Ada kemiripan yang terlihat meski hanya sekilas.

"Bagaimana keadaan Papa?"

"Dokter tadi mengatakan sewaktu-waktu ia akan memaksa memindahkannya ke ICU meski papamu selalu menolak."

Rayhan menyisiri rambutnya dengan jari dan mengangguk-angguk pasrah. Ia merasa frustrasi. "Sekarang Mama pulanglah. Biar aku yang ganti menjaga Papa di sini."

"Seharusnya kau tidak melakukannya, Re. Besok kau harus ke kantor lagi sedangkan sepanjang malam selalu kauhabiskan di sini. Itu tidak baik untuk kesehatanmu."

Rayhan memang tidak harus berada di sana. Ada beberapa perawat khusus yang selalu siap sedia saat mereka tidak ada dan mengawasi ayahnya selama 24 jam sesuai instruksi dokter. Tapi Rayhan hanya merasa ia akan lebih suka ditemani orang yang dikenal jika ada di posisi ayahnya. "Jangan mencemaskanku sekarang, Ma. Aku ingin berada di sini."

"Baiklah jika itu kemauanmu. Jangan lupa makan dan minum vitamin." nasihat ibunya.

Rayhan hanya mengangguk-angguk.

Wanita itu berjalan menuju Angela dan menggandeng tangannya. "Angela, ikutlah pulang bersama tante."

Angela melirik ke tempat tidur lagi. Ia masih ingin berada di sana menemani ayahnya, tapi bayangan hanya menunggu berdua dengan kakaknya membuat Angela mengurungkan niat. Lagipula ia belum sempat membersihkan diri seharian. Angela mengangguk.

______________________

Sepeninggal ibunya dan Angela, Rayhan terdiam sejenak sambil mengawasi ayahnya yang masih tertidur lelap. Beberapa hari yang lalu ayahnya tiba-tiba mengalami sesak napas hebat dan akhirnya Rayhan membawanya ke rumah sakit. Setelah mendapat pertolongan pertama ia pun menghubungi dokter yang selama ini menangani ayahnya untuk mendapatkan keterangan. Hasilnya lebih buruk dibanding yang ia sangka.

Ia berusaha menghubungi Angela setelah memberikan kabar pada ibunya terlebih dulu. Tapi sesuai dugaan, Angela tidak mau menerima teleponnya sehingga ia meminta bantuan sekretaris ayahnya dan juga teman Angela untuk menyampaikan berita tersebut. Angela memang datang, tapi kelihatannya gadis itu memilih untuk tidak repot-repot memandang Rayhan apalagi berbicara.

Rayhan merindukannya. Sudah sebulan Rayhan tidak melihat Angela dan sejujurnya ia ingin memeluk Angela saat bertemu tadi, meski kebencian masih tampak jelas di wajah gadis itu. Namun situasi yang terjadi sekarang tidak memungkinkannya untuk mengurus masalah pribadi. Ayahnya saat ini adalah prioritas utama Rayhan.

"Re..."

Tanpa ia sadari ayahnya ternyata telah terbangun dan memanggilnya.

"Aku di sini, Pa." Rayhan duduk di tepi tempat tidur.

"Di mana...ibumu dan...Angela?" Ryan mengucapkannya dengan tersendat-sendat.

"Mereka sudah pulang dan akan kembali besok. Papa beristirahat saja. Jangan terlalu banyak bicara dulu. Itu hanya akan membuatmu cepat lelah."

Ryan menggeleng pelan. "Papa harus...mengatakannya sekarang karena...mungkin Papa tidak akan sempat...mengatakannya nanti."

"Tidak, tidak, tidak. Papa pasti akan merasa lebih baik nanti. Jangan memaksakan diri..."

"Papa tahu sejak dulu...kau membenci Angela..." Ryan tetap berbicara tanpa mempedulikan nasihat Rayhan.

Rayhan merasa pasrah dan menatap langit-langit. "Pa..."

"Kumohon jangan...membencinya lagi, Re. Apa kau tidak menyadari bahwa semua itu bukan... kesalahannya. Semua yang...terjadi adalah kesalahan Papa. Papa adalah orang...yang seharusnya kau benci. Bukan Angela."

Rayhan menepuk-nepuk pelan tangan ayahnya. "Papa tidak usah memikirkan hal itu. Yang terpenting sekarang adalah kesembuhanmu dulu, Pa..."

"Tidak, Re...Kau harus...berjanji dulu. Jika Papa tidak ada nanti...kau tidak akan...menelantarkannya..." raut wajah Ryan semakin cemas dan napasnya semakin tak beraturan.

"Pa! Jangan mengatakan hal-hal semacam itu dan kumohon...jangan menyiksa dirimu se..."

"Berjanjilah, Re!!"

Ucapan Rayhan terhenti seketika karena bentakan itu. Sungguh mengherankan bahwa ayahnya memiliki tenaga untuk meninggikan suara dalam kondisinya yang lemah. Pastilah janji itu sangat penting baginya.

"Baiklah...Aku berjanji, Pa. Meski aku tidak pernah menepati janji yang kuucapkan. Janjiku adalah sampah. Aku sudah sering mengecewakan banyak orang dengan janjiku." sahut Rayhan.

Ryan kembali tenang setelah Rayhan mengucapkannya. Ia mengangguk-angguk senang.

"Apapun yang kaukatakan...Papa tetap mempercayai janjimu." Ia tersenyum dan menaikkan sebelah tangan dengan gemetar untuk menepuk pelan lengan Rayhan. "Kau tahu, Re...Jika kau merasa bahwa Papa...tidak mempedulikanmu selama ini...kau salah..."

Rayhan tidak mengerti kenapa ayahnya mengatakan hal itu, tapi ia hanya mendengarkan.

"Suatu hari nanti....kau akan mengerti....dan tahu bahwa Papa...selalu menyayangimu...di atas segalanya." Ryan menutup mata kembali. "Sekarang...Papa bisa tidur...dengan tenang."

Menyayanginya di atas segalanya? Apa maksud ayahnya lebih daripada ibunya dan Angela? Untuk apa ayahnya mengatakan itu?

Rayhan tidak mengerti...

"Terimakasih, Pa. Aku tidak pernah ragu bahwa kau menyayangiku." lanjut Rayhan meski masih tercengang mendengar kata-kata ayahnya barusan.

Sayup-sayup ia mendengar suara napas ayahnya yang mulai teratur tanda ia sudah tidur kembali. Dokter sudah menyatakan menyerah setelah mendiagnosa bahwa penyakit ayahnya tidak bisa ditanggulangi lagi dan hanya bisa mengupayakan cara untuk mengurangi rasa sakit yang mungkin diterima.

Ternyata ayahnya telah menderita penyakit itu sejak lama dan menyembunyikannya pada semua orang. Ia juga memilih untuk tidak menjalani pengobatan karena suatu alasan tertentu.

Rayhan merasa pedih mengetahui semua kenyataan itu. Ia menyayangi ayahnya walau selama ini hubungan mereka lebih terkesan seperti rekan kerja dibanding ayah dan anak. Dan ia sempat merasa kesal karena ternyata ayahnya bisa memanjakan Angela seperti anak. Dulu...

"Sesungguhnya Papa tidak perlu memintaku berjanji karena tanpa diminta pun aku pasti akan menjaganya." Rayhan berbisik di samping ayahnya meski ia tahu ayahnya tidak akan mendengar.

"Aku tidak membenci Angela lagi. Bahkan jika seandainya kondisiku tidak terpuruk seperti ini, aku pasti sudah sejak lama meminta Angela padamu, meski Papa mungkin tidak akan merestuinya."

Rayhan berhenti sejenak sebelum melanjutkan.

"Aku jatuh cinta padanya, Pa." ungkap Rayhan dengan pilu. Entah kenapa ia berbicara sendiri seperti orang bodoh dan mengungkapkan perasaannya.

"Tapi sekarang sudah terlambat karena ia sudah tidak sudi menerimaku lagi. Aku sudah melempar jauh cinta yang ia berikan padaku sehingga aku tidak bisa menemukannya lagi di mana pun meski telah kucari tanpa henti."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top