Part 28 - Do You Really Love Me?
Ada yang mengirimiku visualisasi Leonardo. Semoga cocok dengan imajinasi kalian....
"Dia mencintaiku..." Angela mencabut sehelai kelopak bunga. "Dia tidak mencintaiku..." ia mencabut sehelai lagi.
Lalu menyadari tindakan konyol itu dan membuangnya ke tempat sampah.
Lama-lama ia merasa dirinya mulai gila jika sering berbicara sendiri seperti ini. Lalu siapa yang harus Angela ajak bicara mengenai hubungannya dengan Kak Rayhan yang agak membingungkan? Angela hanya memiliki sedikit teman. Vaya pasti akan melarangnya, apalagi Justin. Ia juga tidak mungkin membicarakan hal itu pada ayahnya lagi. Ayahnya dulu melarang Angela mencintai kakaknya dan ia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi ayahnya itu jika sampai mengetahui Angela belum bisa melupakan bahkan malah melakukan hal-hal terlarang bersama kakaknya.
Mengingat hal-hal terlarang itu juga membuatnya resah. Angela sudah pernah merasakannya dan sejujurnya ia menginginkannya lagi seperti yang ia takutkan. Tadi malam sebelum tidur ia mencoba menyentuh berbagai tempat di tubuhnya sendiri, berharap akan mendapatkan reaksi yang sama. Tapi ia tidak memiliki pengetahuan yang banyak tentang caranya sehingga tidak terasa apapun dan malah membuatnya frustrasi. Apakah memang harus seorang lelaki yang melakukannya?! Tapi yang menyebalkan adalah ia hanya menginginkan itu dari satu orang. Sementara orang itu adalah orang yang belum bisa ia percaya hingga saat ini.
Benar...Angela belum mempercayainya meski ia menginginkannya.
Ia masih berdebar-debar jika mengingat pernyataan cinta kakaknya di lift. Kemarin ia berdebar-debar lagi saat kakaknya kembali menanyakan hal yang sama. Lama-lama jantungnya bisa terserang Arrhythmia jika seperti ini terus menerus. Apalagi setelah itu ia mendengar kakaknya berkata akan menyerah mengejarnya. Angela ingin berhenti saat itu dan berkata 'jangan'...tapi ia masih teringat bagaimana ia dulu diperlakukan.
Kakaknya dulu tidak mempercayainya saat berkelahi dengan Mikaila dan Tania, jadi mengapa ia sekarang harus percaya padanya dengan begitu mudah?
Angela masih ingat bagaimana ia mendapat tamparan di pipinya..meski sekarang ia lebih sering menampar kakaknya berkali-kali bahkan melukainya, tapi kenangan itu masih tetap terpatri di benaknya. Dan yang paling tak bisa ia lupakan adalah penghinaan itu...Rasanya lebih menyakitkan beribu-ribu kali dibanding tamparan yang ia dapat. Penghinaan itulah yang telah membunuh sebagian dirinya sehingga ia tidak bisa menjadi Angela yang dulu lagi.
Ia takut kakaknya yang sekarang hanya mempermainkannya.
Angela tidak akan bisa menanggungnya lagi jika ia mendapatkan rasa sakit yang sama kembali.
Akhirnya ia memutuskan kembali ke dalam setelah terlalu lama duduk di balkon.
Untunglah ia sudah selesai mengerjakan segala urusan rumah tangga di apartmentnya. Angela tidak perlu membayar jasa pembersih karena ia banyak waktu senggang dan bisa melakukannya sendiri. Setiap pagi ia menyapu dan mengepel lantai sambil mendengarkan musik. Ia tidak perlu memasak karena ia hidup sendiri meski lemari esnya penuh dengan bahan makanan. Hanya untuk berjaga-jaga.
"Leonardo!!! Bagaimana kabarmu hari ini?" Angela membungkuk dan menumpukan tangannya di lutut agar wajahnya sejajar dengan akuarium Leonardo. Ikan kecil berwarna orange bercorak putih itu berenang-renang riang ke arahnya, padahal Angela sudah memberinya makan tadi.
"Miauww..." Angela menirukan suara kucing untuk menakut-nakuti Leonardo sambil menggaruk sebelah tangannya di udara. Tapi karena ikan itu tidak kunjung ketakutan dan malah makin antusias mendekatinya, Angela akhirnya bosan.
Nah, ia melakukan hal yang konyol lagi bukan?
________________
"You just kidding me, right?" Justin mengucapkan kalimat itu sambil menggenggam gelasnya setelah Angela mengutarakan keinginan untuk memutuskan hubungan mereka.
Justin menghubunginya pagi ini untuk makan siang bersama dan Angela menyetujuinya. Angela menggunakan taksi dengan alasan dirinya kebetulan sedang berada di sebuah mall yang dekat dengan lokasi.
Ia sudah memikirkannya seharian kemarin dan meski ini adalah hal terkejam yang ia lakukan setelah Justin begitu baik padanya selama ini, Angela tidak bisa menjerumuskannya terus menerus dengan memberikan Justin harapan palsu.
"Gue bener-bener serius." Angela mengucapkannya dengan tegas sehingga Justin tidak akan menganggapnya gurauan.
Justin terdiam sejenak tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Angela sepertinya tidak sengaja telah membuatnya syok.
"Tapi kenapa, Njel?!" akhirnya Justin bisa mengeluarkan suaranya kembali.
"Karena gue nggak bisa mencintai elo seperti keinginan elo, Tin."
Angela menjelaskan panjang lebar segala perasaan bersalah yang dipendamnya selama ini pada Justin, tanpa menunduk atau mengharapkan simpati Justin. Ia hanya takut Justin akan membencinya setelah ia mengucapkan kejujuran tersebut.
Wajah Justin terlihat antara campuran rasa kecewa dan marah setelah mendengar pengakuannya, tapi apa boleh buat. Angela sebenarnya merasa agak was-was terhadap reaksi Justin.
"Apa ini semua karena dia?" tanya Justin.
Angela tahu siapa yang dimaksud oleh pertanyaan Justin. Ingin rasanya ia berteriak pada Justin bahwa hal itu bukan urusannya, tapi ia kembali mengingat bahwa yang ada di hadapannya adalah Justin. Seorang lelaki yang mencintai Angela apa adanya. Seorang teman yang selalu ada di saat terburuk hidupnya. Kemarahan Angela berubah menjadi rasa bersalah kembali dengan cepat.
"Gua memutuskan ini murni karena memikirkan perasaan elo, Tin." sanggah Angela. Ia tidak berbohong, itu memang alasan utamanya. "Meski gue bisa aja berpura-pura mencintai elo, tapi gue nggak bisa. Memangnya elo mau kepura-puraan semacam itu?" Angela lanjut bertanya.
Justin terdiam lagi selama beberapa saat hingga Angela khawatir. "Tin..." ia mengangkat tangan dan menyentuh punggung tangan Justin di meja. "Gue ngerasa nggak tahu diri, tapi gue ngelakuin ini karena sayang ama elo..."
"Jadi kenapa elo nggak ngelakuinnya dengan berusaha mencintai gue, Njel!" Justin meninggikan suaranya sehingga membuat Angela terkejut.
"Gue udah berusaha, Tin..."
Ucapan Angela terhenti karena Justin berdiri tiba-tiba dan mengambil dompetnya.
"Dont talk about this shit anymore!" Ia melemparkan beberapa lembaran uang di meja dengan kasar lalu berlalu menuju pintu keluar restoran.
Angela terperangah. Ia belum pernah melihat Justin semarah ini hingga mengucapkan kata-kata itu. "Tin!! Kenapa lo kasar gitu, sih?!" ia ikut berdiri dan menyusul Justin.
Beberapa orang di restoran menatap mereka sehingga Angela merasa malu, tapi ia tidak ingin hubungannya dan Justin berakhir dengan situasi seperti ini.
"Gue nggak bakal mutusin lo, Njel!" bentak Justin saat mereka sudah keluar dari restoran.
Angela masih mengikutinya dengan tergesa-gesa. Ia merasakan panas matahari yang menyengat begitu keluar dari ruang restoran yang ber AC. "Tunggu dulu, Tin!!"
"Lo pikir gue bakal bersikap gentle dengan ngerelain elo, gitu? Sorry, Njel. Cowok super baik kayak gitu mungkin ada tapi yang jelas itu bukan gue!."
"Tin, lo nggak bisa kayak gini. Gue udah minta maaf, sekarang bisa nggak kita bicarain lagi semua ini baik-baik..."
Justin tidak menjawab sepatah kata pun dan memasuki mobil sportnya.
Angela hanya bisa bergeming menyaksikan mobil tersebut keluar dari halaman parkir dan melaju di jalan meninggalkannya. Ia menghela napas panjang dan masih berdiri terdiam di tempatnya selama beberapa saat. Bahunya terkulai lemas. Orang-orang pasti banyak yang masih menontonnya dan ia tidak ingin melihat.
Angela sudah menduga bahwa hasilnya akan buruk tapi tidak seburuk ini.
Sekarang apa yang harus ia lakukan?
Beberapa menit kemudian, ia sudah sampai kembali di depan pintu apartmentnya dengan gontai setelah memesan taksi. Kejadian yang menimpanya hari ini sungguh membuatnya lesu sehingga memutuskan untuk pulang, padahal kemarin ia sudah berjanji mengunjungi ayahnya lagi. Terpaksa Angela mengirim pesan untuk menunda kunjungannya esok. Lagipula jam sudah menunjukkan pukul tiga sore.
Baru saja ia mengeluarkan kunci, tiba-tiba Angela melihat dua orang pria berbadan besar dan berkaca mata hitam yang tidak dikenalnya berjalan cepat menuju arahnya. Dan tanpa disangkanya para pria itu menyumpal mulut Angela lalu semuanya menjadi gelap karena mereka menutupi tubuhnya dengan karung goni melalui kepala.
Tidak!!! Siapa mereka sebenarnya?!!!
Angela ketakutan setengah mati! Ia ingin berteriak tapi tidak bisa. Ia juga meronta-ronta namun mereka berdua lebih kuat dan ia merasa tubuhnya diangkat secara tiba-tiba lalu berguncang-guncang.
Kemana mereka akan membawa dirinya?!
Pikiran negatif menyerbu benak Angela mulai dari penculikan, prostitusi, penjualan organ tubuh manusia hingga diculik oleh alien untuk dijadikan eksperimen. Bukankah kedua orang tadi sangat mirip anggota Men in Black? Oh tidak!!!
__________________
"Kenapa kalian datang?!" Sean terperangah bagai melihat hantu saat tiga orang itu muncul di depan pintu rumahnya.
"Maaf kami agak terlambat sedikit, Sean." ringis Budi. "Kami kebingungan memilih hadiah untuk Vanilla."
"Aku tidak menanyakan hal itu! Memangnya siapa yang mengundang kalian kemari?!"
"Ya ampun, Sean." Daniel berdecak. "Jangan menanyakan hal tidak penting itu saat ini. Mana Vanilla?" Ia menjulurkan lehernya mencari-cari.
Di belakang Sean tampak banyak anak-anak kecil sedang berlari-lari.
"Itu dia, Niel." Rayhan menunjuk dengan tangannya ke arah Vanilla yang sedang berada dalam gendongan Valeria.
"Ya, benar sekali. Ayo kita kesana." Mereka bertiga berbondong-bondong masuk ke dalam ruangan tanpa mempedulikan Sean dan meninggalkannya di belakang.
Sean membeku di tempatnya. Mimpi apa ia sehingga harus memiliki tiga orang teman yang begitu tidak tahu malu seperti mereka?! Ia tidak keberatan dengan Budi dan Rayhan, tapi tidak dengan yang satunya. "Tunggu dulu kalian!!" ia berbalik dan mengejar mereka.
"Ada apa ini, Sean?" tepat pada saat Sean berhasil menghadang ketiga temannya itu, ayah mertuanya muncul.
"Bukan apa-apa, Pak Tua. Mereka hanya tamu tak diundang yang kebetulan salah masuk ke pesta ini." sahut Sean ketus.
"Kalian teman-teman Sean?!!" suara Andre terdengar menggelegar marah. Daniel, Rayhan dan Budi meringis.
"Tentu saja bukan! Mereka hanya pengacau dan sekarang mereka semua akan pulang!" tampik Sean.
Andre menghela napas lega. "Kalau begitu kalian semua diterima di sini." Ia berubah tersenyum sambil mempersilahkan mereka bertiga masuk.
"Apa-apaan ini?!" bentak Sean tak percaya. Tapi keempat orang itu meninggalkannya tanpa mempedulikan bentakan Sean.
"Silahkan! Silahkan! Semua yang bukan teman Sean adalah temanku juga. Kalian anggap saja ini rumah sendiri." terdengar Andre berseru gembira.
"Anda sungguh tuan rumah yang baik, Pak. Tidak seperti Sean." sahut Daniel dilanjutkan oleh tawa mereka berempat.
Sean ternganga mendengarnya. Anggap rumah sendiri? Pak Tua itu sudah tidak waras! Ini rumahnya!!
"Sean...Kau mengundang mereka semua?" Valeria mengerjap-ngerjap melihat pemandangan di depannya. Ayahnya bercakap-cakap akrab dengan ketiga teman Sean. Sungguh suatu pemandangan yang unik. Ia sampai tidak tahan untuk tersenyum. "Tidak kusangka kau sangat mulia dengan memaafkan mereka semua terutama Dani..."
Ucapan Valeria terhenti karena melihat tampang suram suaminya.
"Aku mengerti." Valeria meringis. "Kau tidak mengundang mereka bukan?"
"Wah. Papa benar-benar gencar mencari sekutu untuk melawanmu, Kak Sean." Felix tiba-tiba muncul di samping mereka. "Tapi jangan khawatir. Aku memilih berada di pihakmu." ia menepuk-nepuk bahu iparnya sambil berlalu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top